Bicara Tanpa Tindakan Nyata

ADA istilah yang sering kita dengar, yaitu NATO. Ini bukan soal Amerika, tetapi lebih kepada singkatan “No Action Talk Only”. Maklum Indonesia adalah gudang kreatif soal singkat-menyingkat. Termasuk menyingkat cara mengumpulkan uang. Tak perlu lama, dalam sekejap, miliaran rupiah bisa ada di saku. Ya, korupsi telah memungkin munculnya orang kaya baru di republik ini. Ada juga menyingkat karier, dengan cara menggkannya. Artinya, jika orangtua  pejabat, itu berarti , atau anggota keluarga lainnya, juga pejabat. Belum lagi yang paling ngetrend, yaitu menyingkat tanggung jawab. Asal sudah bicara, pidato, instruksi, maka selesailah tugas, tanggung jawab sudah dipenuhi. Bahwa di lapangan persoalan sama sekali belum tersentuh, itu soal orang lain. Dan tanggung jawab pun disingkatkan, tak perlu pundak memikul. Lempar, selesai, dan kemudian menutupnya dengan pidato lagi, saya memperhatikan dengan seksama dan sudah memberikan instruksi. Jadi, saya hebat. Semua dikomentari, berarti semua sudah dikerjakan. Hebat kan?

Itulah realita ketika moral sudah menipis atau mungkin sudah tak tersisa. Pemimpin seperti ini sangat memalukan dan pasti menciptakan perpecahan. Paling tidak antara yang idealis dan punya prinsip, dengan para penjilat yang mempertahankan posisi. Tak bisa dibayangkan bagaimana kemajuan akan diraih. Tapi sekali lagi itu pun sudah dipidatokan, jadi artinya, ya sudah maju. Jika  tak bisa melihatnya, ya salah sendiri, kenapa melihat dengan mata. Lihatlah dengan imajinasi, semua tampak jelas bahwa saya baik, hebat, dan kita sudah maju sekali. Ironis, tapi itulah kenyataannya. Dan, menjadi semakin ironis ketika dunia suci yang bernama agama ternyata terjangkit penyakit yang sama. Atau malah adalah sumber utama.
Adalah para ahli taurat, pemimpin agama, yang katanya paling mengerti kehendak Allah, atau kaum Farisi yang selalu merasa paling suci, yang dikritik oleh Tuhan Yesus. Dalam Matius 23: 3, Yesus mengatakan, “Dengarkan apa yang mereka ajarkan tetapi jangan tiru apa yang mereka lakukan”. Para pemimpin agama ini ternyata sangat getol berbicara, tetapi tidak dalam melakukan. Hebatnya, mereka berkata benar namun bertindak nyeleneh. Sebuah fakta yang menyakitkan bukan? Terjadi di lingkungan yang selalu merasa suci. Tapi coba bandingkan, ahli Taurat yang berkata benar tetapi berbuat tidak benar, dengan pemimpin agama masa kini, yang berkata tidak benar dan juga berbuat tidak benar. Bukankah ini lebih parah?

Tapi sekali lagi, itulah kenyataannya. Semakin hari, gereja semakin tebal berbalutkan kepalsuan. Ada orang yang selalu berbicara tentang kemiskinan agar mendapatkan dukungan menolong yang miskin. Dana berdatangan, karena belas kasihan mendengar cerita atau foto yang mengeksploitasi kemiskinan. Yang menjadi ironi adalah, dana besar tak sepenuhnya sampai pada yang berhak karena tersunat oleh yang mengumpulkan. Benar apa yang mereka katakan, “mari bantu orang miskin”. Tapi sungguh tidak benar yang mereka lakukan, karena mengambil keuntungan dari orang miskin.     Pemimpin berbaju agama ini dengan teganya menari di atas derita, dan memperkaya diri lewat kemiskinan orang lain. Lalu yang lainnya, bermain dengan cara yang berbeda tapi ujungnya sama. Dia berteriak lantang, berikanlah persembahanmu. Kembalikan sepersepuluh uangmu yang adalah milik Tuhan. Dan kemudian menebar janji bagaikan politisi murahan, kamu akan mendapat berkali-kali lipat. Janji yang juga layaknya money game. Perpuluhan dikumpulkan, tidak pernah kembali kepada Tuhan, melainkan kepada sang pemimpin sendiri. Dompetnya terus semakin menebal, dan mukanya juga menebal, bahkan sangat tebal, sehingga berkata: Tuhan sangat memberkati kehidupan saya karena pelayanan yang saya lakukan menyenangkan Tuhan. Ini sudah lebih parah lagi. Dia menyebut sepersepuluh uang kita adalah uang Tuhan, jelas ini plesetan. Bukan sepersepuluh, tetapi seratus persen harta benda kita adalah milik Tuhan. Mengembalikan perpuluhan pun dipelesetkan. Untuk diri sendiri, padahal seharusnya untuk rumah Tuhan, yaitu (hamba Tuhan, gedung ibadah, janda miskin, bahkan orang asing, bukan Kristen), itu diatur dalam kitab Ulangan yang tak pernah dibaca, karena pasti merugikan si pengkhotbah yang rakus uang.

Mengajar tak benar dan bertindak lebih tak benar lagi, itulah yang terjadi. Jemaat yang seharusnya dilayani dengan benar, malah dirampok tanpa sadar. Gaya hidup pemimpin agama semakin glamour, bagai jet set kelas atas. Di tengah kemiskin mereka tak segan berhamburan kemewahan. Azas kepatutan sebagai etika standard saja diabaikan, apalagi dari sorot Alkitab pusat kebenaran. Dengan mata telanjang kita melihat semuanya. Sayangnya lebih banyak jemaat yang masa bodoh terhadap fakta ini. Sehingga khotbah yang tak dilakukan mengakibatkan pengabaian pada orang-orang miskin. Orang miskin, orang asing, semakin jauh dari sentuhan gereja. Jika diteruskan kisah ini akan semakin menyakitkan. Seperti kepemilikan gedung gereja yang ternyata menjadi asset pribadi sang pemimpin. Kalaupun atas nama gereja, ternyata notarial diwarnai dengan dominasi garis keluarga. Ah, lihai sekali. Ternyata “orang licin” itu bukan cuma penipu jahat, yang biasa makan korban, dan masuk, keluar, penjara.

Yang ini lebih mengerikan karena sukses menipu, tetap suci, dan tak pernah menginap di penjara. Bahkan ke penjara seakan orang suci mengingatkan para napi, padahal di dalam, yang tersembunyi sangat menjijikkan. Lapis kehidupan pemimpin yang hanya bicara tak melakukan semakin hari semakin panjang. Kemunafikan telah dianggap sebagai sebuah jurus pamungkas yang perlu didalami demi menggapai sukses yang tinggi.
Peringatan Alkitab bahwa semua akan berakhir di hadapan hakim agung, yaitu Tuhan yang suci tak dihiraukan. Bahkan gilanya, sering mereka khotbahkan, dan dijadikan sumpah untuk meyakinkan bahwa mereka benar. Edan, tapi memang itulah fakta dosa, semakin nikmat maka dosa semakin menggila. Hati nurani mati, suara tinggal suara, jangan pernah menunggu tindakan yang nyata dari mereka. Mereka hanya bertindak untuk hal yang berkaitan dengan keuntungan diri. Pemimpin agama, pemimpin politik, semakin hari semakin panjang baris pendusatanya. Kebohongan sudah dianggap biasa, bahkan sudah seharusnya. Alasannya sederhana saja, yang penting untuk kebaikan bersama. Padahal faktanya kebohongan hanya menjadi baik bagi yang berbohong, itupun jika memang ada kebaikannya. Tapi yang pasti kebohongan tak pernah ada nilai baiknya.

Untuk membagun harapan akan masa depan, sangat dibutuhkan kejujuran. Katakan “ya” untuk “ya”, dan “tidak” untuk “tidak”. Jangan lebih, jangan kurang, agar tidak mengecewakan dan menimbulkan kemarahan. Dan, apa yang dikatakan harus diwujudkan, itulah tanggung jawab yang benar. Seribu perkataan bisa terbuang percuma, tetapi satu tindakan nyata akan sangat berdaya guna dalam menciptakan perubahan. Orang akan belajar banyak dari sebuah perbuatan, tetapi akan kecewa lama akibat pembohongan. Anjing adalah binatang yang dianggap setia. Kesetiaan anjing sangat teruji dan dikagumi manusia. Sementara kesetiaan dalam ucapan adalah melakukan apa yang dikatakan. Alangkah terhormatnya  jika dikenal sebagai orang yang setia terhadap perkataan, dan selalu bertangung jawab atasnya. Jangan lupa anjing juga dikenal demikian, sekalipun anjing hanyalah binatang. Karena itu akan sangat ironis bukan, jika perkataan kita tak bisa dipercaya. Karena itu adalah malapetaka, mengingat kita kalah bertanding kesetiaan dengan anjing. Dengan kata lain, anjing lebih terhormat dalam kesetiaannya. jika sampai anjing di atas kita, dan kita di bawah binatang ini, apa sebutan yang cocok buat kita.
Semoga itu hanya mimpi buruk, bahwa kita bukan binatang, apalagi kalah dengan binatang. Ah, jauhlah hal itu. Karena itu, jika  masih manusia, apalagi pemimpin, berlakulah sebagaimana mestinya. Lakukan apa yang  Anda katakan. Jalankan apa yang Anda khotbahkan. Semoga kita bisa menjadi manusia berharga yang dipercaya. Pemimpin yang berkata dan bertindak.

Oleh: Pdt. Bigman Sirait