Sebab Bermimpi adalah bagian dari bertakwa
download rekaman artikel ini disini
Mengapa hingga detik ini Islam masih berjaya? Tentu jawab sederhananya ialah sebab agama ini milik Allah. Dia yang menjamin keabadian pesonanya, kemurnian risalahnya, dan ketinggian ajarannya. Namun, kita pun bisa menelisik jawab lain; sebab agama ini memiliki visi. Ia mengajarkan umatnya agar tak sekadar menyebar cahaya kebajikan, tetapi agar menjadi ustadziyatul alam. Guru bagi alam semesta. Maka kekhilafahan bukanlah tujuan, namun sarana agar setiap sendi kehidupan mengambil referensi dari Islam.
Sebagaimana Islam Berjaya bersebab visi, begitu pun manusia. Manusia yang tidak memiliki visi, impian, dan tekad hanya tinggal menunggu jiwanya diarak di dalam keranda. Ia hidup, tapi tanpa gairah. Ia ada, tetapi tak terlihat eksistensinya.
“Kami pernah membersamai Rasulullah di permulaan siang,” Imam Ahmad meriwayatkan dari ayah Al-Mundzir ibn Jarir, “Lalu suatu kaum mendatangi beliau tanpa beralas kaki, tak berpakaian, dan sekadar membungkus tubuh dengan kulit macan atau sejenis mantel seraya menyandang pedang.” Beliau melanjutkan, “Sebagian besar mereka berasal dari Mudhar. Seketika, wajah Rasulullah berubah bersebab melihat keadaan mereka yang demikian miskin itu.”
“…Setelah shalat, beliau lantas berkhutbah,” tambah Imam Ahmad. Di tengah khutbahnya, Rasulullah kemudian membacakan ayat, “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Hasyr: 18)
Ustadz Anis Matta, Lc di dalam buku Model Manusia Muslim Abad 21 menjelaskan, “Ada keunikan dalam ayat ini. Lihatlah! Perintah agar memperhatikan masa depan kita ternyata diapit oleh dua perintah yang sama; bertakwa kepada Allah. Dengan ini, menghisab diri dan merancang rencana mendatang adalah pekerjaan yang memiliki posisi mulia. Ia adalah bagian dari takwa. Orang yang bertakwa adalah yang berani menghitung amal-amalnya. Serta bersiap dengan apa yang diperbuatnya di masa mendatang.”
Begitulah, Islam amat mengajarkan kita agar merenda cita-cita dan menyulam impian. Kita tidak boleh berleha-leha bersebab merasa diri masih muda atau merasa memiliki banyak waktu luang. Justru perkara demikian adalah jebakan kenyamanan. Membuat kita terlena serta bermalas-malasan.
Cobalah perhatikan diri Anda hari ini. Cara berpakaian Anda, cara Anda memegang pensil, cara Anda duduk, dan sebagainya. Sebetulnya itu adalah hal-hal yang tanpa disadari Anda biasakan sejak 5 atau 10 tahun sebelumnya, Jabatan atau status Anda hari ini juga bisa jadi adalah diri Anda di masa 5 atau 10 tahun ke belakang.
Jika Anda seorang pebisnis, bisa jadi dahulu Anda memang sudah biasa berdagang atau menggantikan ibu menjaga toko. Jika Anda hari ini sering tilawah Al-Qur’an, bisa jadi sejak kecil Anda dibiasakan pergi mengaji oleh orang tua.
Kurang lebih seperti itu, siapa kita hari ini adalah diri kita 5 atau 10 tahun sebelumnya. Dan siapa kita 5 atau 10 tahun ke depan adalah siapa kita hari ini. “Kenyataan hari ini,” ujar Imam Hasan Al-Banna, “adalah impian masa lalu. Dan cita-cita hari ini, adalah realita di hari esok.”
Nah, tanpa impian saja, Anda tetap hidup dan menjadi seperti sekarang. Apalagi jika Anda memiliki cita-cita? Jika Anda mempunyai target, tentu Anda akan menyiapkan dari sekarang. Termasuk budaya-budaya yang perlu dilestarikan untuk mendukung perwujudan mimpi tersebut. Anda akan sibuk dengan mimpi Anda. Anda tidak mudah teralihkan dengan hal-hal remeh serta perkara-perkara yang justru menghambat impian Anda. Anda jadi tidak memiliki waktu kosong yang siap disusupi bisikan setan. Insya Allah, Anda lebih mudah menjauh dari dosa dan kemaksiatan.
Tak heran, perintah bermimpi berada di tengah perintah bertakwa pada Allah. Kita bisa melihat serta merasakan implikasinya. Begitu positif, konstruktif, dan produktif. Jadi, apa mimpi Anda? [HS]
src;dakwahsekolahku.com