Manusia adalah Gambar Allah
Pandangan yang benar mengenai siapa manusia tertulis dalam kitab Kejadian 1:26-27. Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Bila dipertanyakan: Dalam hal mana manusia segambar dengan Allah? Pertanyaan ini sebenarnya sukar untuk dijawab. Tetapi segambar disini pasti lebih menunjuk kepada unsur rohaniah atau batiniahnya, sebab Allah adalah Roh (Yoh 4:24). Tetapi bila dipersoalkan bentuk apakah yang sering ditampilkan Tuhan di Kerajaan Sorga atau dimanapun, maka jawaban yang paling logis adalah bentuk manusia seperti kita ini. Itulah sebabnya Tuhan memilih bentuk fisik seperti ini sebagai bentuk yang paling sempurna (Kej 1:31).
Kata-kata yang digunakan untuk gambar dan rupa didalam teks asli Alkitab yaitu dalam bahasa Ibrani adalah tselem dan demuth. Tselem hendak menunjuk gambar dalam arti unsur-unsur dasar yang dimiliki Allah juga dimiliki manusia yaitu pikiran, perasaan, kehendak, kekekalan dan hakekat kerja. Adapun Demuth adalah keserupaan yang menunjuk kepada kualitas atas unsur-unsur tersebut. Keserupaan dengan Allah yang dimiliki manusia bukan sesuatu yang statis tetapi bisa progresif.
Banyak penjelasan para theolog mengenai dua kata tersebut. Tetapi pada umumnya kata tselem dan demuth diartikan tunggal (bersinonim), bahwa manusia diciptakan segambar dengan Allah (Ing, In His own image. Latin, Imago Dei similitudo).
Segambar dengan Allah diartikan sederhana sebagai “mirip seperti Tuhan sendiri”. Gambar Allah atas manusia inilah yang memberi nilai pada manusia (The image of God is what makes man). Gambar Allah merupakan sesuatu yang interen didalam diri manusia, sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari diri manusia. Itulah sebabnya walaupun manusia sudah jatuh dalam dosa, tidak dinyatakan bahwa gambar Allah (tselem)itu tidak hilang sama sekali (Kej 9:6; Yak 3:9). Pengertian ini penting, sebab dalam proses keselamatan, gambar Allah yang rusak ini akan dipulihkan kembali (restituio imaginis Dei – Pemulihan gambar Allah).
Di dalam diri manusia terdapat unsur-unsur yang juga ada di dalam diri Allah, tentu dalam diri Allah skalanya sempurna. Manusia memiliki kecerdasan (rasio) atau intelektual. Hal ini memampukan manusia rasionalisasi, berpikir, berlogika, menganalisa dan lain sebagainya. Oleh karena keberadaan (eksistensi) inilah maka para penganut teori evolusi menyatakan bahwa manusia adalah binatang menyusui yang cerdas, dalam hal ini mereka hanya memandang dari satu sisi saja. Pikiran harus digunakan semaksimal mungkin untuk mengenal Tuhan dan mengelola hasil karya-Nya.
Manusia memiliki perasaan dan emosi. Hal inilah yang membuat manusia dapat memiliki rasa sayang, benci, cemburu, cinta, marah, dan lain-lain. Perasaan inilah yang membuat manusia dapat berinteraksi atau hubungan timbal balik dengan Tuhan dan sesama dalam satu suasana hubungan yang saling mempengaruhi.
Manusia diciptakan dari apa yang tidak ada menjadi ada, baik bahan maupun idenya. Kata ini artinya menciptakan tanpa bahan. Dalam bahasa Ibrani salah satu kata untuk diciptakan, yang digunakan dalam kitab Kejadian adalah”bara”. Manusia diciptakan dari apa yang tidak ada (Latin, Creatio ex nihilo).
Manusia diciptakan dengan cara yang sangat unik, tidak seperti ciptaan-Nya yang lain. Manusia diciptakan dengan tangan Tuhan sendiri (Kej 2:7). Kata menciptakan atau membentuk dalam Kejadian 2:7 adalah “yatser “(Ibr), yang mengandung pengertian aktivitas yang kreatif. Allah membentuk yang juga berarti mengukir (to carve). Didalam kata yatser mengandung unsur seni. Allah menghembuskan nafas ke lubang hidung manusia, sehingga manusia menjadi makhluk hidup (nismat chayim)
Bila seseorang sadar bahwa ia adalah hasil karya Tuhan maka ia akan cenderung mengabdi kepada Tuhan. Sama seperti seorang anak yang sadar bahwa ia menjadi besar dan berprestasi karena orang tua, maka ia akan cenderung mengabdi kepada orang tua. Manusia akhir jaman tidak mau tahu bahwa langit dan bumi diciptakan oleh Tuhan termasuk manusia didalamnya (2 Pet 3:5). Kelompok manusia seperti itu pasti hidup dalam pemberontakan kepada Tuhan. Kesadaran bahwa manusia adalah makhluk ciptaan mendorong seseorang membangun terus menerus hubungan yang proporsional atau yang benar dengan Tuhan sebagai Pencipta. Hal ini dapat menghindarkan praktek memutarbalikkan hirarki (urut-urutan prioritas hidup). Urutan pertama dalam hidup adalah Tuhan, bukan materi atau sesuatu yang lain. Memang seharusnya segala sesuatu yang dilakukan harus bagi Tuhan, sebab segala sesuatu dari Dia, oleh Dia dan bagi Dia (Rom 11:36; 1 Kor 10:31).
Manusia tidak berhak hidup untuk dirinya sendiri, manusia harus hidup hanya bagi Dia yang menciptakannya. Bila tidak demikian berarti suatu pemberontakan terhadap Penciptanya. Pendewasaan rohani harus menggiring umat kepada kesadaran ini. Pada tingkat kedewasaan tertentu kita akan memiliki pengakuan demikian: Allah ada bukan untukku, tetapi aku ada untuk Tuhan .
God doesn’t exist for me, I exist for the Lord