MENGENAL SALAH SATU JENIS BTP: ZAT PEWARNA MAKANAN
Halo, Foodies! Pada artikel kali ini kita akan membahas tentang salah satu jenis BTP atau Bahan Tambahan Pangan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per /IX/1988, Bahan Tambahan Pangan terdiri dari beberapa golongan diantaranya yaitu, antioksidan, antibuih, antikempal, pemanis, pelapis, pengawet, pewarna, dan lain-lain.
Warna merupakan salah satu aspek penting dalam hal penerimaan konsumen terhadap suatu produk pangan. Warna dalam bahan pangan dapat menjadi ukuran terhadap mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan. Zat pewarna makanan adalah bahan tambahan pangan yang ditambahan ke dalam makanan dengan tujuan untuk memperbaiki atau memberi warna pada makanan sehingga makanan tersebut lebih menarik, menyeragamkan dan menstabilkan warna, serta menutupi perubahan warna akibat proses pengolahan dan penyimpanan.
Berdasarkan sumbernya, zat pewarna untuk makanan dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu certified color dan uncertified color. Perbedaan antara certified dan uncertified color adalah certified color merupakan zat pewarna sintetik yang terdiri dari dye dan lake, sementara uncertified color adalah zat pewarna yang berasal dari bahan alam. Zat pewarna alami diperoleh dengan cara mengekstrak tumbuhan, bersifat lebih aman, namun hanya memiliki variasi warna dalam jumlah yang sedikit, kurang praktis, serta mudah memudar. Sedangkan zat pewarna buatan diperoleh melalui proses sintesis kimia buatan yang mengandalkan bahan-bahan kimia, atau berasal dari bahan yang mengandung pewarna alami melalui proses ekstraksi secara kimiawi.
Pada pewarna alami, terdapat beberapa kandungan yaitu karoten (menghasilkan warna jingga hingga merah) dapat diperoleh dari wortel dan pepaya, biksin (menghasilkan warna kuning seperti mentega) diperoleh dari biji pohon bixa orelana, klorofil (menghasilkan warna hijau) diperoleh dari daun-daunan, dan antosianin (menghasilkan warna orange, ungu, merah, dan biru) dapat diperoleh dari bungan dan buah. Pewarna alami dapat diperoleh dari hewan seperti : warna merah muda pada flamingo dan ikan salem sedangkan dari tumbuh-tumbuhan seperti: kunyit (kuning), bunga telang (biru keunguan), rosella (merah), daun pandan (hijau), dan lain sebagainya. Pengguanaan zat pewarna alami memiliki beberapa kelebihan yaitu, aman dikonsumsi, warna lebih menarik, mengandung zat gizi, mudah diperoleh dari alam, dan memiliki beberapa kekurangan yaitu, tidak stabil saat proses pemasakan, stabilitas pigmen rendah, seringkali memberikan rasa dan aroma khas yang tidak diinginkan, serta sulit dalam penggunaanya. Beberapa ciri khas dari zat pewarna alami yang terdapat dalam makanan antara lain warna agak kusam atau pudar, membutuhkan bahan pewarna lebih banyak, dan membutuhkan waktu lama untuk meresap ke dalam produk.
Pewarna buatan sering juga disebut dengan zat warna sintetik. Proses pembuatan zat warna sintetik ini biasanya melalui perlakuan pemberian asam sulfat atau asam nitrat yang seringkali terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun. Menurut Winarno (1992), zat pewarna sintetik harus melalui berbagai prosedur pengujian sebelum dapat digunakan sebagai pewarna makanan. Zat pewarna yang diizinkan penggunaannya dalam makanan dikenal dengan certified color atau permitted color. Untuk penggunaannya, zat warna tersebut harus menjalani tes prosedur penggunaan yang disebut proses sertifikasi. Beberapa contoh zat pewarna sintetis yang diizinkan penggunaannya untuk makanan adalah amaran (merah), biru berlian (biru), fast green FCF (hijau), dan tartazine (kuning). Dalam penggunaannya, zat pewarna ini memiliki beberapa kelebihan yaitu, warna lebih cerah, tidak mudah larut dalam air, lebih homogen, memiliki variasi warna yang lebih banyak, lebih murah, ketersediaannya tidak terbatas, lebih stabil, dan lebih cepat meresap ke dalam produk. Sedangkan kekurangannya yaitu jumlah pemakaiannya harus sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesehatan RI telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang jenis pewarna alami dan sintetik yang diizinkan serta yang dilarang digunakan dalam makanan pada tanggal 1 Juni 1979 No. 235/Menkes/Per/VI/79. Kemudian disusul dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI tanggal 1 Mei 1985 No. 293/Menkes/Per/V/85, yang berisikan jenis pewarna yang dilarang. Dan terakhir telah dikeluarkan pula Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/88, yang mengatur batas maksimum penggunaan dan pewarna yang diizinkan di Indonesia. Untuk menjamin pelaksanaan pengaturan tentang bahan tambahan makanan ini, Departemen Kesehatan melakukan pengawasan makanan. Pengawasan bahan tambahan makanan, selain ditujukan pada bahan tambahan makanan itu sendiri, juga pada makanan yang mengandung bahan tambahan makanan. Pengawasan dilakukan oleh Direktorat Pengawasan Makanan dan Minuman pada tingkat pusat oleh Kantor Wilayah Departemen Kesehatan, Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan, serta Kantor Departemen Kesehatan tingkat daerah.
Ditulis oleh Aina Sofia Sari (1801433182)
Referensi
Cahyadi W. 2009. Analisis & aspek kesehatan bahan tambahan makanan. Edisi ke-2. Bandung: Bumi Aksara.
Depkes R.I, dan Dirjen POM, 1988. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan, Jakarta
Depkes RI. 2011. Batas maksimum penggunaan zat pewarna yang diizinkan di Indonesia. Permenkes RI No. 293/Menkes/Per/V/85.
Dirjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope Indonesia, Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 639.
Winarno, F.G. 1994. Bahan Tambahan Makanan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Winarno. 2002. Bahan tambahan untuk makanan dan kontaminan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.