Toleransi Beragama dalam Pandangan Kristen

Sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah dunia yang pluralistik / penuh dengan keberagaman ini, orang Kristen mau tidak mau harus berjumpa, berinteraksi, berurusan, berkaitan dengan orang-orang yang tidak seiman baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun bermasyarakat. Di negara Indonesia misalnya, mau tidak mau, suka tidak suka, orang Kristen hidup berdampingan dengan orang-orang dari berbagai agama dan kepercayaan. Dalam kondisi semacam ini adalah penting bagi orang Kristen untuk memikirkan bagaimana relasinya dengan orang-orang berkepercayan lain. Jika tidak maka semua itu berpotensi untuk mengakibatkan banyak gesekan, bentrokan, kekacauan, bahkan kerusakan yang akan mengganggu ketentraman dan kedamaian hidup bersama.

 

Pada saat Yesus hidup di dunia ini, dunia sementara dikuasai oleh imperium Romawi. Itu jelas suatu negara yang tidak bersifat teokrasi. Dan karena itu Yesus pun tidak melakukan Civil Law sebagaimana yang diperintahkan hukum Taurat. Misalnya : Yesus tidak menghukum ahli Taurat yang mengajarkan ajaran sesat, Yesus tidak menghukum mati orang-orang kafir yang Ia temui, Ia juga tidak memerintahkan hukuman mati bagi perempuan yang kedapatan berzinah (Yohanes 8:5), padahal jelas Taurat memerintahkan itu (Imamat 20:10). Kalau Ia melakukan semua itu jelas Ia menyalahi hukum Romawi saat itu yang tidak bersifat teokrasi. Karena itu juga adalah salah jika hidup dalam negara yang bersifat demokrasi tapi menerapkan hukum non toleransi beragama seperti negara teokrasi Israel.

 

Dalam Ulangan 10:18-19 tertulis (17) “Sebab TUHAN, Allahmulah Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat, yang tidak memandang bulu ataupun menerima suap; (18) yang membela hak anak yatim dan janda dan menunjukkan kasih-Nya kepada orang asing dengan memberikan kepadanya makanan dan pakaian. (19) Sebab itu haruslah kamu menunjukkan kasihmu kepada orang asing, sebab kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir.”

Terdapat kisah orang Samaria yang murah hati (Luk 10:29-37) dimana seorang Samaria yang menolong orang yang dirampok para penjahat yang sangat besar kemungkinan adalah orang Yahudi, seorang yang adalah musuh bangsanya maupun agamanya. Maka di sini jelas Tuhan Yesus mengajarkan bahwa di dalam hal menolong atau berbuat baik kepada orang lain, perbedaan agama / kepercayaan tidak boleh menjadi halangan.

 

Karena itu, selama masih ada kesempatan, marilah  berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan seiman. Dalam Galatia 6:10 mengatakan bahwa haruslah berbuat baik kepada semua orang dan adanya kata-kata “terutama kepada kawan-kawan seiman” menunjukkan bahwa kata-kata “semua orang” itu termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang tidak seiman. Jadi orang yang tidak seiman pun layak untuk mendapatkan perbuatan baik kita sekalipun mereka bukanlah yang terutama.

 

Memahami Toleransi yang Sesungguhnya

 

Orang Kristen harus berpegang teguh pada iman eksklusifnya sekaligus hidup bertoleransi dengan orang beragama lain. Lalu bagaimana kedua hal itu bisa berjalan bersamaan dan tidak saling meniadakan ? Di sinilah umat Kristiani harus kembali melihat bagaimana memahami toleransi yang sesungguhnya, yang Alkitabiah.

 

Dasar-dasar Alkitabiah yang sudah dipaparkan pada bagian I menunjukkan bahwa toleransi yang ditunjukkan pada orang lain / agama lain adalah suatu sikap penghormatan dan penerimaan yang tulus terhadap iman / keyakinan orang lain tetapi itu tidak berarti mengakui apa yang mereka katakan tentang kebenaran apabila klaim itu bertentangan dengan klaim kebenaran Kristen. Dalam Matius 5:45 tertulis “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”

 

Dalam ayat ini jelas bahwa Tuhan menerbitkan matahari bagi orang jahat. Tapi apakah itu berarti Tuhan menyetujui kejahatannya? Jelas tidak! Orang jahatnya dikasihi tapi kejahatannya tidak disetujui atau bahkan kejahatannya dibenci. Ia menurunkan hujan bagi orang tidak benar. Tapi apakah itu berarti Tuhan menyetujui ketidakbenarannya? Jelas tidak! Orang yang tidak benar itu dikasihi dengan pemberian hujan kepadanya tapi ketidakbenarannya sama sekali tidak disetujui oleh Tuhan. Jadi terlihat bahwa Tuhan bertoleransi kepada orangnya tapi tidak kepada pandangan / pikiran / perbuatannya.

 

Umat Kristiani diajarkan untuk saling menghargai, mengasihi sesama dan berbuat baik pada mereka serta menolong mereka ketika dalam kesusahan, tapi menyetujui apa yang mereka pahami, menerima apa yang mereka katakan sebagai kebenaran, apalagi menyesuaikan ajaran agama Kristen dengan ajaran agama mereka sama sekali tidak dapat dilakukan. Kalau melakukan hal itu, itu bukanlah lagi toleransi namanya melainkan kompromi.

 

Alkitab menjadi sumber dasar bagi kehidupan umat Kristiani yang bertoleransi dengan orang-orang beragama lain. Dengan demikian seorang Kristen haruslah orang yang bisa hidup bertoleransi dan rukun dengan kelompok-kelompok lain yang berbeda keyakinan / agama dengannya bahkan harus berbuat baik kepada mereka.

 

Sumber :  https://www.facebook.com/notes/esra-alfred-soru/toleransi-beragama-dalam-pandangan-kristen/10153632013735879/