Religious Trauma: Luka Batin atas Nama Agama
Gambar 1. Meme laki-laki duduk di pojok ruangan serba putih
Religious trauma adalah luka psikologis dan batin yang muncul akibat pengalaman keagamaan yang menyakitkan. Trauma ini sering lahir dari pola dakwah yang keras, penuh ancaman, menghakimi, atau memaksakan ketaatan tanpa kasih sayang. Alih-alih menghadirkan ketenangan, agama justru dirasakan sebagai sumber ketakutan, rasa bersalah berlebihan, dan jarak emosional dengan Tuhan.
Fenomena ini tidak jarang terjadi di lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, maupun komunitas keagamaan. Ayat dan hadis disampaikan tanpa konteks, hukuman lebih ditonjolkan daripada rahmat, dan kesalahan kecil dibalas dengan stigma. Akibatnya, sebagian orang tumbuh dengan citra Tuhan yang murka dan agama yang menekan, sehingga menjauh bukan karena benci pada Islam, tetapi karena luka yang belum sembuh.
Padahal, Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Rasulullah ﷺ adalah teladan kelembutan, yang tidak pernah memaksa, apalagi melukai jiwa manusia atas nama agama. Allah SWT sendiri menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah: 256). Ketika praktik keagamaan justru menimbulkan trauma, maka yang keliru bukan ajaran Islamnya, melainkan cara manusia menyampaikannya.
Islam juga sangat menghargai kondisi jiwa manusia. Luka batin bukan tanda lemahnya iman, melainkan sinyal bahwa ada pengalaman yang belum dipulihkan. Mengakui trauma dan mencari bantuan—baik melalui pendampingan, dialog yang sehat, maupun profesional—bukan bentuk pembangkangan, tetapi ikhtiar untuk kembali menemukan hubungan yang sehat dengan Allah.
Sebagai komunitas dakwah dan majelis taklim, kita memiliki tanggung jawab besar untuk menghadirkan Islam yang menenangkan, bukan menakutkan. Dakwah seharusnya membuka jalan pulang, bukan menutupnya dengan vonis. Dengan empati, kelembutan, dan pemahaman, kita bisa menjadi perantara penyembuhan—agar agama kembali dirasakan sebagai sumber cinta, harapan, dan keselamatan.