Shifting Values: Ketaatan dan Kecerdasan Bersyukur
Hari-hari yang dilalui dengan pandemi Covid-19 terasa sangat berat. Banyak hal-hal yang berubah, yang sebelumnya selalu kita lakukan menjadi sesuatu yang taboo dan dilarang saat ini. Dahulu, apabila sedang berkunjung ke rumah sanak saudara, kita akan beramah tamah dan bersalaman sebagai ungkapan kasih sayang. Tentu, hal ini menjadi sesuatu yang dilarang mengingat kita harus saling menjaga satu sama lain supaya terhindar dari virus Covid-19. Tidak hanya perbedaan kebiasaan yang harus kita adaptasi, perbedaan nilai pun menjadi salah satu yang terdampak dan terjadi secara berulang-ulang. Salah satu nilai yang mengalami perubahan adalah nilai ketaatan dan kecerdasan bersyukur. Betapa sulitnya untuk tetap taat di tengah kondisi dunia yang selalu berubah dan tidak pernah menjanjikan. Salah satu perumpamaan ketaatan adalah kopi dan gula.
Kopi itu pahit, gula itu manis. Apabila gula dicampurkan kedalam kopi namun rasa kopi tersebut tetap hambar, orang-orang akan menyalahkan si gula “ah ini gulanya kurang.” Apabila gula dicampurkan kedalam kopi dan rasa kopinya sangat pas, orang-orang akan memuji si kopi “ah ini kopinya enak.” Namun, apabila setelah meminum kopi yang sudah dicampurkan gula lantas orang tersebut terkena penyakit, ia akan segera menyalahkan si gula “kena penyakit gula nih gara-gara kebanyakan gula.” Apapun keadaannya, walaupun gula selalu disalahkan dan tidak dihargai, gula akan taat dan selamanya menjadi gula yang selalu manis.
Bersyukur juga menjadi salah satu yang sulit di temui hari-hari ini. Dewasa ini, orang terkadang bersyukur karena sebuah keharusan yang mewajibkan mereka untuk selalu bersyukur. Maka dari itu, penting sekali memilih untuk tetap bersyukur walaupun keadaan tak selalu baik.