MEMBANTU KESULITAN SESAMA MUSLIM DAN MENUNTUT ILMU JALAN MENUJU SURGA
MEMBANTU KESULITAN SESAMA MUSLIM DAN MENUNTUT ILMU JALAN MENUJU SURGA
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا ، نَـفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ ، يَسَّـرَ اللهُ عَلَيْهِ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ، وَمَنْ سَتَـرَ مُسْلِمًـا ، سَتَـرَهُ اللهُ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ، وَاللهُ فِـي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًـا ، سَهَّـلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَـى الْـجَنَّةِ ، وَمَا اجْتَمَعَ قَـوْمٌ فِـي بَـيْتٍ مِنْ بُـيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ ، وَيَتَدَارَسُونَـهُ بَيْنَهُمْ ، إِلَّا نَـزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ ، وَغَشِـيَـتْـهُمُ الرَّحْـمَةُ ، وَحَفَّـتْـهُمُ الْـمَلاَئِكَةُ ، وَذَكَـرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ ، وَمَنْ بَطَّـأَ بِـهِ عَمَلُـهُ ، لَـمْ يُسْرِعْ بِـهِ نَـسَبُـهُ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allâh Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allâh akan menutup (aib)nya di dunia dan akhirat. Allâh senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allâh akan mudahkan baginya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allâh (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman akan turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allâh menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang diperlambat oleh amalnya (dalam meraih derajat yang tinggi-red), maka garis keturunannya tidak bisa mempercepatnya.”
TAKHHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh:
1. Muslim (no. 2699).
2. Ahmad (II/252, 325).
3. Abu Dâwud (no. 3643).
4. Tirmidzi (no. 1425, 2646, 2945).
5. Ibnu Mâjah (no. 225).
6. Ad-Dârimi (I/99).
7. Ibnu Hibbân (no. 78- Mawâriduzh Zham-ân).
8. Ath-Thayâlisi (no. 2439).
9. Al-Hâkim (I/88-89).
10. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 127).
11. Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/63, no. 44).
Dalam riwayat lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ الْـمُسْلِمِ ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ ، وَمَنْ كَانَ فِـيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ ، كَانَ اللهُ فِيْ حَاجَتِهِ ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ ، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًـا ، سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Seorang Muslim adalah saudara orang Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzhaliminya dan tidak boleh membiarkannya diganggu orang lain (bahkan ia wajib menolong dan membelanya)[1] . Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya, maka Allâh Azza wa Jalla senantiasa akan menolongnya. Barangsiapa melapangkan kesulitan orang Muslim, maka Allâh akan melapangkan baginya dari salah satu kesempitan di hari Kiamat dan barangsiapa menutupi (aib) orang Muslim, maka Allâh menutupi (aib)nya pada hari Kiamat.[2]
SYARAH HADITS
• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang maknanya), “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat.”
Karena balasan itu sesuai dengan jenis perbuatan. Hadits-hadits tentang masalah ini banyak sekali, misalnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِنَّـمَـا يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ
Sesungguhnya Allâh menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang[3]
Al-Kurbah (kesempitan) ialah beban berat yang mengakibatkan seseorang sangat menderita dan sedih. Meringankan (at-tanfîs) maksudnya berupaya meringankan beban tersebut dari penderita. Sedangkan at-tafrîj (upaya melepaskan) dengan cara menghilangkan beban penderitaan dari penderita sehingga kesedihan dan kesusahannya sirna. Balasan bagi yang meringankan beban orang lain ialah Allâh akan meringankan kesulitannya. Dan balasan menghilangkan kesulitan adalah Allâh akan menghilangkan kesulitannya.[4]
Seorang Muslim hendaknya berupaya untuk membantu Muslim lainnya. Membantu bisa dengan ilmu, harta, bimbingan, nasehat, saran yang baik, dengan tenaga dan lainnya.
Seorang Muslim hendaknya berupaya menghilangkan kesulitan atau penderitaan Muslim lainnya. Bila seorang Muslim membantu Muslim lainnya dengan ikhlas, maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan balasan terbaik yaitu dilepaskan dari kesulitan terbesar dan terberat yaitu kesulitan pada hari Kiamat. Oleh karena itu, seorang Muslim mestinya tidak bosan membantu sesama Muslim. Semoga Allâh Azza wa Jalla akan menghilangkan kesulitan kita pada hari Kiamat.
• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya : “Dari salah satu kesusahan hari Kiamat.”
Kenapa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda, “Dari salah satu kesempitan dunia dan akhirat,” seperti yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan dalam balasan memudahkan urusan dan menutup aib ? Ada yang mengatakan bahwa kurab (kesulitan-kesulitan) yang merupakan kesulitan luar biasa itu tidak menimpa semua manusia di dunia, berbeda dengan kesulitan dan aib yang perlu ditutup, hampir tidak ada seorangpun yang luput. Ada lagi yang mengatakan bahwa kesulitan dunia tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kesulitan akhirat. Karenanya, Allâh Azza wa Jalla menyimpan pahala orang yang meringankan beban orang lain ini untuk meringankan kesulitannya pada hari Kiamat.[5] Ini diperkuat dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
…يَـجْمَعُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْأَوَّلِيْنَ وَالْآخِرِيْنَ فِـيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ ، فَيُسْمِعُهُمُ الدَّاعِي ، وَيَنْفُذُهُمُ الْبَصَرُ ، وَتَدْنُو الشَّمْسُ مِنْهُمْ ، فَيَبْلُغُ النَّاسَ مِنَ الْغَمِّ وَالْكَرْبِ مَالاَ يُطِيْقُوْنَ ، وَمَالاَ يَحْتَمِلُوْنَ. فَيَقُوْلُ بَعْضُ النَّاسِ لِبَعْضٍ : أَلاَتَرَوْنَ مَا أَنْتُمْ فِيْهِ ؟ أَلاَتَرَوْنَ مَاقَدْ بَلَغَكُمْ ؟ أَلاَتَنْظُرُوْنَ مَنْ يَشْفَعُ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ ؟…
“…Allah mengumpulkan manusia dari generasi pertama hingga generasi terakhir pada satu tempat kemudian penyeru memperdengarkan suara kepada mereka, penglihatan[6] dapat meliputi mereka, matahari mendekat ke mereka, dan manusia menanggung kesedihan dan kesempitan yang tidak mampu lagi mereka tahan dan tanggung. Sebagian manusia berkata kepada sebagian lainnya, ‘Tidakkah kalian lihat apa yang terjadi pada kalian? Kenapa kalian tidak melihat orang yang bisa meminta syafa’at untuk kalian kepada Rabb kalian…’” dan seterusnya.[7]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda,
تُحْشَرُوْنَ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا. قَالَتْ : فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ ؟ قَالَ : اَلْأَمْرُ أَشَدُّ مِنْ أَنْ يُهِمَّهُمْ ذَاكَ
Kalian akan dikumpulkan (pada hari Kiamat) dalam keadaan telanjang kaki, telanjang (tidak berpakaian) dan tidak berkhitan.” ‘Aisyah berkata, “Wahai Rasûlullâh! Orang laki-laki dan perempuan akan saling melihat (aurat) yang lain?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Perkaranya lebih dahsyat daripada apa yang mereka inginkan.”[8]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhumadari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, ” (Yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Rabb seluruh alam.” (Al-Muthaffifiin/83:6), Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَقُوْمُ أَحَدُهُمْ فِـي رَشْحِهِ إِلَـى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ
Salah seorang dari mereka berdiri sementara keringatnya sampai separoh kedua telinganya.[9]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَعْرَقُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَذْهَبَ عَرَقُهُمْ فِـي الْأَرْضِ سَبْعِيْنَ ذِرَاعًا ، وَيُلْجِمُهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ آذَانَهُمْ
Pada hari Kiamat, manusia berkeringat hingga keringat mereka mengalir di bumi sampai tujuh puluh hasta dan mengalir hingga sampai di telinga mereka
Dalam lafazh Muslim,
إِنَّ الْعَرَقَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيَذْهَبُ فِي الْأَرْضِ سَبْعِيْنَ بَاعًا ، وَإِنَّهُ لَيَبْلُغُ إِلَى أَفْوَاهِ النَّاسِ ، أَوْ إِلَى آذَانِهِمْ
Sesungguhnya keringat manusia pada hari Kiamat kelak akan mengalir di bumi sampai tujuh puluh depa atau hasta dan dengan ketinggian mencapai mulut atau telinga mereka.[10]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ أُدْنِيَتِ الشَّمْسُ مِنَ الْعِبَادِ حَتَّى تَكُوْنَ قِيْدَ مِيْلٍ أَوِ اثْنَيْنِ ، فَتَصْهَرُهُمُ الشَّمْسُ ، فَيَكُوْنُوْنَ فِـي الْعَرَقِ بِقَدْرِ أَعْمَالِهِمْ ؛ فَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَـى عَقِبَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَى حِقْوَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ إِلْـجَامًا.
Apabila hari Kiamat telah tiba, matahari didekatkan kepada hamba-hamba hingga sebatas satu atau dua mil. Kemudian (panas) matahari membuat mereka berkeringat lalu mereka terendam dalam keringat sesuai dengan perbuatan mereka. Diantara mereka ada yang terendam hingga kedua tumitnya, ada yang terendam hingga kedua lutut, ada yang terendam hingga pinggangnya, dan di antara mereka ada yang terendam sampai ke mulutnya hingga ia tidak bisa bicara[11].
• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang maknanya, “Barangsiapa memberi kemudahan kepada orang yang kesulitan maka Allâh Azza wa Jalla memberi kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat.”
Ini menunjukkan bahwa pada hari kiamat ada kesulitan. Bahkan Allâh Azza wa Jalla menyebutkan hari kiamat sebagai hari yang sulit bagi orang-orang kafir. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَكَانَ يَوْمًا عَلَى الْكَافِرِينَ عَسِيرًا
… Dan itulah hari yang sulit bagi orang-orang kafir. [al-Furqân/25:26]
Memberi kemudahan kepada yang kesulitan (dalam utang) ganjarannya besar. Ini dapat dilakukan dengan dua cara :
Pertama : Memberikan tempo dan kelonggaran waktu sampai ia berkecukupan dan mampu membayar utang. Ini hukumnya wajib, karena Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih bagimu, jika kamu mengetahui.” [al-Baqarah/2:280]
Kedua : Dengan membebaskan hutangnya jika ia sudah tidak mampu lagi membayar hutangnya.
Kedua perbuatan ini memiliki keutamaan besar.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ ، فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ : تَـجَاوَزُوْا عَنْهُ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا ، فَتَجَاوَزَ اللهُ عَنْهُ
Dahulu ada seorang pedagang yang selalu memberikan pinjaman kepada manusia. Jika ia melihat orang itu kesulitan membayar hutangnya, ia berkata kepada anak-anaknya, ‘Bebaskanlah hutangnya, mudah-mudahan Allâh memaafkan kita (dari dosa-dosa),’ maka Allâh pun memaafkannya.[12]
Dari Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُـنْجِيَهُ اللهُ مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ؛ فَلْيُنَفِّسْ عَنْ مُعْسِرٍ أَوْ يَضَعْ عَنْهُ
Siapa ingin diselamatkan oleh Allâh dari kesulitan-kesulitan hari Kiamat, hendaklah ia meringankan orang yang kesulitan (hutang) atau membebaskan hutangnya.[13]
Dari Abu Yasar Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ ، أَظَلَّهُ اللهُ فِـيْ ظِلِّهِ
Barangsiapa memberi kelonggaran waktu kepada orang yang kesulitan membayar hutang atau menghapus hutangnya, maka Allâh akan menaunginya dalam naungan-Nya [14]
• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Dan barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim maka Allâh Azza wa Jalla menutupnya di dunia dan akhirat.”
Banyak nash-nash yang semakna dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Diriwayatkan dari salah seorang ulama Salaf, ia berkata, “Aku pernah berjumpa dengan kaum yang tidak memiliki aib kemudian mereka menyebutkan aib-aib orang lain, akhirnya manusia menyebut aib-aib kaum ini. Aku juga pernah bertemu kaum yang mempunyai sejumlah aib namun mereka menjaga aib orang lain, akhirnya aib-aib mereka dilupakan.[15]
Perkataan di atas diperkuat oleh hadits Abu Burdah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَـمْ يَدْخُلِ الْإِيْمَـانُ قَلْبَهُ : لَا تَغْتَابُوْا الْـمُسْلِمِيْنَ ، وَلَا تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ ؛ فَإنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِـيْ بَيْتِهِ
Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya, tetapi iman tidak masuk ke hatinya, jangan kalian menggunjing kaum Muslimin dan jangan mencari aib-aib mereka ! Karena barangsiapa mencari aib-aib mereka maka Allâh akan mencari-cari aibnya dan barangsiapa aibnya dicari-cari oleh Allâh maka Allâh akan mempermalukannya (meskipun ia berada) di rumah.[16]
Terkait dengan perbuatan maksiat, manusia terbagi dalam dua kelompok :
Pertama : Orang baik yang kebaikan dan ketaatannya sudah diketahui orang banyak. Dia tidak dikenal sebagai pelaku maksiat. Orang seperti ini, jika melakukan kesalahan atau khilaf, maka kekeliruannya tidak boleh dibongkar dan tidak boleh diperbincangkan karena itu termasuk ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Allâh Subhanahu wa Ta’alaberfirman, yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allâh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [An-Nûr/24:19]
Maksud ayat ini ialah menyebarkan perbuatan keji orang mukmin yang menyembunyikan kesalahannya atau menyebarkan berita keji yang dituduhkan kepada kaum Muslimin padahal mereka tidak melakukannya sama sekali, seperti kisah dusta yang menimpa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
Sebagai orang-orang shalih mengingatkan para pelaku amar ma’ruf nahi mungkar agar merahasiakan para pelaku maksiat. Begitu juga apabila ada yang datang hendak bertaubat, menyesal dan mengaku telah berbuat maksiat berat namun ia tidak bisa menjelaskannya dengan rinci, maka orang seperti ini, tidak perlu diminta memberi penjelasan secara rinci dan dia diminta menutup aib dirinya, seperti yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ma’iz dan wanita al-Ghamidiah (yang telah mengaku berzina). Dan sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak minta penjelasan secara rinci kepada orang yang mengatakan, “Aku telah berbuat maksiat maka jatuhkan hukuman kepadaku.”
Anjuran menutup aib seorang Muslim yang berbuat kesalahan tidak berarti membiarkan kesalahannya. Bagi yang mengetahuinya tetap memiliki kewajiban untuk mengingkari kesalahan tersebut dan wajib untuk menutup aibnya.
Oleh karena itu, setiap Muslim dan Muslimah wajib menutup dirinya apabila dia salah, segera bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak menceritakannya kepada orang lain.
Kedua : Orang yang sudah dikenal sebagai pelaku maksiat dan dia melakukannya terang-terangan, tidak perduli dengan perbuatan maksiatnya dan komentar miring masyarakat terhadap dirinya. Orang seperti ini, tidak apa dibuka aibnya, seperti yang ditegaskan oleh al-Hasan al-Bashri rahimahullah dan yang lainnya. Bahkan orang seperti ini harus diselidiki keadaannya untuk dijatuhi hudûd (hukuman had). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا ، فَإنِ اعْتَرَفَتْ ؛ فَارْجُمْهَـا
Hai Unais! Pergilah ke istri fulan ini. Jika ia mengaku (berzina), maka rajamlah ia ! [17]
Orang seperti itu tidak boleh dibela jika tertangkap kendati beritanya belum sampai ke penguasa Ia harus dibiarkan hingga mendapatkan hukuman agar berhenti dari kejahatannya dan membuat jera yang lainnya.
Imam Mâlik rahimahullah berkata, “Orang yang tidak dikenal suka menyakiti orang lain lalu menyakiti karena kesalahan maka orang seperti ini tidak apa-apa dibela selagi informasinya belum terdengar penguasa. Sedangkan yang terkenal suka berbuat jahat atau kerusakan, maka aku tidak senang kalau ia dibela siapa pun. Orang ini harus dibiarkan hingga hukuman dijatuhkan kepadanya.” Perkatan ini dikisahkan oleh Ibnul Mundzir dan yang lainnya.
Begitu juga pelaku bid’ah yang terus menerus dalam perbuatan bid’ahnya dan mengajak orang kepada bid’ahnya maka kita boleh menjelaskan kepada umat Islam tentang orang itu. Bahkan wajib bagi penguasa dan Ulama untuk menjelaskan kesalahannya dan bid’ahnya agar umat tidak tersesat dan hal ini sebagai penjagaan terhadap agama Islam.
• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya.”
Dalam hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhumadisebutkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
…وَمَنْ كَانَ فِـيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللَّـهُ فِـيْ حَاجَتِهِ
“…Dan barangsiapa menolong kebutuhan saudaranya, maka Allâh senantiasa menolong kebutuhannya.”
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menganjurkan agar umat Islam saling menolong dalam kebaikan dan membantu saudara-saudaranya yang membutuhkan bantuan. Allâh Subhanahu wa Ta’alaberfirman, yang artinya, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allâh, sungguh, Allâh sangat berat siksa-Nya.” [al-Mâidah/5:2]
Tolong menolong telah dilaksanakan dalam kehidupan para salafush shalih. ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu sering mendatangi para janda dan mengambilkan air untuk mereka pada malam hari. Pada suatu malam, ‘Umar bin al-Khaththab dilihat oleh Thalhah Radhiyallahu anhu masuk ke rumah seorang wanita kemudian Thalhah Radhiyallahu anhu masuk ke rumah wanita itu pada siang harinya, ternyata wanita itu wanita tua, buta, dan lumpuh. Thalhah Radhiyallahu anhu bertanya, “Apa yang diperbuat laki-laki tadi malam terhadapmu?” Wanita itu menjawab, “Sudah lama orang itu datang kepadaku dengan membawa sesuatu yang bermanfaat bagiku dan mengeluarkanku dari kesulitan.” Thalhah Radhiyallahu anhu berkata, “Semoga ibumu selamat –kalimat nada heran-, hai Thalhah, kenapa engkau menyelidiki aurat-aurat ‘Umar ?”[18 . Maksudnya, kenapa aku tidak mengikuti jejak Umar Radhiyallahu anhu dalam kebaikan. Wallaahu A’lam.
Mujahid rahimahullah berkata, “Aku pernah menemani Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhumadiperjalanan untuk melayaninya, namun justru ia yang melayaniku.”[19]
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Kami bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di perjalanan. Di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Di hari yang panas kami berhenti di suatu tempat. Orang yang paling terlindung dari panas adalah pemilik pakaian dan ada di antara kami ada yang berlindung diri dari terik matahari dengan tangannya. Orang-orang yang berpuasa pun jatuh, sedang orang-orang yang tidak berpuasa tetap berdiri. Mereka memasang kemah dan memberi minum kepada para pengendara kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari ini, orang-orang yang tidak berpuasa pergi dengan membawa pahala.”[20]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Fathul Bâri (5/97, Kitâbul Mazhâlim).
[2]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 2442 dan 6951), Muslim (no. 2580) dan Ahmad (2/91), Abu Dâwud (no. 4893), at-Tirmidzi (no. 1426), dan Ibnu Hibbân (no. 533) dari Shahabat Ibnu ‘Umar c .
[3]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 1284), Muslim (no. 923), Abu Dâwud (no. 3125), dan lainnya dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhu .
[4]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/286).
[5]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (2/287, dengan ringkas).
[6]. Ada yang menafsirkan penglihatan Allâh meliputi mereka, ada juga yang mengatakan penglihatan meliputi mereka karena di tanah lapang yang datar semua dapat terlihat. Adapun penglihatan Allah sudah pasti meliputi mereka dalam semua keadaan di dunia maupun di akhirat, di tanah lapang maupun tempat lainnya. Wallaahu A’lam. [Lihat Fat-hul Baari, VIII/396].
[7]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 3340, 3361, dan 4712), Muslim (no. 194), Ahmad (2/435-436), dan lainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[8]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 6527), Muslim (no. 2859), dan an-Nasa-i (4/114-115).
[9]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 6531) dan Muslim (no. 2862).
[10]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 6532) dan Muslim (no. 2863).
[11]. Shahih: HR. Muslim (no. 2864), Ahmad (6/3), dan at-Tirmidzi (no. 2421) dari al-Miqdad bin al-Aswad Radhiyallahu anhu . Lafazh ini milik at-Tirmidzi. Lihat, Tuhfatul Ahwâdzi (7/104-106, no. 2536) dan Silsilah al-Ahâdîtsish Shahîhah (no. 1382).
[12]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2078, 3480), Muslim (no. 1562), an-Nasâi (7/318), dan Ibnu Hibbân (no. 5041, 5042) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[13]. Shahih: HR. Muslim (no. 1563).
[14]. Shahih: HR. Muslim (no. 3006).
[15]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (2/291).
[16]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4880) dan Ahmad (4/420-421, 424).
[17]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 2314) dan Muslim (no. 1697) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[18]. Hilyatul Auliyâ’ (1/84, no. 113).
[19]. Hilyatul Auliyâ (3/326, no. 4131).
[20]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2890), Muslim (no. 1119), an-Nasâ-i (4/182), dan Ibnu Hibbân (no. 3551-at-Ta’lâqâtul Hisân). Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/293-296) dengan diringkas dan sedikit tambahan.