Dua Jalur Utama Tantra
Bagi umat Hindu, istilah “tantra” bukanlah sesuatu yang asing. Kata ini kerap muncul dalam diskusi spiritual dan keagamaan, meskipun sering disalahpahami di kalangan masyarakat umum. Di Barat maupun dalam beberapa pandangan populer, tantra seringkali dikaitkan secara sempit dengan praktik seksual bebas. Padahal, dalam konteks Hindu, tantra memiliki makna dan fungsi yang jauh lebih dalam dan kompleks. Tantra merupakan bagian integral dari warisan spiritual Hindu yang luas, mencakup berbagai metode untuk memahami serta mengembangkan potensi tubuh dan pikiran manusia.
Dalam tradisi Hindu, tantra bukan hanya sekedar ajaran atau doktrin, melainkan suatu pendekatan menyeluruh terhadap realitas. Ia memuat serangkaian teknik dan praktik yang dirancang untuk memperluas kesadaran dan menyelaraskan energi dalam diri manusia dengan kosmos. Salah satu tujuan utama dari praktik tantra adalah mengoperasikan sistem saraf manusia secara sadar dan efisien, serta memahami keterhubungan antara tubuh, pikiran, dan energi. Berbeda dengan pandangan konvensional Barat yang cenderung memisahkan tubuh dari pikiran, tantra menganut pendekatan non-dualis. Dalam pandangan ini, tubuh dan pikiran bukanlah dua entitas yang terpisah, melainkan satu kesatuan yang saling melengkapi.
Pendekatan tantra sangat dipengaruhi oleh konsep “tubuh halus” yang melibatkan elemen-elemen seperti cakra (pusat energi), nāḍī (saluran energi), dan prāṇa (aliran energi vital). Cakra adalah titik-titik utama dalam tubuh yang menjadi pusat pertemuan energi, sementara nāḍī berfungsi sebagai jalur di mana energi tersebut mengalir. Prāṇa sendiri merupakan energi kehidupan yang menopang seluruh fungsi tubuh dan pikiran. Melalui latihan seperti yoga, pranayama (latihan pernapasan), dan meditasi, praktisi tantra belajar untuk merasakan, mengarahkan, dan memurnikan energi-energi ini, dengan tujuan akhir mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi.
Terdapat dua jalur utama dalam tantra, yaitu tantra kanan (dakshina marga) dan tantra kiri (vama marga). Tantra kanan merupakan jalur yang konservatif dan ortodoks, menekankan pada kemurnian, disiplin, dan praktik spiritual yang sesuai dengan norma sosial dan agama. Pendekatan tantra kanan juga mengajarkan pentingnya hubungan antara guru (guru spiritual) dan murid. Seorang guru yang bijaksana dan berpengalaman akan membimbing muridnya secara bertahap dalam memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran spiritual, sehingga proses pencerahan terjadi secara alami dan aman. Jalur ini menghindari penggunaan elemen-elemen yang dianggap tabu atau berpotensi menimbulkan penyimpangan, sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat umum. Contohnya adalah meditasi, pemujaan (puja), pengulangan mantra (japa), dan yoga, dengan tujuan mencapai pencerahan melalui pengendalian diri dan pemurnian batin.
Sedangkan tantra kiri merupakan jalur yang non konvensional dan esoterik, seringkali melibatkan praktik yang melanggar norma sosial untuk tujuan transendensi spiritual. Contohnya adalah menggunakan pendekatan langsung terhadap pengalaman-pengalaman yang dianggap tabu sebagai sarana untuk mengatasi keterikatan duniawi. Praktik tersebut disebut dengan Pancamakara, meliputi:
- Madya – konsumsi alkohol dalam konteks ritual
- Māṃsa – konsumsi daging
- Matsya – konsumsi ikan
- Mudrā – sereal kering atau simbol-simbol tangan ritual
- Maithuna – hubungan seksual sakral yang dilakukan dalam kesadaran penuh
Kelima elemen ini digunakan bukan untuk kepuasan inderawi semata, melainkan untuk mengkonfrontasi serta mengatasi keterikatan dan rasa takut terhadap kenikmatan duniawi. Dalam praktik yang murni, semua tindakan ini dilakukan dalam kerangka spiritual, di bawah bimbingan guru yang kompeten, dan dengan pemahaman yang mendalam tentang maknanya. Oleh karena itu, tantra kiri hanya diperuntukkan bagi praktisi tingkat lanjut yang memiliki kesiapan mental dan spiritual tinggi.
Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua orang cocok dengan pendekatan tantra kiri. Risiko penyalahgunaan praktik ini cukup tinggi jika dilakukan tanpa pengawasan guru yang bijak atau jika motivasinya tidak murni. Oleh sebab itu, tantra kiri sering dianggap sebagai jalan yang berbahaya, tetapi juga sangat transformatif jika dijalani dengan benar.
Tantra dalam esensi spiritual Hindu adalah sarana untuk mencapai kesadaran tertinggi dengan memahami dan mengolah tubuh serta pikiran sebagai satu kesatuan. Ia bukan semata-mata tentang praktik-praktik fisik yang kontroversial, melainkan tentang eksplorasi mendalam terhadap hakikat diri dan realitas. Baik jalur tantra kanan maupun kiri menawarkan jalan menuju pencerahan, namun dengan pendekatan yang sangat berbeda.
Tantra kanan lebih cocok bagi mereka yang menghargai ketertiban dan struktur, serta menginginkan proses yang stabil dan bertahap. Sementara itu, tantra kiri membuka pintu bagi mereka yang siap menghadapi ketakutan, ilusi, dan tabunya secara langsung demi pencapaian spiritual yang lebih radikal. Pada akhirnya, pemilihan jalur mana yang akan ditempuh sangat bergantung pada kesiapan spiritual individu dan bimbingan dari seorang guru yang mumpuni. Dengan pemahaman yang benar dan niat yang tulus, tantra dapat menjadi alat yang sangat kuat untuk pembebasan dan transformasi diri.
Jejak-jejak Tantrisme di Indonesia dan di Bali.
Di Bali, perkembangan daripada Konsepsi – Dewi itu nyata sekali berupa pemujaaan terhadap Dewi atau Bhatari seperti : pemujaan terhadap Dewi Saraswati, Dewi Durga, Dewi Sri, Dewi Gangga, Dewi Danuh dan lain sebagainya. Perkembangan Saktiisme di Bali juga menjurus kepada dua aliran mistik yaitu : Pangiwa dan Panengen. Dari Pangiwa munculah pengetahuan tentang Leyak, Desti, Teluh, Taranjana dan Wegig. Sedangkan dari Panengen munculah pengetahuan tentang Kawisesan, usadha dan sejenisnya
Di indonesia sendiri umumnya agama hindu itu lebih berfokus di bali karena di sana mayoritas agama penduduk nya adalah agama hindu tetapi pratek ini juga di terapkan di seluruh indonesia dan di jalani oleh semua yang menganut agama hindu di indonesia
Sumber:
Roy, S. K. (2023). Historiografi Tradisi Tantra dari Perspektif Lintas Budaya dan Agama. International Journal of Humanities and Social Science Research, 5(2), 30–36. Diakses dari https://www.humanitiesjournals.net/archives/2023/vol5issue2/PartA/5-2-6-265.pdf
White, D. G. (2000). Tantric Traditions in Hinduism and Buddhism. Chicago: University of Chicago Press.
Lindholm, C. (1989). The structure of romantic love: A comparison of American and Japanese cultures. Ethos, 17(2), 149–169.
https://www.prabu-kalianget.com/2021/05/tantra-pemujaan-kepada-cakti-2.html