Movie Review: SOLARIS

Sutradara: Andrei Tarkovsky

Penulis: Fridrikh Gorenshteyn (screenplay), Stanislaw Lem (novel)

Pemain: Donatas Banionis, Natalya Bondarchuk, Jüri Järvet, Anatoly Solonitsyn,  Vladislav Dvorzhetskiy

Rating: Bimbingan Orangtua (Parental Guidance)

 

We don’t want to conquer space at all. We want to expand Earth endlessly.

We don’t want other worlds; we want a mirror.

We seek contact and will never achieve it. We are in the foolish position of a man striving for a goal he fears and doesn’t want.

Man needs man!

Solaris yang diadaptasi dari novel yang berjudul sama karya Stanislaw Lem ini mengisahkan tentang seorang psikolog bernama Kris Kelvin (Donatas Banionis) yang dikirim ke stasiun luar angkasa yang beredar pada planet Solaris untuk memeriksa kondisi para kru stasiun, setelah mereka melaporkan berbagai kejadian aneh yang menimpa mereka. Sesampainya di sana, ia mendapati kondisi stasiun yang berantakan, dan para kru yang bersikap apatis terhadap sekitarnya. Kemudian, kejadian aneh yang dilaporkan para kru akhirnya menimpa Kris sendiri.

Di stasiun itu, Kris mendapati munculnya seorang wanita misterius, meskipun telah diberitahukan oleh salah seorang kru, Snaut (Jüri Järvet), bahwa hanya ada 4 orang di kapal itu, termasuk Kris sendiri, dan semuanya adalah laki-laki. Pada hari kedua, ia mendapati istrinya yang telah meninggal 10 tahun yang lalu, Hari (Natalya Bondarchuk) yang lalu muncul di sana. Setelah “mengirim”nya ke luar angkasa, istrinya itu pun muncul lagi, sehingga Kris & crew lainnya memutuskan untuk melanjutkan studi mereka akan kejadian yang menimpa, munculnya “orang-orang” di stasiun yang mereka sebut sebagai Visitor.

 

 

Dengan kemunculan Hari ciptaan planet Solaris ini, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan bersifat eksistensial kepada Kris dan kru lainnya, bahkan termasuk Hari sendiri. Hari, yang tercipta dari memori Kris akan istrinya, tidak dibuat oleh Solaris menurut senyawa yang menyusun tubuh manusia. Selain itu, Hari yang baru ini pun berdiri tanpa memori milik Hari yang sudah meninggal. Meski begitu, ia bertingkah & berpikir persis seperti manusia pada umumnya (selain kemampuan regenerasi sel yang sangat cepat). Jadi apakah yang sebenarnya menjadikan manusia sebagai manusia?

Tema akan tujuan eksplorasi pun juga dibahas oleh Solaris. Para ilmuwan yang ditugaskan untuk mempelajari planet Solaris pun mempertanyakan juga tujuan dari penelitian dan berbagai eksperimen yang mereka sudah lakukan. Apakah mereka memang ingin mempelajari Solaris as it is? Atau mereka ingin melihat refleksi dari manusia itu sendiri di sana, yang memunculkan para Visitors itu sendiri? Lagipula, apakah kemunculan Visitors itu memenuhi tujuan penelitian? Atau seperti disebut sebelumnya, Visitors pun muncul hanya memenuhi hasrat manusia saja, menunjukkan rasa kesepian yang menjalari semua orang? Selain itu, seberapa pentingkah hal-hal ini dibandingkan perasaan dari manusia itu sendiri? Saya rasa pun masih ada tema lainnya yang hanya bisa dikupas & dijelaskan bila melihat filmnya.

When man is happy, the meaning of life and other eternal themes rarely interest him. These questions should be asked at the end of one’s life.

 

Dibandingkan film-film sci-fi lain yang lebih menekankan perkembangan teknologi (2001: A Space Odyssey, Star Trek, Blade Runner), Solaris tidak banyak memperlihatkan teknologi. Konsep teknologi masa depan yang diperlihatkan hanyalah stasiun luar angkasa dan roket interplanet. Desain dalam stasiun bahkan tidak meunjukkan banyak teknologi ala sci-fi, bahkan ada adegan di ruang perpustakaan yang memiliki desain persis seperti perpustakaan normal pada umumnya. Kondisi lorong stasiun yang berantakan juga memberi kesan yang kumuh, rasa “lelah” para kru. Konsep sci-fi pada film ini lebih ditekankan kepada pertanyaan filosofis yang muncul seiring kondisi yang muncul di planet Solaris.

 

 

Solaris memiliki  pacing yang sangat-sangat lamban. Bahkan sebagian shot dalam film bisa lebih lama dari 10 detik. Bila saya sarankan, film ini perlu dipersiapkan waktu tersendiri untuk menontonnya, mengingat durasinya yang panjang (2 jam 49 menit), dan tema yang filosofis. Pacing yang lamban ini terasa disengaja untuk memberikan pengalaman yang lebih kontemplatif dan misterius, dan untuk sebagian besar scene yang ada terasa cukup berhasil. Tapi ada pula beberapa adegan yang menurut saya terasa berjalan terlalu lama, terutama di beberapa bagian mendekati ending, dan paling terasa saat adegan mengendarai mobil yang tidak memberikan dampak atau implikasi apa pun terhadap keseluruhan film, selain hanya menunjukkan kota yang diceritakan futuristik (it doesn’t age well though). Dari kabar yang saya dapat, adegan ini harus dimasukkan karena regulasi dari pemerintah Uni Soviet dikarenakan adegan itu direkam di luar negeri (Jepang), sehingga harus dipertahankan agar tidak sia-sia, menjustifikasi resource yang dikeluarkan.

 

 

Akting dalam film ini bagi saya terbilang cukup baik, terutama oleh Natalya Bondarchuk, Jüri Järvet, dan Anatoly Solonitsyn, dengan karakter mereka yang bervariasi (dari curious hingga pesimis), namun tetap menarik. Donatas Banionis sebagai sang karakter utama dengan sifat yang stoic, bagi saya memberikan performance yang cukup, meski pada beberapa bagian nuance yang dibawakannya terasa kurang, sehingga terasa agak membosankan. Beberapa karakter minor lainnya memberikan energi yang tidak berlebihan atau pun kurang bagi saya. Akan tetapi, dikarenakan film ini menggunakan bahasa Rusia, saya tidak bisa benar-benar menilai gaya bicara & pengucapan para aktor dan aktris, tapi mereka bisa menyampaikan emosi yang cukup bagi penonton.

 

 

Sinematografi & soundtrack pada Solaris bagi saya terasa pas untuk atmosfer dan konsep yang dibawakan film. Musik utama film ini, Ich ruf’ zu dir, Herr Jesu Christ, BWV 639 yang dibawakan oleh Eduard Artemyev sangat mendukung hawa kontemplatif yang dibawakan film. Musiknya yang mendayu-dayu terasa seperti ratapan dari para karakter akan pertanyaan-pertanyaan yang menghantui mereka. Sebenarnya, film ini pun tidak banyak menggunakan soundtrack, lebih banyak adegan dengan latar suara yang hening. Beberapa adegan yang lebih emosional baru menggunakan theme oleh Artemyev. Sinematografi oleh Vadim Yusov pun tidak kalah mendukung. Gambar-gambar yang ditampilkan memberi kesan yang “memanusiakan” lokasi dari Solaris itu sendiri. Adanya identitas tersendiri dari Solaris dan orang-orang di dalamnya, menggambarkan kondisi & hubungan antar mereka. Sinematografi dalam film ini berhasil menangkap emosi karakternya, meski dalam kondisi yang statis.

 

 

Solaris adalah sebuah film sci-fi drama dengan konsep yang cukup kompleks, sarat dengan unsur filosofis yang cukup berat untuk dicerna. Pengalaman yang ditawarkannya adalah untuk merenungi makna tujuan dari hidup, apa yang menjadi dasar sebenarnya dari kemanusiaan, memori, dsb. Konten yang ia bawakan, membuatnya menjadi tontonan yang menurut saya wajib dinikmati setidaknya sekali. Akan tetapi konten & pembawaannya yang lamban itu membuatnya perlu konsentrasi lebih untuk menontonnya.