Belajar Sabar dalam Kesempitan
JIKA kaum muslimin menghadapi musuh yang sedang menyerang, maka lari dari pertempuran ketika itu termasuk dosa besar, sehingga kesabaran menjadi sebuah kewajiban. Sungguh, kesabaran kala itu merupakan syarat pokok kemenangan dan unsur utama, sehingga kaum muslimin bisa mengalahkan musuh.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Anfal: 45).
Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Kemenangan itu setelah kesabaran, kebahagiaan itu setelah kegalauan, dan sungguh ada kemudahan beserta kesulitan.”
Berpijak dari hal itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan pujian kepada mereka yang bersabar di bawah kilatan pedang, Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177).
Selanjutnya kesabaran lebih dibutuhkan kala barisan kaum muslimin mulai bercerai berai, pasukan merasakan kelelahan, dan kala banyak isu yang melemahkan semangat mereka.
Dan sebaik-baik orang yang mewujudkan hal itu adalah ketika peperangan berkecamuk, di saat kaum muslimin menjadikan dirinya sebagai tameng Rasulullah, sebagaimana terjadi pada perang Uhud dan Hunain.
Demikian pula para nabi sebelumnya yang senantiasa bersabar dalam peperangan.
“Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali-Imran: 146).
Inilah Thalut dan sekolompok kecil yang beriman, mereka memberikan pelajaran berharga kepada kaum mukminin. Thalut menguji kesabaran para pasukannya:
“Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata, ‘Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menciduk tangan, maka dia adalah pengikutku.’ Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka.” (QS. Al-Baqarah: 249).
Demikianlah semestinya seorang komandan yang bersemangat dalam mendakwahkan pasukannya, ia mesti menguji kemampuan pasukannya sebelum mengirimnya ke medan pertempuran, sehingga nampaklah sebuah hakikat yang sangat penting bahwa seseorang yang tidak bisa bersabar dalam perkara yang sederhana, maka mungkin dia tidak bisa bersabar dalam pertempuran. Karenanya mesti ada pendidikan sebelum jihad.
Sungguh, orang yang bersabar dalam ujian tersebut, adalah sekelompok kecil yang jelas kesabarannya dalam keadaan sulit, sehingga mereka bisa melewati sungai bersama Thalut.
“Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, ‘Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.’ Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata, ‘Banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.’ Tatkala Jalut dan tentaranya telah nampak oleh mereka, mereka pun (Thalut dan tentaranya) berdoa, ‘Ya Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 249-250).*/Sudirman STAIL
referensi : hidayatullah.com, BukuMeniru Sabarnya Nabi. Penulis: Syeikh Salim bin ‘Ied al-Hilali