Sejarah Kelenteng
Kelenteng atau Miao adalah tempat beribadah umat Khonghucu. Kelenteng sudah ada sejak zaman dahulu kala. Keberadaannya sudah dicatat dari zaman Raja Suci Yao dan Shun (2356 – 2205 SM) sebagai tempat sembahyang kepada Tian dan leluhur. Namun, tercatat bahwa Kelenteng pada zaman dahulu diatur sedemikian rupa sehingga hanya raja dan anggota kerajaan Tiongkok yang dapat bersembahyang dalam Kelenteng. Selain dari itu, rakyat biasa hanya dapat bersembahyang kepada arwah leluhurnya.
Menyadari hal ini, Nabi Kongzi mulai memikirkan cara agar para rakyat biasa juga dapat menerima ajaran ibadah.
Pada zaman itu, Kelenteng adalah tempat penghormatan bagi raja yang sudah meninggal. Di dalamnya terdapat barang-barang peninggalan raja. Kitab Lunyu mencatat bahwa Nabi Kongzi sering mengunjungi Miao sebagai tempat belajar membuka wawasan, karena terdapat banyak sekali hal yang ingin ditanyakan setiap masuk ke dalam Miao. Oleh karena itu, Nabi Kongzi ingin Kelenteng turut menjadi sebuah media belajar untuk rakyat di luar istana.
Di saat itulah, Nabi Kongzi menjadikan Kelenteng sebagai tempat masyarakat untuk menjalankan ibadah dan belajar membina kehidupan rohaninya. Kelenteng dibuat dengan menarik, altar Shen Ming ditata dengan indah, serta altar Tiangong (altar untuk Tian) ditaruh di bagian depan. Masyarakat diwajibkan untuk bersembahyang kepada Tiangong terlebih dahulu sebelum sembahyang kepada Shen Ming. Dengan memasukkan unsur Ketuhanan dalam Kelenteng, Nabi Kongzi berhasil memberikan kesempatan kepada masyarakat biasa untuk bersembahyang kepada Tian.
Tokoh selanjutnya yang berperan dalam penyebaran pembangunan Kelenteng adalah seorang bernama Xunzi (326-233 SM), yang hidup dua ratus tahun setelah zaman Nabi Kongzi. Ia ingin meneruskan penyebaran agama Khonghucu. Dalam tulisannya, Xunzi mewajibkan para kaisar untuk membangun tujuh buah Kelenteng besar sebelum naik takhta; para gubernur yang baru dilantik sebanyak lima buah Kelenteng besar; para bupati yang baru dilantik sebanyak tiga buah Kelenteng di wilayahnya. Sejak itulah pembangunan Kelenteng berkembang dengan pesat dan tersedia di banyak wilayah di Tiongkok.
Kelenteng pada zaman dahulu sengaja dibangun di daerah pasar dan bukit-bukit supaya mudah ditemukan oleh masyarakat. Sehingga, masyarakat yang tinggal atau bekerja di daerah pasar dan tempat ramai dapat beribadah, serta para petani yang tinggal di pedesaan juga bisa beribadah. Kelenteng dijaga oleh orang yang berpengetahuan luas tentang peribadatan supaya para umat dapat dibantu dalam ibadahnya dan pelaksanaan ibadah dapat dilakukan dengan khusyuk.
Referensi:
Gunadi & Hartono. 2017. Pendidikan Agama Khonghucu dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kelenteng Caow Eng Bio, Bali – salah satu Kelenteng tertua di Indonesia: https://www.chinatownology.com/Caow_Eng_Bio.html