Inovasi Kue Putu Sebagai Makanan Tradisional

Rachela Maulinasari (230941580), Rania Hana Ayuningtyas (2440005914), Kezia Nathania (2401959212)

Kue putu merupakan salah satu jajanan tradisional yang terbuat dari tepung beras dan cukup digemari segala kalangan mulai dari anak kecil hingga orang dewasa. Pada masa Dinasti Ming, kue putu dikenal dengan XianRoe Xiao Long yang berarti kue dari tepung beras berisi kacang hijau. Namun, adanya perubahan isi dari kue putu setelah masuk ke Indonesia dimana isian kue diganti menjadi gula merah. Kue putu identik dengan warna hijau yang berasal dari daun suji dan warna putih yang berasal dari parutan kelapa. Biasanya kue ini dijual pada malam hari dan dijajakan dengan gerobak (Hernita, 2019).

Kulit buah naga merah menjadi salah satu inovasi dalam pembuatan kue putu. Kulit buah naga merah memiliki berbagai keunggulan. Kulit buah naga merah mempunyai kandungan polifenol yang tinggi dan sumber antioksidan yang baik 39,7 mg/100 g, total flavonoid (catechin) 8,33 mg/100 g, betasianin (betanin) 13,8 mg (Handayani & , 2012).

Inovasi pangan merupakan pengembangan suatu produk pangan yang diperbarui dengan proses pengolahan baru guna meningkatkan nilai jual dari produk itu sendiri. Inovasi pangan juga dapat meningkatkan nilai gizi suatu produk menjadi lebih maksimal dengan adanya peningkatan baru dibandingkan produk pangan sebelumnya. Kue putu merupakan kue jajanan tradisional yang memiliki rasa manis dari bahan gula merah di dalamnya dan rasa gurih dari parutan kelapa yang ditaruh di atasnya. Kue putu ini juga memiliki cara pengolahan yang khas dimana bunyi dari alat untuk memasak kue akan berbunyi apabila kue tidak diletakkan di atasnya. Awal mula dari wujud kue putu ini sendiri rupanya berwarna kecoklatan, namun seiring berjalannya waktu inovasi terus terjadi sehingga banyak sekali wujud kue putu dari berbagai macam bahan seperti Putu Cangkiri yang memiliki warna hijau (berasal dari daun pandan), Putu Cangkiri yang memiliki warna merah keunguan (berasal dari beras ketan merah), dan lain sebagainya (Hernita, 2019). Kue putu juga memiliki bentuk yang berbeda-beda dengan cara pengolahan yang berbeda. Untuk kue putu yang dijual dari gerobak biasanya memiliki bentuk seperti tabung dan memiliki warna hijau, untuk kue putu yang dijual di tempat tertentu juga terkadang disajikan dengan ukuran cangkir seperti Putu Cangkir, ataupun kue putu hias yang dibentuk sesuai selera pembuat kue putu. Ketiga contoh bentuk dari kue putu yang disebutkan sebelumnya dapat dilihat pada gambar berikut. 

Gambar 1. (a) Kue Putu Cangkir; (b) Kue Putu Gerobak; (c) Kue Putu Modifikasi (sumber: makassarguide.com, idntimes.com, dan cookpad.com).

Berdasarkan jurnal dari Arnita & Faridah (2018), formulasi bahan dari kue putu dapat diinovasikan dengan menggunakan bahan tepung dari kulit buah naga. Alternatif bahan dari kulit buah naga ini bertujuan untuk mengubah bahan pewarna makanan yang sintetis dengan pewarna makanan alami. Kulit buah naga yang dikenal dengan nama latin Hylocereus polyrhizus memiliki beberapa manfaat diantaranya sebagai antioksidan, tinggi serat, mencegah pertumbuhan sel kanker, mencegah gangguan pencernaan, dan lain sebagainya. Kulit buah naga juga mengandung betalain yang dikenal sebagai tingginya antioksidan serta kaya akan kandungan kalsium, fosfor, maupun zat besi (Mega, Faridah & Holinesti,  2018).

Inovasi kue putu dari kulit buah naga merah ini ternyata memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri. Penggunaan pewarna sintetis dalam pembuatan kue putu masih sering kali ditemukan. Padahal, penggunaannya dapat memberikan efek negatif bagi tubuh apabila dikonsumsi dengan jumlah yang melebihi batas. Dengan adanya kekhawatiran konsumen mengenai keamanan pewarna sintetis, maka timbul suatu tren yang mengarah pada penggunaan pewarna alami. Kulit buah naga merah merupakan salah satu aplikasi dari penggunaan pewarna alami pada makanan. Kulit buah naga umumnya hanya sebatas limbah yang tidak dimanfaatkan (Arnita dan Faridah, 2018). Namun, terdapat kandungan antosianin di dalamnya yang bermanfaat sebagai pewarna alami (Ekawati, Rostiati, dan Syahraeni, 2015). Selain itu, terdapat pula kandungan betalain yang juga dapat berguna sebagai pewarna alami. Karakteristik rasa dari kulit buah naga juga terbilang netral, sehingga tidak memberikan perubahan terhadap rasa khas dari kue putu. Oleh karena itu, hal tersebut menjadi keunggulan dari inovasi kue putu ini (Arnita dan Faridah, 2018).

Pewarna berbahan dasar alami memiliki tingkat perubahan kepucatan warna yang lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan waktu pemanasan dan suhu pada proses pengolahan dikarenakan terjadinya perubahan struktur dan dekomposisi. Maka dari itu, daya tahan zat warna kulit buah naga merah sebagai pewarna alami menjadi kelemahan dari inovasi kue putu ini (Ekawati, Rostiati, dan Syahraeni, 2015).

 

Referensi

Arnita, J. & Faridah, A. (2018). Optimalisasi Formulasi Kue Putu Ayu dari Tepung Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhzus). FOODSCITECH: Food Science and Technology Journal, 1(2), 1-10.

Ekawati, P., Rostiati, & Syahraeni. (2015). Aplikasi Ekstrak Kulit Buah Naga Sebagai Pewarna Alami pada Susu Kedelai dan Santan. E-J. Agrotekbis, 3(2), 198-205.

Handayani, P. A., & Rahmawati, A. (2012). PEMANFAATAN KULIT BUAH NAGA (Dragon Fruit) SEBAGAI PEWARNA ALAMI MAKANAN PENGGANTI PEWARNA SINTETIS. Jurnal Bahan Alam Terbarukan, 1(2), 19-24. 

Hernita. (2019). Strategi Pemasaran Jajanan Tradisional Kue Putu Cangkiri Di Sulawesi Selatan. Jurnal Ecosystem, 19(2), 206-211. 

Mega, W., Faridah, A. dan Holinesti. (2017). Pengaruh Subtitusi Ekstrak Kulit Buah Naga Merah Terhadap Kualitas Putu Ayu. Jurnal UNP, 15(2)