SUARA SIAPA YANG KITA DENGAR?
Pieter Joshua Handoko
(GKY Greenville Jakarta)
Sumber Gambar : www.bagas.org
2 Raja-raja 18
Saat kerajaan Israel berakhir secara menyedihkan, masih ada pengharapan yang besar bagi Kerajaan Yehuda. Ahas—yaitu raja Yehuda yang paling jahat—ternyata memiliki anak (yaitu Hizkia)—yang melakukan apa yang benar di mata Tuhan, bahkan “tepat seperti yang dilakukan Daud, bapa leluhurnya” (18:3). Hizkia menjauhkan bukit-bukit pengorbanan, meremukkan tugu-tugu berhala, menghancurkan ular tembaga yang dibuat Musa, yang disembah bangsa Israel. Kepercayaannya kepada Tuhan Allah Israel tidak dapat dibandingkan dengan raja-raja Yehuda lainnya. Oleh karena itu, Tuhan menyertai dia. Hizkia bahkan berani memberontak terhadap raja Asyur. Ia berhasil mengalahkan orang Filistin.
Alkitab mengingatkan alasan yang membuat Israel kalah dan mengalami pembuangan, yaitu karena mereka tidak mendengarkan suara Tuhan (18:12). Kemudian, datanglah suara utusan raja Asyur yang menyampaikan katakata yang sangat melemahkan hati, merendahkan raja Yehuda, meremehkan tentara Yehuda, bahkan menghina Allah Israel. Suara yang diucapkan dalam bahasa Yehuda tersebut bisa dimengerti seluruh rakyat. Namun, dalam kegetiran, rakyat tetap diam karena mereka manaati perintah raja Hizkia untuk tidak menjawab utusan Asyur tersebut (18:36).
Saat ini, suara siapa yang lebih kita dengarkan dan kita percayai? Suara dunia (yang menyerukan ketakutan, kekuatiran, kebergantungan pada uang dan haus akan posisi, pengejaran ambisi manusia) atau suara Tuhan (yang menenangkan jiwa, dan membawa pada penyerahan hidup dalam pengaturan-Nya yang sempurna)? Bandingkan dengan Maria, yang rindu untuk terus mendengar suara Tuhan.
“Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang ber nama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya” (Lukas 10:39)
Sumber Penulisan/Daftar Pustaka : http://www.gkygrv.org/