Sejarah Jurnalistik di Indonesia, Dimulai pada Masa Pendudukan Belanda
Sejarah jurnalistik di Indonesia dimulai pada masa pendudukan Belanda, tepatnya tahun 1744 dengan adanya surat kabar yang bernama Bataviasche Nouvelles. Surat kabar ini dicetak di kantor percetakan Batavia yang didirikan oleh Gubernur Jenderal Williem Baron.
Bataviasche Nouvelles terbit setiap minggu dan ditulis dalam bahasa Belanda. Surat kabar ini ditujukan untuk orang-orang Belanda yang ada di Indonesia.
Surat kabar yang dicetak oleh Belanda tersebut berisi berita iklan, lelang, pesta, jamuan, obituaru, dan sejarah gereja secara singkat.
Surat kabar Bianglala dan Bromartani menjadi surat kabar pertama Indonesia yang terbit pada tahun 1980-an. Surat kabar Bromartani diterbitkan sebagai uji coba untuk melihat reaksi para pembaca Indonesia.
Awal penerbitan surat kabar tersebut mendapat banyak atensi dari masyrakat. Namun, penerbitan Bromartani dibentikan setelah berusia dua tahun karena jumlah pembacanya yang kian menyusut.
Jurnalistik mulai berkembang secara signifikan di Indonesia setelah diterbitkannya surat kabar Medan Prijaji yang terbit di Bandung pada 1 Januari 1907.
Surat kabar Medan Prijaji didirikan oleh orang Indonesia, Tirtohadisuryo, untuk memperjuangkan hak-hak rakyat pribumi dan ditulis dalam bahasa Melayu.
Perkembangan dari surat kabar Medan Prijaji ini memotivasi surat kabar lain untuk berani mengkritik pemerintah kolonial. Para penjuang kemerdekaan menggunakan surat kabar sebagai media perjuangan.
Pada era tersebut terbit surat kabar, seperti Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, dan Jawa Bode.
Titik kebebasan pers di Indonesia mulai terasa di masa pemerintahan BJ Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menjadi titik balik semakin maraknya jurnalistik di Indonesia.
(***)