HAKOI DAN CARA PEMBUATANNYA
PHANGESTI HANJANI
2001554933
Sumber gambar : https://plus.google.com/116820405947860259406
Hakoi merupakan makanan khas Singkawang, Kalimantan Barat. Di Riau, dikenal juga dengan sebutan mencalok atau cincalok. Citarasanya asin dengan aroma yang cukup tajam. Makanan ini berupa udang berukuran kecil yang difermentasi, proses fermentasinya terjadi dengan bantuan mikroba. Salah satu mikroba yang berperan penting dalam proses fermentasi adalah dari kelompok bakteri asam laktat. Udang yang digunakan untuk membuat Hakoi/ Cincalok adalah udang dari genus Acetes. Proses awal produksi secara tradisional yaitu dengan pencucian udang dengan air laut, lalu udang yang telah dicuci akan dicampur dengan garam, gula atau cabai untuk dilakukan fermentasi.
Hakoi atau Cincalok tidak hanya ada di Indonesia saja, tetapi di berbagai negara pun terdapat jenis makanan ini dengan nama yang berbeda. Cencaluk menurut orang Malaysia mengandung protein yang tinggi. Di Malaysia pembuatan cincalok biasanya menggunakan udang geragau. Selain Malaysia ternyata orang-orang Philipina juga memiliki makanan serupa sejenis Cincalok. Bahkan di Jepang pun banyak ditemukan makanan jenis tersebut. Orang Jepang menyebut udang halus dengan sakura ebi. Sakura ebi shiokara adalah cincalok versi Jepang. Selain dari udang halus, orang Jepang juga membuat shiokara dari cumi. Daging cumi berikut isi perutnya dipotong-potong, digarami, lalu didiamkan beberapa hari. Hasilnya bahwa shiokara dari cumi mirip dengan cincalok maupun budu.
Pada pembuatan Hakoi atau Cincalok terdapat bakteri yang berperan dalam proses fermentasi cincalok yaitu kelompok bakteri asam laktat. Kelompok bakteri ini memiliki kemampuan untuk menghasilkan senyawa dengan aroma dan rasa khas, meningkatkan nilai cerna makanan, dan menghasilkan senyawa antimikroba yang dapat menghambat atau membunuh mikroorganisme seperti asam laktat, hidrogen peroksida, karbondioksida, dan bakteriosin. Bakteri yang berhasil diisolasi adalah Lactobacillus sp. dan Streptococcus sp. Bakteri yang dominan ditemukan pada Cincalok dari Thailand adalah Lactobacillus sp. dan Lactococcus sp. Berdasarkan sekuens 16s, ditemukan bakteri Staphylococcus piscifermentans dengan strain langka yang sebelumnya hanya ditemukan pada isolat dari ikan. Bakteri penghasil γ-butyric acid (GABA) yaitu Leuconostoc NC5 juga ditemukan pada cincaluk. Semua bakteri ini akan memberi nilai tambah yang positif bagi pengawetan dan nilai gizi dari cincalok yang biasa digunakan sebagai saus pada hidangan di negara-negara Asia Tenggara. Hidangan ini bermanfaat sebagai pengawet alami dan kultur starter makanan fermentasi (Achmad et al 2013).
Hakoi atau Cincalok dapat dibuat dengan cara sebagai berikut, pertama-tama udang yang akan digunakan dibersihkan terlebih dahulu, kemudian udang yang telah dibersihkan, dikeringkan hingga tidak ada air lagi, udang harus dikeringkan agar tidak busuk. Kedua, setelah udang dikeringkan udang ditaburi dengan garam dan gula sesuai dengan selera, kemudian diaduk, biasanya orang-orang kalimantan akan menambahkan sedikit pewarna merah agar hakoi terlihat lebih menarik. setelah itu ditutup salama kurang lebih 1 minggu. Setelah jadi Hakoi atau Cencilok dapat disantap menggunakan nasi dan lauk pauk lainnya.
Sumber Penulisan
Achmad DI, Nofiani R, Ardiningsih P. 2013. Karakterisasi Bakteri Asam Laktat Lactobacillus sp. RED1 dari Cincalok Formulasi. FMIPA Universitas Tanjungpura. Pontianak.