who are you

Assalamu’alaikum Wr. Wb.,

Guru saya pernah bercerita, tentang seorang wanita hamil dan suaminya, beserta anak-anak mereka. Sang Ibu pada saat itu sedang dalam proses melahirkan, dan suaminya menunggu di luar. Suara teriakan kesakitan sang Ibu terdengar oleh sang Suami, tetapi dia tahu bahwa istrinya harus melewati tantangan ini agar anak mereka lahir.

Tangisan bayi pun terdengar, dan sang Suami dipersilahkan masuk oleh para dokter. Setelah beberapa saat, dalam tangannya, seorang bayi dengan kulitnya masih merah, tangisannya mulai mengencang, dan handuk kecil menutupi badannya yang juga kecil, dan mata dia berkaca-kaca, hatinya penuh haru.

Dia pun berjalan ke arah istrinya yang masih pucat di Kasur operasi. Mereka berdua tersenyum kepada sesama untuk sesaat saja, sebelum sang istri menutup matanya.
“Suamiku,” dia berkata, nafasnya cepat, dan dia terdengar seakan tidak bisa mendapatkan oksigen ke dalam tubuhnya. “Suami ku, saya rasa saya tidak bisa lagi bertahan…”
Dia pun melihat istrinya—kali ini benar-benar melihatnya. Wajahnya pucat pasi, badannya gemetaran, dan dari matanya, keluarlah air mata, setetes demi setetes.
“Apa maksudmu?” sang Suami beratanya.

“Saya rasa saya terlalu banyak kehilangan darah,” dia berkata sambal menutup matanya lagi sebelum membukanya, air mata mengucur lebih deras lagi dari matanya.
“Tolong, sayangku, jangan berkata seperti itu… Saya yakin, kamu bisa bertahan, percayalah,” kata sang Suami, salah satu tangannya memegang tangan istrinya. Sang Istri pun tersenyum sambal menutup matanya.
“Maafkan saya, tetapi saya bisa merasakan bahwa saya tidak akan sanggup lagi… Katakanlah kepada anak-anak kita bahwa saya mencintai mereka,” dia berkata.
“Tolong, jangan katakan kata-kata itu, seakan engkau akan pergi selmanya,” sang Suami berkata, matanya sekali lagi berkaca-kaca, tatapan sedih tertuju kepada istrinya.
“Saya hanya ingin…” dia mengambil nafas dengan susah payah sebelum melanjutkan, “bahwa saya bisa melihat mereka lagi… Anak-anakku… Tapi sudah terlambat… maafkan saya, ya…”

“Tung-tunggu saja, saya akan membawa mereka kemari…!” dia berkata, panik mulai terdengar dalam suaranya. Istrinya pun hanya tersenyum kepadanya.
Saat dia kembali dengan anak-anak mereka, istrinya telah terpanggil oleh Allah, dan dia hanya bisa menerimanya.
“Ayah, mama mana?” tanya salah satu anak dia.
“Mama telah meninggal, nak…” dia berkata dengan halus. Anak-anaknya hanya berkata, ‘Ooh…’, seakan mereka tidak mengerti apa maksudnya. Mungkin mereka tidak mengerti… belum mengerti.

Mereka pun pulang, dan sang Ayah mempersiapkan acara pemakaman istrinya, mengundang semua tetangganya untuk shalat jenazah. Sedangkan, anak-anaknya masih bermain dengan teman-temannya, menyebarkan informasi bahwa ibu mereka telah meninggal. Hanya saat mereka melihat ibu mereka untuk terakhir kalinya, dalam peti mati lah akhirnya mereka menyadari apa maksud dari kata-kata ayahnya, bahwa ibu mereka telah tiada.
Dan tiadalah dia untuk selamanya.
Mereka pun menangis, meminta agar ibunya kembali, tetapi kehendak Allah tetap kokoh, dan ibu mereka tidak akan kembali lagi.
Setelah guru saya menceritakan cerita ini, dia pun memperhatikan reaksi kami—kebanyakan memiliki mata berkaca-kaca, air mata mulai menetes satu per satu, ada yang melirik ke arah lain, tidak ingin melihat guru saya setelah cerita tersebut.
Dan dia pun bertanya, “Setelah cerita tadi, saya ada pertanyaan; Yang mana kah kalian?
“Yang mana kah kalian; sang Ibu yang dengan tenang menerima takdirnya?
“Yang mana kah kalian; sang Ayah yang perlu waktu untuk menerimanya, pasrah kepada Allah SWT?
“Atau apakah kalian anak-anak mereka? Yang tidak mengerti, sehingga tidak peduli—sampai akhirnya terlambat dalam menyadarinya?”
Jawaban kita masing-masing pastilah berbeda-beda, makanya saya hanya ingin agar cerita ini menjadi bahan renungan—menjadi sesuatu yang dikontemplasi.
Wassalam.