Menyalibkan Keinginan

Perjanjian Baru menunjukkan bahwa sebuah pelanggaran atau dosa terjadi bukan hanya setelah dilakukan secara fisik; tetapi keinginan yang tidak proporsional sudah dapat mengondisikan dosa (1Tim. 6:10). Yakobus menulis: Apabila seorang dicobai, janganlah ia berkata: “Pencobaan ini datang dari Allah!” Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun. Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut. (Yakobus 1:13-15)

Dalam ayat-ayat ini ditegaskan bahwa Allah tidak akan pernah membujuk kita berbuat suatu kejahatan atau mengisi jiwa kita dengan keinginan yang bertentangan dengan kekudusan-Nya; tetapi setiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri.

Dengan demikian Allah tidak akan pernah sengaja membawa kita ke dalam pencobaan. Kalau dalam Doa Bapa Kami dikatakan “janganlah membawa kami ke dalam pencobaan” (Mat. 6:13a), itu berarti Allah menghendaki kita selalu menjaga diri dan tidak sengaja membawa diri kita ke dalam pencobaan. Ia menghendaki kita untuk selalu membawa diri kita sendiri kepada keinginan yang sesuai dengan kehendak-Nya.

Ini dijelaskan dari kelanjutan kalimat tersebut, yaitu “Lepaskanlah kami dari pada yang jahat” (Mat 6:13b). Ini merupakan panggilan agar orang percaya berarti kita sendiri harus melepaskan diri kita dari keinginan-keinginan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Ia menghendaki kita tidak menyeret diri kita sendiri kepada keinginan yang bertentangan dengan kehendak-Nya. Itulah sebabnya Paulus berkata: Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. (Filipi 4:8)

Mutlak harus disalibkan

Pikiran kita harus selalu diperbarui (Rom. 12:2). Orang yang pikirannya sesuai dengan Tuhan menandakan ia telah hidup baru dalam Tuhan. Pikiran yang sesuai dengan Tuhan tidak menggerakkan seseorang memiliki keinginan dari dirinya sendiri. Banyak orang tidak yakin dan tidak setuju untuk menanggalkan keinginan dari dirinya sendiri.

Tetapi seiring dengan perjalanan waktu dan pertumbuhan kedewasaan rohani, orang percaya yang bertumbuh harus mengerti dan menerima bahwa semua keinginan harus disesuaikan dengan kehendak Tuhan. Ini berarti, kita tetap mempunyai keinginan, tetapi yang kita peroleh dari Allah bukan dari diri kita sendiri. Keinginan diri kita sendiri mesti disalibkan atau ditanggalkan. Ini adalah sesuatu yang mutlak harus dilakukan setiap orang yang telah ditebus oleh darah-Nya.

Banyak orang Kristen sudah terlalu lama terbiasa hidup dalam berbagai hasrat dan keinginan, hal itu dianggap sebagai suatu kewajaran. Tetapi kalau kita mengerti dan menerima bahwa kehidupan ini diciptakan oleh suatu Pribadi yang memiliki kehendak atau keinginan, Pribadi yang memiliki pikiran dan perasaan, maka kita harus mulai mempertimbangkan: Apakah kita boleh sebebas-bebasnya mengumbar keinginan kita, tanpa mempertimbangkan kehendak, pikiran dan perasaan-Nya? Harus dipahami bahwa sikap hidup dan segala gerak kehendak, pikiran dan perasaan orang percaya sebagai anak-anak Tuhan sangat mempengaruhi hati atau perasaan-Nya.

Sebelum kita bertobat dan mengikut Tuhan Yesus, kita merasa memiliki diri kita sendiri. Kita seperti Petrus ketika masih muda “mengikat pinggang sendiri dan berjalan ke mana saja yang kita kehendaki”, tetapi setelah kita tua atau makin dewasa rohani kita harus “mengulurkan tangan dan orang lain akan mengikat kita dan membawa kita ke tempat yang tidak kita kehendaki” (Yoh. 21:18). Inilah yang dimaksud dengan menyalibkan keinginan. Fenomena ini sejajar dengan doa Tuhan Yesus yang berbunyi, “Bukan kehendakKu yang jadi tetapi kehendak-Mu” (Luk. 22:42) sebagai pelaksanaan dari Doa Bapa Kami yang berbunyi, “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga” (Mat 6:10).

Kedaulatan kehendak Tuhan

Dalam kehidupan ini, kehendak Tuhanlah yang harus berdaulat secara penuh. Kita sebagai hamba-hamba-Nya memberi diri tunduk terhadap kedaulatan dan otoritas-Nya secara penuh, baru dapat dikatakan taat sepenuhnya. Manusia memang dirancang untuk ini sejak diciptakan.

Cepat atau lambat setiap insan akan tiba pada suatu saat ketika ia tidak akan memiliki keinginan apa pun, atau dipaksa tidak memiliki keinginan apa pun. Saat itu terjadi menjelang ia tutup usia. Seluruh organ tubuhnya sudah tidak dapat dipakai lagi, atau rusak atau sakit. Di saat seperti itu seseorang tidak akan mampu memiliki keinginan apa pun, kecuali Tuhan yang dapat menjadi sahabat abadi. Di saat seperti itu, kekayaan sebanyak apapun tidak dapat membantu. Barulah kita dapat menghayati bahwa kekayaan adalah Mamon yang tidak jujur atau menipu (Luk. 16:9). Kekayaan ternyata terbatas kehandalannya.

Sebelum kita menghadapi situasi yang memaksa kita menanggalkan segala keinginan kita di ujung maut, marilah kita belajar dari sekarang untuk dengan rela dan sukacita menanggalkan segala keinginan dari kita sendiri. Sebagai gantinya, dan mengenakan prinsip “Makananku adalah melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh. 4:34), gaya hidup yang diteladankan oleh Tuhan Yesus. Kita wajib meneladani-Nya sebab setiap orang percaya wajib hidup sama seperti Dia hidup (1Yoh. 2:6). Ketika kita menjadi orang percaya, gaya hidup inilah yang Tuhan kehendaki kita kenakan dalam kehidupan ini. Sebagai yang sulung di antara banyak saudara (Rom. 8:29), Yesus menjadi teladan atau pelopor. Lalu kita meneladani atau mengikuti-Nya. Dalam hal ini yang diikuti adalah kesediaan hidup dalam ketertundukan terhadap otoritas Bapa.

Menanggalkan keinginan bukan berarti tidak memiliki keinginan, tetapi mengisi jiwa kita dengan keinginan Tuhan semata-mata. Ini akan membuka kesempatan dimana kehendak Tuhan-lah yang menguasai kehidupan kita. Dalam hidup ini, kita hanya mau melakukan kehendak-Nya. Orang yang berhasrat melakukan kehendak Tuhan akan diberi kepekaan untuk mengerti apa yang dikehendaki-Nya. Sebaliknya kalau seseorang tidak berhasrat melakukan kehendak Tuhan, Ia tidak akan memberitahu apa yang dikehendaki-Nya. Orang itu tidak akan memiliki kepekaan untuk mengerti kehendak Tuhan. Harus selalu diingat bahwa Ia tidak akan memberikan barang yang kudus kepada anjing dan tidak melemparkan mutiara kepada babi (Mat. 7:6). Jelas, Ia tidak akan memberikan sesuatu yang bernilai tinggi atau berharga kepada mereka yang tidak layak menerimanya atau yang tidak rindu mengerti Firman.

Menyangkal diri

Dengan kesediaan menanggalkan segala keinginan, bukan berarti kemanusiaan kita hilang. Kita tetap sadar, bahwa kita tidak pernah menjadi siapa-siapa, kita tetap manusia dengan segala unsur kemanusiaan yang utuh, tidak pernah lenyap. Dalam hal ini, Allah tetap mengizinkan kita menikmati kesenangan-kesenangan sebagai manusia dengan berkat-berkat yang disediakan-Nya bagi kita, baik berkat jasmani maupun berkat rohani. Di satu sisi kita melakukan segala sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya, di sisi lain kita tetap menjadi manusia dengan menikmati segala kesenangan yang diberikan-Nya bersama dengan-Nya. Bersama dengan Allah maksudnya tidak ada kesenangan yang kita nikmati yang bertentangan dengan kehendak-Nya. Untuk ini orang percaya memasuki proses penyangkalan diri.

Menyangkal diri adalah suatu sikap dari ketetapan hati yang mengasihi Allah. Sikap yang berkata “tidak” terhadap hal yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dan berkata “ya” untuk kehendak Allah. Menyangkal diri merupakan kesediaan untuk meninggalkan segala keinginan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan.

Menyangkal diri adalah menyangkal hasrat menyenangkan diri sendiri yang kita warisi dari nenek moyang. Hasrat ini bertumbuh dan semakin kuat akibat pengaruh lingkungan yang jahat. Hasrat dosa ini harus dikikis dan dimatikan melalui penyangkalan diri agar benih Ilahi di dalam hidup kita bertumbuh normal. Menyangkal diri juga bertalian dengan penghapusan segala pola berpikir dan filosofi hidup yang tidak sesuai dengan kehendak Allah.

Proses penyangkalan diri melibatkan Allah dan diri kita secara penuh. Untuk itu Roh Kudus yang ada dalam diri kita membimbing kita kepada kebenaran, memberi pengertian-pengertian terhadap Firman-Nya (Yoh 16:13). Oleh sebab itu betapa pentingnya Firman Tuhan yang murni itu. Firman-Nya menuntun kita kepada kekudusan Allah (Yoh 17:17). Firman Tuhan adalah cermin kesempurnaan yang menjadi ukuran kehidupan kita, Yang membuat kita dapat mengerti tujuan ideal kehidupan kita. Bagi umat Perjanjian Baru tentu Firman Tuhan sebagai penuntun harus berpusat pada apa yang diajarkan dan dilakukan oleh Tuhan Yesus serta tulisan Rasul-rasul. Roh Kudus juga menguatkan batin manusia agar melakukan Firman Tuhan, agar kita berakar serta berdasar dalam kasih (Efe 3:16-17).

Orang yang menyangkal diri adalah orang yang rela melepaskan keinginannya sendiri dan larut dalam ketaatan kepada apapun yang diinginkan oleh Tuhan. Dengan demikian seseorang tidak memiliki visi, cita-cita dan kehendak sendiri. Semua yang ada pada minat dan niatnya adalah semua yang disalinnya dari Tuhan. Jiwa menjadi bejana dimana kehendak Tuhan dicurahkan dalam jiwa kita, sehingga pikiran dan perasaan kita dikuasai oleh-Nya.

Mengamati penjelasan di atas bisa timbul pertanyaan: Apakah kehidupan seperti itu wajar? Bukankah manusia diciptakan Tuhan dengan kehendak? Benar, Tuhan menciptakan manusia dengan kehendak, tetapi kehendaknya haruslah digunakan untuk memilih melakukan kehendak Allah Penciptanya. Dalam hal ini Allah Sang Pencipta berhak menuntut ciptaan-Nya untuk melayani diri-Nya. Bila kehendak manusia dipakai untuk melayani diri sendiri berarti manusia menempatkan diri sebagai pemberontak, tidak menempatkan diri sebagai hamba.

Kalau seseorang menyangkal diri secara benar, yaitu memadamkan segala cita-cita, visi dan kehendaknya pribadi, maka akan lebih membuka kesempatan untuk mengerti kehendak Tuhan dan bersedia melakukannya dengan rela. Bila masih memiliki keinginan sendiri, cita-cita dan visi-visi pribadi, bagaimana isa bisa melakukan kehendak Allah. Mengurusi keinginannya sendiri yang tidak pernah bisa dipuaskan saja ia akan terus bergerak tiada henti dan akhirnya dibelenggu oleh keinginannya sendiri. Ia tidak memberi ruangan untuk Tuhan; semua untuk dirinya sendiri. Bila perlu dan bila mungkin Tuhan juga hendak dipakainya untuk memuaskan keinginannya sendiri. Ia beranggapan, Tuhan ada untuk memuaskan keinginannya; bukan ia ada untuk memuaskan keinginan Tuhan. Orang-orang seperti ini akan sesat oleh keinginan dan ambisinya sendiri sampai ia menutup mata, pulang ke keabadian dengan tangan kosong.

Jika dikatakan harus mematikan keinginan diri sendiri, artinya agar kita tidak membangkitkan suatu keinginan apapun dan bagaimanapun bentuknya yang tidak sesuai dengan kehendak Allah.

Anugerah dan kehormatan

Hidup seperti ini harus dapat dipandang sebagai suatu anugerah dan kehormatan, sebab sungguh adalah kehormatan kalau kita hidup dalam penurutan terhadap kehendak Allah. Kita diperkenankan melayani perasaan dan kehendak-Nya dalam segala hal dalam hidup yang baru.

Jadi jangan melakukan kehendak Allah karena kita takut dihukum; lakukanlah kehendak Allah karena kita mau membahagiakan-Nya. Ini kita lakukan sekalipun sebenarnya Ia tidak membutuhkan kebahagiaan dari kita. Ia pribadi yang Maha Bahagia (1Tim 1:11); tetapi kalau kita boleh menyenangkan hati-Nya, ini adalah suatu anugerah yang luar biasa bagi kita.

Oleh sebab itu hal melakukan keinginan Tuhan dengan cara menanggalkan keinginan diri sendiri harus diterima sebagai suatu anugerah. Kita melakukannya dengan rela dan sukacita.

Orang yang mau melakukan keinginan-keinginan Allah adalah orang-orang yang menjadikan-Nya kesukaan atau kebahagiaan hidupnya. Tidak perlu lagi keinginan atau cita-cita untuk meraih sesuatu, kecuali apabila sesuatu itu berguna bagi Allah. Bukan bagi kepentingan sendiri, apa lagi untuk sebuah prestise, harga diri, gengsi, kehormatan atau nilai diri dan kesenangan diri sendiri.

Tidak dapat disangkal, selama ini orang meraih cita-cita hanya untuk menempatkan dirinya berharga di mata manusia atau paling tidak agar ia dapat memiliki kehidupan yang layak seperti manusia lain. Ini adalah kesalahan semua orang, termasuk kita.

Visi atau cita-cita kita adalah dari Allah, bukan dari diri kita sendiri. Oleh sebab itu anak Tuhan tidak boleh mudah mengatakan “aku punya visi”, sebab hidupnya hanya untuk melakukan kehendak Allah dan menyelesaikan pekerjaan-Nya, bukan visinya sendiri. Karena kita telah dimiliki Tuhan, maka pantas tidak berhak memancangkan visi kita sendiri sebab kehidupan yang diatur atau dikendalikan oleh Tuhan.

Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah. (1 Korintus 10:31)

Hendaknya kita tidak menganggap Rasul Paulus sebagai manusia super yang memiliki ukuran iman dan kesusilaan khusus, atau manusia yang tidak normal. Tidak demikian. Justru ia model anak Tuhan yang normal. Oleh sebab itu dari sepak terjang hidup dan pelayanannya kita dapat meneladani hal-hal yang indah.

Salah satu yang dapat diteladani dari Paulus adalah dalam catatan Tabib Lukas di Kis. 18:18-23 mengenai perjalanan penginjilan Paulus yang kedua. Ia berangkat dari Kengkrea dan tiba di Efesus bersama Akwila dan Priskila, orang-orang Efesus memintanya tinggal lebih lama di sana. Tetapi ia tidak mengabulkannya. Ia memang ingin kembali ke sana, seperti yang dijanjikannya dalam Kis 18:21. Tetapi ia tidak sembarangan berjanji; ia berkata, “Aku akan kembali kepada kamu, jika Allah menghendakinya.” Kalimat ini menunjukkan sikap Paulus terhadap Allah yang dilayaninya. Ia tidak akan bertindak jika Allah tidak memerintahkannya. Akhirnya memang Paulus kembali ke Efesus (Kis. 19:1) dan tinggal di sana selama tiga tahun (Kis 20:31) karena memang Allah menghendakinya. Ini adalah kehidupan yang menyerah kepada pengaturan Allah. Ia tidak mengatur dirinya sendiri; ia mengizinkan Allah mengatur dirinya. Kehidupan semacam ini menunjukkan kedewasaan rohani seseorang.

Memiliki kepekaan

Tidak sedikit orang Kristen hari ini yang hidupnya di bawah pengaturan dirinya sendiri. Tanpa sadar mereka disesatkan oleh roh-roh jahat sehingga mereka tidak mengalami rencana Allah yang digenapi dalam hidup mereka. Ada gereja-gereja berjalan sendiri dengan segudang program yang tidak dikonfirmasikan dengan Allah. Bagi mereka, mendengar suara Tuhan sudah digantikan metode lain yang dianggap lebih canggih, yaitu pola kerja hasil karya pikiran manusia. Dalam kehidupan pribadi, tidak banyak orang yang mengadakan waktu mendiskusikan rencana-rencana, cita-cita dan keinginan-keinginan hatinya dengan Allah.

Banyak orang berjalan sendiri sesuai dengan selera, perhitungan dan keinginannya sendiri dalam berbagai kasus seperti membeli suatu barang, sekolah, jodoh, pindah rumah, bisnis, tempat kerja dan lain lain. Memang kita tidak harus selalu bertanya apa yang harus kita lakukan kepada Tuhan, “Bolehkah beli barang ini? Bolehkah pergi ke sana?” Tetapi seseorang yang mengerti kebenaran Firman Tuhan dan berkeinginan dengan sungguh-sungguh mau menyenangkan hati Tuhan pasti memiliki kepekaan untuk membedakan apakah sesuatu yang dilakukan sesuai kehendak-Nya atau tidak. Untuk hal-hal yang berpengaruh besar untuk hidupnya – misalnya jodoh dan jurusan kuliah – ia akan bergumul dengan sangat serius agar menemukan pimpinan Tuhan.

Mengapa orang Kristen tidak peka terhadap kehendak Allah? Karena mereka telah merencanakan apa yang diingininya dan mengukirnya di dalam hati. Semakin dalam itu diingininya, semakin sulitlah untuk menangkap kehendak Allah. Tetapi semakin seseorang memiliki kesediaan menyerah kepada kehendak Allah dan rindu menyenangkan hati-Nya, semakin pekalah ia untuk mengerti apa dikehendaki-Nya. Ia mau menunjukkan jalan-jalan-Nya (Yes. 2:3).

Memang dunia dewasa ini mengagung-agungkan pikiran manusia dan menganggap manusia berhak bertindak sesukanya. Irama hidup seperti ini sudah merupakan irama hidup umum. Tetapi hendaklah kita ingat nasihat Yakobus agar kita tidak melupakan Tuhan dalam perencanaan. (Yak. 4:13-17). Ini membutuhkan kerendahan hati untuk mengakui bahwa Allah kita adalah Tuhan Semesta Alam yang menentukan segala sesuatu dan berkuasa menyelesaikan segala sesuatu. Oleh sebab itu setiap rencana kita harus dimulai dengan kalimat: “Jika Tuhan menghendakinya” (Yak. 4:15). Dengan demikian Kekristenan adalah kehidupan yang hanya menjalankan keinginan Tuhan dengan belajar memadamkan keinginan kita sendiri.