Yuk, Mengenal Lebih Dalam Umbi Porang beserta Manfaatnya!
Oleh:
Annisa Prasanti Widyadhari (2440012314); Kheren Kristanael (2301882275); Marcella Liemantara (2401962371)
Pernahkah kalian mendengar Porang? Porang merupakan tanaman umbi-umbian yang jarang diketahui masyarakat. Padahal, porang memiliki banyak manfaat bagi tubuh kita. Porang dipercaya sebagai tanaman yang berasal dari India dan Srilanka, kemudian melewati Indocina, Malaka, dan Sumatera. Setelah itu, tanaman porang menyebar ke daerah Jawa. Pada awalnya, porang merupakan tanaman hutan yang tidak dijadikan bahan pangan. Porang ditemukan oleh orang-orang Jepang pada saat menjajah Indonesia. Porang (Amorphophallus muelleri) mirip sekali dengan tanaman Amorphophallus konjak, yang merupakan tanaman yang mereka lestarikan di Jepang. Dengan melihat kemiripannya, orang Jepang yang sedang menjajah Indonesia kemudian memanfaatkan porang sebagai bahan pangan selama berada di Indonesia (Aidah, 2021).
Porang merupakan tanaman yang mudah ditanam karena porang cocok ditanam di berbagai kondisi tanah mulai dari ketinggian 0 hingga 700 mdpl pada iklim tropis. Tanaman ini adalah tanaman golongan Araceae yang merupakan tanaman herba atau semak berumbi di dalam tanah (Sunarti, 2017). Porang hidup di bawah naungan, seperti pohon jati, mahoni, dan sono. Porang membutuhkan cahaya matahari sekitar 40% – 60%. Oleh karena itu, porang seringkali ditemui di daerah hutan di Pulau Jawa. Porang berpotensi untuk diekspor karena banyak sekali peminat porang dari berbagai negara untuk bahan pangan dan juga bahan yang akan digunakan dalam industri. Porang belum bisa dibudidayakan secara intensif oleh masyarakat Indonesia karena banyak sekali masyarakat yang belum mengetahui keberadaan porang dan belum memiliki pedoman untuk membudidayakan porang. Walaupun belum banyak diketahui oleh masyarakat, namun porang memiliki harga jual yang tinggi (Yuwono, 2020).
Porang memiliki berbagai manfaat. Dari segi Kesehatan, porang berpotensi untuk mengontrol berat badan, dipercaya dapat mengatasi diabetes, mengontrol kolesterol dan juga dapat dijadikan sebagai prebiotik. Hal ini disebabkan karena porang memiliki kandungan zat yang bernama glukomannan, yaitu serat yang larut air. Porang juga dapat dijadikan sebagai bahan baku tepung glukomannan (bahan dasar pembuatan shirataki), bahan baku kosmetik, lem pesawat, hingga obat-obatan. Selain itu, porang juga memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi. Dari segi ekonomi, porang merupakan tanaman yang dapat meningkatkan devisa negara karena pada tahun 2018, sebanyak 254 ton porang diekspor ke berbagai negara, seperti Jepang, Australia, Korea, Pakistan, Malaysia, Selandia Baru, Italia, dan Inggris hingga mencapai nilai ekspor Rp 11,31 miliar (Utami, 2021).
Secara morfologis, batang porang memiliki kulit yang halus dan berwarna hijau-putih belang-belang. Batang porang tumbuh tegak dengan diameter 5 – 50 mm, tergantung dengan usia atau periode pertumbuhannya, di atas umbi porang yang berada di dalam tanah. Sebetulnya batang porang merupakan batang yang tunggal dan semu, namun batang tersebut memecah diri (bercabang) menjadi batang-batang sekunder yang selanjutnya memecah lagi menjadi tangkai-tangkai daun yang halus dan berwarna hijau kecokelatan. Tinggi tanaman porang sendiri dapat mencapai 150 cm jika kesuburan tanah dan iklimnya baik dan mendukung (Saleh et al., 2015). Berikut merupakan penampakan fisik dari batang porang:
Gambar 1. Batang semu porang (Saleh et al., 2015)
Gambar 2. Percabangan batang porang (Saleh et al., 2015)
Untuk bagian daun, daun porang mempunyai ukuran yang besar dan lebar, dengan ujung daun yang runcing. Bentuk daun porang adalah elips, dengan permukaan yang halus dan bergelombang. Daun porang sendiri termasuk dalam daun majemuk, sehingga pada satu tangkai daun terdapat lebih dari satu helaian daun. Warna daun umbi porang pun bervariasi, mulai dari hijau muda sampai hijau tua, dengan warna tepi daun yang bervariasi pula. Daun porang yang muda memiliki tepi berwarna ungu muda, sedangkan daun porang yang tua memiliki tepi yang berwarna kuning (Saleh et al., 2015). Untuk lebih jelasnya, karakteristik daun porang dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 3. Daun porang yang majemuk dengan ujung yang runcing (Saleh et al., 2015)
Untuk bagian umbinya, umbi porang merupakan umbi tunggal karena satu tanaman porang hanya menghasilkan satu umbi porang. Bentuk umbi porang adalah bulat, tetapi agak lonjong. Permukaan umbi porang halus dengan kulit berwarna cokelat keabuan dan tidak terdapat bintil, sedangkan bagian dalam porang berwarna kekuningan dengan serat-serat yang halus. Untuk bobot umbi porang berkisar antara 50 – 3.350 gram, tergantung dengan periode pertumbuhannya (Saleh et al., 2015). Untuk lebih jelasnya, gambar anatomi pohon porang bisa dilihat di bawah ini:
Gambar 4. Umbi porang (Saleh et al., 2015)
Sama halnya dengan jenis umbi-umbian yang lain, umbi porang juga memiliki kandungan seperti pati sebanyak 76.5%, protein sebanyak 9.20%, serat sebanyak 20%, dan lemak sebanyak 0.2% (Novita dan Indriyani, 2013). Kandungan karbohidrat porang terdiri dari pati, gula pereduksi, serat kasar, dan glukomannan. Angka kandungan glukomannan dalam porang relatif tinggi, yaitu sekitar 40 – 55% (tergantung dengan jenis porangnya), sehingga menjadikan glukomannan sebagai ciri khas umbi porang (Saleh et al., 2015). Glukomannan, yang dikenal dengan nama Konjac Glucomannan (KGM), memiliki karakteristik yang unik. Viskositas atau sifat kekentalan yang diberikan 1% larutan glukomannan sangatlah tinggi, yaitu sekitar 30,000 cP. Hal ini disebabkan karena glukomannan mempunyai sifat penyerapan atau pengikatan air yang tinggi, di mana 1 gram glukomannan dapat menyerap 100 gram air. Maka dari itu, KGM dapat dijadikan sebagai alternatif dari penggunaan agar-agar dan gelatin (Aryanti dan Abidin, 2015); sebagai bahan tambahan untuk pembuatan kue, es krim, jeli, dan selai; serta sebagai bahan baku pembuatan konnyaku dan mi shirataki (Saleh et al., 2015). Glukomannan juga memiliki manfaat yang besar bagi tubuh. Glukomannan dapat mengurangi kadar kolestrol serta dapat memperlambat waktu pengosongan perut dan mempercepat rasa kenyang, sehingga baik untuk penderita obesitas dan diabetes (Aryanti dan Abidin, 2015).
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa tanaman porang juga memiliki kandungan kalsium oksalat yang cukup tinggi, yaitu sekitar 0.19 gram di dalam 100 gram umbi porang (Novita dan Indriyani, 2013). Kalsium oksalat adalah senyawa antigizi yang dapat mengikat kalsium, sehingga kalsium sulit bahkan tidak dapat diabsorpsi oleh tubuh. Kalsium oksalat juga dapat menyebabkan abrasi mekanik dalam saluran pencernaan dan kerusakan tubulus pada ginjal. Pada kasus yang lebih parah, pengikatan kalsium yang berlebihan dapat menyebabkan paralisis dan hypocalcemia (Nakata, 2003; Brown, 2000 dalam Saleh et al., 2015). Senyawa ini menyebabkan rasa gatal dan pedas pada lidah dan tenggorokan saat dikonsumsi (Saleh et al., 2015). Tetapi, beberapa penelitian telah membuktikan beberapa cara untuk mereduksi jumlah senyawa antigizi ini. Perebusan umbi porang dengan suhu 90˚C selama 4 jam dapat mengurangi kadar kalsium oksalat sekitar 70% (Iwuoha dan Kalu, 1995 dalam Widari dan Rasmito, 2018). Selain itu, penelitian Widari dan Rasmito (2018) membuktikan bahwa perebusan umbi porang dalam larutan NaCl 8% selama 25 menit pada suhu 80˚C dapat mereduksi senyawa kalsium oksalat sebanyak 90.9%, sehingga meninggalkan kadar kalsium oksalat pada umbi porang hanya sebanyak 0.55% walaupun belum mencapai standar SNI yang menyatakan bahwa senyawa tersebut harus kurang dari 0.001% pada umbi porang.
Kurangnya kesadaran masyarakat serta minimnya pengetahuan terhadap diversifikasi pengolahan umbi porang menyebabkan umbi porang hanya dijual sebagai umbi yang dari segi ekonomi dihasilkan profit yang kurang signifikan. Hal tersebut sangat disayangkan padahal umbi porang merupakan tanaman umbi yang cukup banyak keberadaannya serta tinggi akan glukomanan sehingga sebenarnya umbi tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pangan khususnya dalam menunjang ketahanan pangan nasional juga meningkatkan perekonomian karena profit yang dihasilkan juga pastinya akan lebih tinggi (Wahyuni, Rohmah, Ambari, dan Romadhon, 2020). Salah satu hasil pengolahan dari umbi porang yang paling sering ditemukkan adalah chip porang. Chip porang merupakan produk setengah jadi dari umbi porang yang dapat digunakan sebagai bahan makanan, obat-obatan, dan kosmetik (Sari, Cahyono, dan Admiral, 2019). Pengolahan umbi porang menjadi produk kering seperti chip merupakan upaya untuk menginaktivasi enzim yang dapat merusak glukomanan jika disimpan dalam bentuk segar. Selain itu, produk kering juga memiliki umur simpan yang lebih lama dan praktis untuk diolah lebih lanjut (Saleh et al, 2015).
Pada prinsipnya pembuatan chip porang terdiri dari beberapa tahap sederhana seperti pencucian umbi hingga bersih dan bebas dari getah, pengirisan umbi porang, perendaman dengan larutan garam, dan pengeringan. Dalam proses pembuatanya, umbi porang disortasi terlebih dahulu dengan cara memisahkan umbi berkualitas baik yang tidak rusak atau cacat, kemudian dikupas, dicuci, dan direndam di dalam air jika harus menunggu proses berikutnya yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pencokelatan. Setelah itu, umbi porang diiris tipis-tipis dengan ketebalan sekitar 0,5 cm – 1 cm, kemudian direndam di dalam larutan garam 5% (b/b) dengan perbandingan 1 kg umbi dengan 3 liter air selama 24 jam yang bertujuan untuk melarutkan kristal oksalat dan menetralkan senyawa alkaloid (konisin) yang memberikan rasa pahit. Setelah itu, irisan umbi dibilas dengan air hingga bersih dan kemudian dikeringkan dengan cara dijemur selama 2 sampai 3 hari (30 jam) maupun dengan cara dioven pada suhu 70°C selama 16 jam sampai kadar airnya <12%. Namun berdasarkan penelitian, pengeringan chip porang dengan sinar matahari menghasilkan kadar glukomanan yang lebih tinggi, yaitu sekitar 22,07% dibandingkan dengan pengeringan menggunakan oven yang hanya menghasilkan kadar glokomanan sekitar 18,15%. Setelah dikeringkan maka produk chip porang sudah selesai dibuat dan dapat diolah lebih lanjut menjadi tepung porang dengan cara digiling atau dihaluskan (Saleh et al, 2015).
REFERENSI:
Aidah, S. N. (2021). Ensiklopedi Budidaya Tanaman Porang. Bantul: Penerbit KBM Indonesia.
Aryanti, N., & Abidin, K. Y. (2015). Ekstraksi Glukomannan dari Porang Lokal (Amorphophallus oncophyllus dan Amorphophallus muerelli blume). METANA, 11(1), 21-30.
Novita, M. D., & Indriyani, S. (2013). Kerapatan dan Bentuk Kristal Kalsium Oksalat Umbi Porang (Amorphophallus muelleri Blume) pada Fase Pertengahan Pertumbuhan Hasil Penanaman dengan Perlakuan Pupuk P dan K. Jurnal Biotropika, 1(2), 66-70.
Saleh, N., Rahayuningsih, A., Radjit, B. S., Ginting, E., Harnowo, D., & Mejaya, I. M. J. (2015). Tanaman Porang: Pengenalan, Budidaya, dan Pemanfaatannya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Sari, P. P., Cahyono, P. A., & Admiral, E. (2019). Pemberdayaan Masyarakat Jembul dengan Teknologi Tepat Guna Pengolahan Chips Porang dalam Meningkatkan Daya saing. International Journal of Community Service Learning, 3(4), 244-251.
Sari, S. & Suhartati. (2015). Tumbuhan Porang: Prospek Budidaya Sebagai Salah Satu Sistem Agroforestry. Info Teknis EBONI, 12(2), 97-110.
Sunarti. (2017). Serat Pangan dalam Penanganan Sindrom Metabolik. Sleman: Gadjah Mada University Press.
Utami, N. M. A. W. (2021). Prospek Ekonomi Pengembangan Tanaman Porang di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Viabel Pertanian, 15(1), 72.
Wahyuni, K. I., Rohmah, M. K., Ambari, Y., & Romadhon, B. K. (2020). Pemanfaatan Umbi Porang (Amorphophallus muelleri Bl) Sebagai Bahan Baku Keripik. Jurnal Karinov, 3(1), 1-4.
Widari, N. S., & Rasmito, A. (2018). Penurunan Kadar Kalsium Oksalat pada Umbi Porang (Amorphophallus Oncophillus) dengan Proses Pemanasan di dalam Larutan NaCl. Jurnal Teknik Kimia, 13(1), 1-4.
Yuwono, T. (2020). Pembangunan Pertanian – Membangun Kemandirian Pangan dalam Masa Bencana dan Pandemi. Sleman: Penerbit Andi.