[Review] One Cut of the Dead: Ini (Bukan) Hanya Film Tentang Zombi
Review ini bersifat subjektif dan terdapat sedikit spoiler
“Paling isinya cuma gore dan jumpscare kayak film zombi lainnya.” Urungkanlah niat untuk berkomentar seperti itu sebelum menonton film yang satu ini. One Cut of the Dead, bagi kalian yang mengikuti Twitter dari salah satu sutradara ternama Indonesia Joko Anwar mungkin sudah tidak asing dengan judul film yang satu ini. Dalam beberapa cuitannya, Joko Anwar selalu memberikan komentar positif terhadap film ini.
The less you know about One Cut of the Dead before you see it the better. I'm just gonna say this one is good-natured, laugh-out-loud that will remind you why you love movies, and to some us, why we love making them. Brilliant. pic.twitter.com/7e3yhlFWow
— Joko Anwar (@jokoanwar) November 19, 2018
Film One Cut of the Dead sedang main di @CGV_ID dan @cinemaxxtheater. Salah satu film favorit saya tahun ini. Cerdas, menghibur. Mengingatkan kita kenapa kita suka film dan, buat sebagian dari kita, bikin film.
Seriously. Go. Now.
Tonton sampe habis. pic.twitter.com/WkqKfngQ7h— Joko Anwar (@jokoanwar) November 30, 2018
“Salah satu film favorit saya tahun ini.” Begitu penggalan cuitan dari Joko Anwar. Tidak berlebihan sama sekali, karena film yang satu ini memang menawarkan sesuatu yang berbeda, yang mengingatkan kita kenapa menyukai film, dan untuk sebagian dari kita membuat film, menurut Joko Anwar. Tidak hanya sutradara Pengabdi Setan ini yang memberikan komentar positif, banyak kritikus dan situs film juga memberikan nilai yang sangat baik kepada film ini. Salah satunya adalah Rotten Tomatoes yang menampilkan Tomatometer 100% Fresh.
Setelah seluruh pujian di atas, wajar jika kalian mulai penasaran mengenai film ini. Sebenarnya seperti apa film One Cut of the Dead ini?
“Film ini menceritakan sekelompok pembuat film yang sedang membuat film zombi di sebuah gedung tua. Gedung ini bukan gedung biasa. Ada cerita yang mengatakan bahwa sebelumnya gedung tersebut digunakan militer Jepang untuk pecobaan membangkitkan mayat hidup. Namun ternyata zombi sungguhan datang dan meneror para aktor yang ada di gedung tua tersebut. One Cut of the Dead adalah film yang sangat berbeda dimana 37 menit pertama pengambilan gambar dilakukan tanpa henti. Film ini bertransformasi dari sebuah film zombi menjadi film unik yang sangat berbeda dari film yang pernah ada. Sebuah karya yang kocak, menghibur, dan original.”
Sudah tertarik untuk menonton One Cut of the Dead? Jika anda sudah tertarik setelah mendengar komentar positif mengenai film ini dan membaca sinopsisnya, saya menyarankan anda untuk tidak lanjut membaca ulasan ini karena semakin sedikit yang anda ketahui mengenai film ini, akan semakin baik. Bagi yang belum tertarik, bisa lanjut membaca ulasan ini hingga habis, dan apapun reaksi kalian setelah membaca ulasan ini, saya menyarankan untuk tetap menonton One Cut of the Dead, karena film ini terlalu bagus jika hanya dinilai melalui sebuah ulasan.
Film dengan gaya horor komedi ini mengambil tema “Zombie Apocalypse” terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas tentang produksi film zombi. Bagian kedua membahas tentang pra-produksi film serta bagian ketiga membahas mengenai kejadian di balik layar film tersebut.
Bagian pertama yang berdurasi 37 menit di mulai dengan adegan syuting film zombi di sebuah gedung tua. Setelah adegan itu, cerita berjalan sesuai dengan apa yang ada pada sinopsis. Para kru film diserang oleh zombi sungguhan, walaupun begitu sang sutradara tetap ingin proses syuting tetap berlanjut. Bagian ini direkam tanpa henti dengan satu kamera. Kameraman terus mengikuti para kru yang dikejar zombi hingga berakhir di atap gedung tua. Jika anda sudah menonton hingga bagian tersebut dan melihat kredit muncul, jangan dulu beranjak dari kursi anda, karena film baru saja di mulai.
Bagian kedua film ini membahas tentang pra-produksi film, mulai dari bagaimana ide film “37 menit tanpa putus” ini muncul, proses pembacaan naskah (reading), latihan, serta masalah-masalah sebelum produksi dan dilanjutkan pada bagian ketiga yang membahas tentang hal-hal yang terjadi selama syuting film ini. Bagian ketiga merupakan inti dari film ini jadi pastikan anda menontonnya sampai habis karena anda akan disuguhkan bahan untuk tertawa hingga perut sakit.
Film garapan sutradara Shin’ichiro Ueda ini dilaporkan hanya menggunakan bujet sekitar 3 juta yen (sekitar 378 juta rupiah). Angka yang sangat kecil untuk pembuatan sebuah film layar lebar apalagi jika melihat total pendapatan kotor film ini mencapai 800 juta yen (sekitar 100 miliar rupiah). Film ini makin fenomenal karena proses syuting film ini hanya 8 hari, dan hanya dirilis pada sebuah bioskop kecil dengan 80-an kursi di Tokyo selama 6 hari. Setelah mendapatkan kritik yang memuaskan dari banyak penonton dari dalam maupun luar Jepang dan mendapatkan perhagaan, film ini akhirnya tayang di 200 bioskop di Jepang.
Namun film ini bukannya tanpa kekurangan. Seperti yang sudah dikatakan, film ini direkam dengan satu kamera tanpa henti, yang berarti kameraman harus terus mengikuti pergerakan pemain. Bagi beberapa orang, hal ini membuat pusing karena kamera terus bergerak tanpa henti dan ikut bergetar karena harus direkam sambil berlari.
Kualitas cerita dan komedi merupakan kekuatan utama dari film, dan pengambilan gambar bisa menjadi nilai minus pada film ini untuk beberapa orang. Namun hal tersebut tidak membuat anda harus menurunkan ekspektasi ketika menonton film ini. Jika saya harus menilai film ini maka saya akan memberikan nilai “97 menit yang sempurna di atas ketidaksempurnaan proses syuting.”
Artikel ini dibuat oleh Ponyonyon