FIQH PUASA #2: WAKTU DAN TEKNIS NIAT

           Dalam fiqh Islam, salah satu hal penting yang wajib diperhatikan dalam berniat adalah timing (penempatan waktu). Apabila seorang muslim salah dalam menempatkan waktunya, maka niat tersebut akan batal (tidak sah). Contoh konkretnya adalah, cara penempatan waktu niat dalam puasa fardhu yang berbeda dengan puasa non-fardhu.

            Dalam bukunya Risalah Fiqh Praktis Puasa, Buya Yahya memaparkan bahwa niat puasa fardhu harus dilakukan sebelum terbitnya fajar sodik (fajar yang sesungguhnya) atau sebelum masuk waktu subuh.

Niat puasa (fardhu maupun sunnah) memang memiliki persyaratan waktu niat yang unik. Bila pada ibadah lain (fardhu maupun sunnah) niat dihadirkan sesaat sebelum ibadah tersebut dilakukan, maka niat puasa (terutama yang fardhu) harus dilakukan jauh waktu antara malam hari sampai sebelum subuh. Hal ini memudahkan muslim untuk mengutarakan niatnya, tanpa harus terburu-buru dan benar-benar memantapkan niatnya dengan sepenuh hati. Walau begitu, hal ini memang merupakan ranah ikhtilafiyah (perbedaan pandangan) di kalangan ulama. Untuk memperluas wawasan fiqh Islamiyah, berikut sekilas perbedaan pendapat ulama antar madzhab mengenai niat puasa.

Madzhab Abu Hanifah berpendapat, bahwa niat puasa fardhu tidak berbeda dengan niat puasa sunnah, artinya seorang muslim boleh dan sah berniat puasa setelah terbitnya matahari, asal dilakukan sebelum waktu Zhuhur tiba dan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa (makan, minum, berhubungan suami-istri dan sebagainya).

Sementara dalam madzhab Malik, boleh menggabungkan niat di awal puasa selama satu bulan penuh, dengan syarat dalam sebulan itu puasanya tidak terputus (artinya tidak batal satu hari pun, seperti haid, nifas, sedang berpergian dan semacamnya). Bila terputus, maka wajib memulai niat baru.

Dan dalam madzhab Syafi’i (madzhab yang paling berat dan berhati-hati dari 3 madzhab lainnya), niat puasa hanya berlaku untuk satu kali puasa. Jadi, setiap malam sebelum puasa, ia wajib melakukan niat berpuasa. Mengikuti pendapat mana pun diperbolehkan, sebab hal ini hanya sebatas masalah ikhtilafiyah.

Wallahua’lam.

Sumber Penulisan : Risalah Fiqh Praktis Puasa oleh KH. Buya Yahya (Pengasuh LPD Al-Bahjah Cirebon)

Ditulis : Mazza Fakar Alam

Nim : 1901484676