Movie Review: BLADE RUNNER 2049
Sutradara: Denis Villeneuve
Penulis: Hampton Fancher, Michael Green
Pemain: Ryan Gosling, Ana de Armas, Harrison Ford, Sylvia Hoeks, Jared Leto, Robin Wright
Rating: Dewasa (Restricted)
“
REPLICANTS are bioengineered human, designed by Tyrell Corporation for use off-world. Their enhanced strength made them ideal slave labor
After a series of violent rebellions, their manufacture became prohibited and Tyrell Corp went bankrupt
The collapse of ecosystems in the mid 2020s led to the rise of industrialist Niander Wallace, whose mastery of synthetic farming averted famine
Wallace acquired the remains of Tyrell Corp and created a new line of Replicants who obey
Many older model Replicants – Nexus 8s with open-ended lifespans – survived
Those that hunt them still goes by the name…
BLADE RUNNER
”
Teks diatas adalah pembuka dari Blade Runner 2049. Diiringi musik yang lirih, opening dilanjutkan dengan menunjukkan kondisi lingkungan California pada tahun 2049, yang mana terlihat mendung & suram. Kendaraan sang karakter utama, Officer K (Ryan Gosling), pun terbang melaju & mendarat, mengantarkan sang Blade Runner untuk menjalani misinya. Akan tetapi, dalam tugasnya itu K menemukan sebuah objek misterius, yang dapat mengguncang dunia apabila keberadaannya diketahui masyarakat luas…
Maka itu, K pun diperintahkan oleh atasannya Letnan Joshi (Robin Wright) untuk menyelidik asal usul dan orang-orang yang berkaitan dengan penemuan itu. Dalam investigasinya itu, K sendiri pun mengalami kejadian yang membuatnya mempertanyakan eksistensi & kehidupannya sendiri.
Itulah sinopsis dari Blade Runner 2049, karya sutradara Denis Villeneuve. Blade Runner 2049 ada sekuel dari Blade Runner karya Ridley Scott, yang kali ini bertindak sebagai executive producer. Screenplay film ini juga ditulis oleh Hampton Fancher yang dulu juga menulis screenplay Blade Runner, namun kali ini dibantu oleh Michael Green (Logan, Alien Covenant). Meski film ini adalah sebuah sekuel, akan tetapi plot film ini tidak begitu ada hubungannya dengan film pertamanya. Bila anda tidak pernah menonton Blade Runner pun anda masih bisa memahami plot film ini. Akan tetapi, pemahaman plot akan menjadi lebih cepat & bisa lebih didalami bila anda sudah menonton yang pertama. Juga karena dengan menonton film pertamanya, anda bisa lebih cepat mengerti istilah, setting, dan konteks dalam dunia film ini.
Untuk dasarnya saja, Replicant adalah manusia buatan yang diciptakan sebagai budak untuk melakukan pekerjaan yang dianggap tidak mengenakan bagi orang biasa, seperti berperang, mining, prostitusi, mata-mata, dsb. Karena mereka “dibuat” khusus untuk bekerja, para replicant dianggap sebagai produk & pada dasarnya memiliki emosi yang minim. Apa bila akhirnya seorang replicant dapat mengembangkan emosi & pikirannya sendiri, ia akan menjadi mirip manusia & dianggap berbahaya karena bisa memberontak. Bila itu terjadi, dikirimkanlah seorang Blade Runner, yang bertugas untuk memburu & “memensiunkan” replicant tersebut.
Bila anda pernah menonton trailer film ini, jangan sampai tertipu! Meski trailernya menggambarkan film ini sebagai film full action, film aslinya sama sekali tidak seperti itu. Meski tetap ada ada adegan action (yang sangat sedikit), Blade Runner 2049 lebih menekankan pada misteri investigasi, konsep sci-fi-nya, dan pengembangan karakter. Selain itu, dengan durasi 2 jam 41 menit, film ini memiliki pace yang sangat lamban. Banyak adegan yang memiliki build up yang panjang, adegan-adegan itu pun sebenarnya ada untuk “menyedot” penonton ke dalam atmosfer film, meski hasilnya durasi film ini pun menjadi sangat bloated. Jangan lihat film ini sebagai blockbuster, anggaplah Blade Runner 2049 sebagai sebuah film art house dengan budget ala film Marvel. Saran saya, untuk pengalaman maksimal jangan mengorek-ngorek plot lebih dalam lagi sebelum menonton, dan tontonlah film dengan fokus, film ini bukan untuk refreshing. Bila sedang lelah, akan cukup mudah untuk bosan saat menonton, bila siap, well enjoy the ride.
Plot dalam Blade Runner 2049 menekankan pada konsep-konsep eksistensialis & sci-fi, seperti hal apa yang sebenarnya mendefinisikan manusia, AI sentience, keunikan seorang individu, hal apa yang bisa dibilang “nyata”, dsb. Semua hal ini pun dibahas lewat perjalanan sang karakter utama K, dengan segala investigasi & interaksi yang ia jalani. Menurut saya, presentasi akan cerita & karakter utama dalam film ini sudah cukup jelas, namun perlu perhatian penuh akan tiap-tiap adegannya.
Menurut saya perlu ditekankan pula, bahwa fokus utama dalam film ini memang adalah journey dari K, si tokoh utama, sehingga pengembangan & resolusi cerita pun tetap berfokus pada character arc dari K sendiri, tidak lebih tidak kurang. Seiring cerita pun akan ditunjukkan beberapa faction besar dalam dunia film. Meski begitu, mereka pun lebih diperlakukan sebagai plot device bagi character arc K. Bila mereka dirasa tidak akan berhubungan dengan K lagi, then they’re gone from the screen or even the plot itself.
Bagi saya, dalam segi akting, para aktor dalam film bisa memberikan depth dalam karakter mereka masing-masing, atau seburuk-buruknya hanya good enough untuk perannya. Ryan Gosling & Ana de Armas sebagai K & Joi dapat menampilkan karakter yang terasa hidup dengan perjalanan emosionalnya & sifat tersendiri, dan chemistry antar karakter mereka pun sangat mendukung cerita, sayangnya penjelasan lebih lanjut akan bersifat spoilery, sehingga lebih baik di-stop saja penjelasannya. Sylvia Hoeks sebagai Luv menggambarkan karakter yang selalu berusaha menjadi yang terbaik & mendapatkan approval (in a toxic way) dengan performance yang baik. Jared Leto kembali berperan sebagai karakter eksentrik Niander Wallace dalam film ini. Pada awalnya karakternya terasa cukup aneh, saking anehnya dia sampai terasa out of touch dengan setting dunia dalam film, tapi setelah dipikir-pikir maybe that’s the point, karena memang karakternya pun buta & memiliki god complex. Untuk cast lainnya, seperti Robin Wright, Mackenzie Davis, Dave Bautista memberikan penampilan yang baik, dengan adanya depth yang cukup bagi karakter mereka, meski adegannya sedikit.
Selain itu, ada pula cast yang hadir di film pertamanya. Yang paling utama adalah Harrison Ford sebagai Rick Deckard, sang original Blade Runner. Dalam film ini, Harrison Ford memerankan Deckard yang sudah banyak berubah, yang sudah menua 30 tahun dari film pertamanya. Karakternya dalam Blade Runner 2049 pun tidak hanya sebagai fan service atau tempelan saja. Keberadaan Deckard pada flm ini terbilang cukup krusial bagi plot utamanya. Selain Harrison Ford, aktor Edward James Olmos juga muncul sebagai cameo di film ini sebagai Gaff, seorang blade runner lain dari film pertamanya yang kali ini sudah pensiun. Aura misterius karakternya pun masih bertahan di sini.
Seperti disebutkan di atas, adegan aksi pada Blade Runner 2049 terbilang cukup sedikit. Meski begitu, adegan-adegan tersebut jadi lebih mudah diingat. Gaya aksi dalam film terbilang brutal, tapi “halus”. Presentasinya artistik, tapi tetap grounded. Selain itu, setiap adegan aksi biasanya sudah dibangun ketegangannya dari menit-menit sebelumnya, sehingga tidak muncul begitu saja, penonton dipersiapkan.
Dalam segi artistik, film ini memiliki style yang sangat bold. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, Blade Runner 2049 adalah sekuel dari Blade Runner. Dalam Blade Runner (yang dibuat pada tahun 1982), ditunjukkan bahwa pada tahun 2019, dunia sudah memiliki replicant / manusia buatan & mobil terbang, perusahaan seperti Pan Am & Atari masih besar dan berjaya, monitor CRT masih banyak dipakai, juga sebagian besar hewan sudah punah (sehingga ada pula replicant binatang). Seperti yang kita tahu, 2019 di dunia nyata tidak mungkin seperti itu, sehingga Blade Runner 2049 pun dibuat dengan melanjutkan sejarah & estetika film pertamanya, tanpa mengikuti sejarah asli.
Misalnya, sebagian besar teknologi dalam film ini bersifat analog (contohnya mesin arsip DNA di LAPD), iklan-iklan raksasa masih menguasai landscape LA, dan referensi mengenai kepunahan sebagian besar hewan. Bahkan di film ini diperlihatkan kalau Uni Soviet masih berdiri (dengan adanya hologram produk Soviet di LA) untuk menegaskan bahwa film ini bersetting di alternate universe. Selain itu, tema kerusakan lingkungan banyak ditunjukkan dalam film ini, dengan adanya sea wall & salju di LA, radiasi nuklir di Vegas, dan kelangkaan kayu.
Presentasi dunia dalam film pun sangat immersive, dengan desain set kota, kantor, apartemen, dsb yang terkesan futuristik namun memiliki gaya retro pula. Almost every location feels like a real space. Mengapa almost? Karena bagi saya ada set di Vegas yang rasanya terlalu stylish, sehingga ada terasa kurang real saja. Juga, arsitektur gedung-gedung yang beraliran brutalis juga menambah kesan dystopia & kelam yang dibawakan. Selain itu film ini memiliki sound design yang cukup clean & bunyinya “pas” enak didengar , mulai dari suara mesin kendaraan, gadget, bahkan sinyal radio. It’s quite a technical masterpiece.
Selain itu, sinematografi oleh Roger Deakins tidak perlu diragukan lagi kualitasnya. Setiap shot dalam film komposisi yang enak dilihat & tertata, sampai-sampai hampir semua adegannya bisa dijadikan wallpaper komputer bila mau. Komposisi tiap adegan, pergantian scene, lighting semuanya tersusun dengan indah, berpadu dengan soundtrack film yang dibuat oleh Hans Zimmer & Benjamin Wallfisch. Soundtrack dalam film ini tampak berusaha mengikuti gaya soundtrack film pertamanya, tapi tetap dengan atmosfernya sendiri. Dibanding soundtrack Blade Runner oleh Vangelis yang lebih jazzy, soundtrack Blade Runner 2049 terasa lebih megah, namun brutal & opresif (well it has a dystopian setting anyway). Ada pula sedikit score & nada yang dipakai ulang dari film pertamanya, tapi sudah disesuaikan dengan gaya soundtrack yang baru.
Blade Runner 2049 adalah sebuah film sci-fi misteri dengan visual & sound design yang spektakuler. Cerita yang ia bawakan terbilang cukup kompleks, namun mudah dimengerti, akan tetapi pacingnya yang sangat lamban mungkin bisa menjadi turn off bagi sebagian orang. But if you give it a try, it’s worth it.