WOW, INI FAKTA MENGERIKAN DI BALIK FAST FASHION

Amanda Vanessa R
2201753252

Gambar: https://esmodjakarta.com/news/fast-fashion-its-effect-on-fashion-designers-and-fashion-business/

Apa yang tersirat dalam pikiran Anda saat mendengar kata Fashion? Mungkin yang terlintas di pikiran Anda, fashion adalah sebuah industri penuh kemewahan, glamor, dalam gemerlap sorotan spotlight.

Nyatanya, di balik gegap gempita industri mode, tersimpan rahasia-rahasia menyedihkan yang bukan hanya berhubungan dengan manusia, tetapi juga dengan lingkungan. Salah satu ‘tersangka’ utama dalam pencemaran ini ada pada bisnis mode berkonsep Fast Fashion.

Fast Fashion mulai berkembang tahun 1990-an, ketika para pelaku industri pakaian dituntut untuk menghasilkan keuntungan besar dalam waktu singkat, karena jaringan toko-toko besar mulai ikut dalam persaingan tersebut dengan memproduksi sendiri pakaian murah yang modelnya selalu mengikuti trend mode terbaru. Fokus dari Fast Fashion adalah bagaimana menghasilkan barang dengan biaya serendah mungkin namun mampu menanggapi permintaan konsumen yang berubah dengan cepat.

Hal ini sangat mungkin terjadi, karena mereka membagi rantai pasokan barang dengan cerdik. Beberapa item pakaian dasar diproduksi di negara berkembang (yang upah buruhnya murah), sedangkan pakaian yang lebih trendi dengan harga jual yang relatif lebih mahal bias diproduksi di Eropa atau Amerika Selatan. Mode pakaian yang baru saja dirilis oleh rumah-rumah mode terkenal dijiplak tanpa harus mengeluarkan biaya mahal untuk membayar desainer, diproduksi dengan cepat, kemudian segera dipasarkan di gerai-gerai yang mereka miliki. Proses bisnis seperti inilah yang membuat Fast Fashion memungkinkan konsumen untuk membeli pakaian trendi dengan harga terjangkau.

Dilihat dari perspektif penjual dan produsen, fast fashion sangat menguntungkan, karena kemunculan produk baru secara konstan mendorong konsumen untuk lebih sering berkunjung ke toko dan membelinya. Ketika kecepatan pergerakan trend mode juga direspon dengan cepat oleh konsumen, penjual dan produsen akan terhindar dari risiko turunnya harga produk akibat barangnya tidak laku dan harus menumpuk di Gudang, yang berpotensi merugikan pihak mereka.

Untuk itu, penjual harus secepat mungkin mengganti barangnya dengan yang baru, dengan cara menggoda konsumen dan meyakinkan bahwa barang-barang yang sudah mereka miliki tidak lagi modis. Pusat perbelanjaan, majalah mode, katalog, media sosial, dan toko-toko online yang setiap hari menawarkan koleksi fashion terbaru, semakin membuat konsumen terpacu untuk membeli barang yang mereka suka ketika mereka melihatnya, karena kemungkinan tidak akan tersedia dalam jangka waktu yang lama.

Sayangnya, keuntungan besar ini membawa konsekuensi negatif terhadap lingkungan. Warna-warna cerah, motif, dan tekstur kain merupakan fitur yang menarik dalam industri fashion, tetapi banyak di antaranya diperoleh dari bahan kimia beracun. Pencelupan tekstil adalah pencemar air bersih terbesar kedua secara global setelah pertanian.

Penggunaan kain berbahan dasar petrokimia yang murah dan mudah diproduksi seperti polyester sangat merusak lingkungan. Polyester adalah kain paling populer yang digunakan dalam berbusana. Namun, ketika dicuci dengan mesin cuci, polyester menumpahkan mikrofiber yang menambah peningkatan jumlah limbah plastik di laut. Mikrofiber ini dapat melewati instalasi pengolahan air limbah dengan mudah dan cepat, kemudian masuk kembali ke saluran air. Mikrofiber tidak bisa terurai secara alami, sehingga merupakan ancaman serius bagi kehidupan organisme di perairan. Makhluk kecil seperti plankton memakan mikrofiber, lalu berikutnya dimakan oleh ikan dan kerang yang kemudian dimakan oleh manusia.

Penggunaan kain katun yang terbuat dari kapas juga tak kalah merusaknya. Sebagian besar petani kapas di seluruh dunia menanam benih kapas yang telah dimodifikasi agar tahan terhadap hama bollworm, sehingga hasilnya lebih banyak dan mengurangi biaya untuk membeli pestisida. Tetapi hal ini juga dapat menyebabkan masalah, seperti munculnya superweeds atau gulma super yang tahan terhadap herbisida standar.

Fast fashion juga mendorong munculnya ‘throwaway clothes culture’, yakni perilaku cepat-cepat membuang pakaian lama untuk diganti dengan yang baru. Konsumen tidak akan merasa sayang untuk membuang yang lama dan segera membeli yang baru karena merasa harus mengikuti trend mode agar dianggap up-to-date; lagipula, kenapa harus mempertahankan baju yang lama, kalua baju baru bisa dibeli dengan harga murah?

Survey yang dilakukan oleh McKinsey menyebutkan: antara tahun 2000 dan 2014, produksi pakaian global meningkat dua kali lipat, sedangkan jangka waktu penyimpanan pakaian oleh konsumen semakin singkat. Pada tahun 2010, di Amerika Serikat saja, 1,1 juta ton limbah pakaian dibuang ke tempat pembuangan akhir. Hal ini tentu saja berkontribusi besar terhadap pemanasan global karena kain yang membusuk melepaskan gas metana ke udara.

Dengan fakta-fata mengerikan di atas, masihkah Anda berniat membeli pakaian jadi sekedar untuk mengikuti trend terkini dan up-to-date?

Sumber:

https://www.newsweek.com/2016/09/09/old-clothes-fashion-waste-crisis-494824.html
https://m.kumparan.com/@kumparanstyle/infografik-fashion-industri-yang-kehausan
https://lifestyle.kompas.com/read/2018/01/09/114700620/mode-pakaian-yang-berubah-cepat-dan-dampaknya-bagi-lingkungan

Amanda Vanessa R