DALAM PERKARA DUNIAWI, LEBIH UTAMA DAHULUKAN ORANG LAIN DARIPADA DIRI SENDIRI

Sikap demikian disebut juga: iitsaar. Dalam Al Qur’an Allah Ta’ala memuji kaum Anshar yang iitsaar terhadap kaum Muhajirin ketika mereka hijrah ke Madinah:

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka YU’TSIRUUN (mendahulukan kepentingan orang lain) daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung” (QS. Al Hasyr: 9).

As Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan makna iitsaar: “mendahulukan orang lain dalam hal-hal yang kita sukai, semisal dalam perkara harta atau selainnya, dan memberikannya kepada orang lain walaupun diri kita ada kebutuhan, atau bahkan dalam keadaan diri kita ada keperluan mendesak dan kesusahan”.

Yah… minimalnya pada keadaan-keadaan yang kita tidak dalam kesusahan dan tidak butuh mendesak, kita bisa iitsaar kepada terhadap orang lain.

 

Sumber : Yulian Purnama