Makna Simbolik Bangunan Pura

Konsep bangunan Pura mengacu pada pemahaman umat Hindu terhadap Alam dan ajaran agama Hindu. Konsep pembuatan arsitektur Pura mengacu pada Sastra /Lontar Asta Kosala-Kosali yang di dalamnya terdapat falsafah perwujudan arsitektur Pura yaitu Tri Hita Karana, Panca Maha Bhuta, Nawa Sanga. Hal terspbut mengacu pada logika manusia sebagai pengguna bangunan. Pemahaman tentang alam juga mempengaruuhi struktur Pura yang dilihat dari denahnya juga mengacu pada pemahaman masyarakat Hindu Bali mengenai pembagian alam. 

Pembagian halaman pura ini, didasarkan atas konsepsi makrokosmos , yakni : pembagian pura atas 3 bagian itu adalah lambang dari “triloka”, yaitu: bhurloka , bhuvaaloka dan svaaloka . Pembagian pura atas 2 (dua) halaman (tingkat) melambangkan alam atas (urdhaa) dan alam bawah (adhaa), yaitu akauadan pativi. Sedang pembagian pura atas 7 bagian (halaman) melambangkan “Saptaloka vaitu tuiuh lapisan atau tingkatan alam atas, yang terdiri dari: bhurloka, bhuvaaloka, svaaloka, mahaoka, janaloka, tapaloka dan satyaloka. 

Pemahaman masyarakat Hindu terhadap keyakinannya jelas tercermin ke dalam konsep bangunan Pura. Dilihat dari struktur pembagian denah Pura maupun bangunan yang ada di dalamnya merupakan cerminan dari pengertian alam yang di pahami masyarakat Hindu Bali. Hal tersebut dilakukan karena masyarakat Hindu Bali menginginkan suatu keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Sang Hyang Widi Wasa agar kebahagiaan dapat tercapai bagi seluruh manusia. Sebagian besar pura di Bali menggunakan struktur denah Pura Tri Mandala, yaitu; Nista Mandala, Madya Mandala, Utama Mandala.

Berikut merupakan makna bangunan yang terdapat dalam Pura;

Candi Bentar, Candi Bentar merupakan pintu masuk yang membatasi antara bagian Nista Mandala dengan bagian luar Pura. Hal ini dimaksudkan agar para umat Hindu datang dengan leluasa. Candi Bentar juga merupakan pintu masuk yang membatasi Nista Mandala dengan Madya Mandala, biasanya area sirkulasinya sama dengan Candi Bentar sebelumnya yang membatasi antara Nista Mandala dengan bagian luar Pura. Juga mengandung arti umat boleh dengan leluasa keluar masuk dari jaba sisi ke jaba tengah atau sebaliknya.

Kori Agung, KORI AGUNG Merupakan pintu masuk dan batas wilayah antara jaba tengah dengan jeroan . Ruang/pintu tempat masuk sengaja dibuat kecil, hanya cukup untuk satu orang. Diatasnya terdapat ornament berupa karang Boma, dan dijaga oleh dua buah patung Dwara Pala.

Padmasana, Padmasana yang dikembangkan oleh Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh. la seorang sastrawan Majapahit sekaligus pendeta yang memperkenalkan arsitektur pura. Beliau datang ke Bali untuk menyebarkan agama Hindu Siwa Sidhanta pada abad ke-15 ketika kekuasaan kerajaan Majapahit mulai memudar. Ajarannya yang pertama adalah mendirikan padmasana di setiap komplek pura maupun pamerajan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa. 

Pembangunan padmasana ini dilakukan untuk memperbaiki kesalahan persepsi masyarakat terhadap Sang Hyang Widhi. Maka Danghyang Nirartha menganjurkan pendirian padmasana untuk memperbaiki persepsi yang salah tersebut. Sebutan Padmasana berasal dari kata Padma yang berarti bunga Teratai, dan Asana berarti sikap yang terbaik dalam memuja. Teratai/Padma adalah salah satu simbol kesucian dalam agama Hindu, karena bunga Teratai ini dianggap dapat bertahan hidup walaupun hidup dalam Ilumpur, tidak sedikitpun lumpur yang menempel pada bunganya. 

Sebenarnya posisi Padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Hal ini tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan bahwa pada puncak padmasana terdapat Singghasana yang berupa kursi berkaki empat. Jadi nama Padmasana sebenarnya digunakan karena isi dari pedagingan yang ditanamkan pada puncak bangunan tersebut berupa padma yang terbuat dari emas. Sedangkan pada padmasana yang menggunakan Bhedawang Nala, pedagingan berjumlah tiga buah, yang ditanamkan pada dasar, tengah, dan puncak.