Jangan Ada Munir yang Lain !
Munir Said Thalib atau yang biasa dipanggil Munir merupakan seorang pejuang HAM sejati di Indonesia, ia sangat menjunjung tinggi toleransi, menghormati nilai-nilai kemanusiaan, anti kekerasan dan berjuang tanpa kenal lelah dalam melawan praktik-praktik otoritan dan militeristik. Ia adalah aktivis yang sangat aktif memperjuangkan hak-hak yang tertindas, selama masa hidupnya, ia selalu berkomitmen untuk membela siapa saja yang haknya terdzolimi.
Munir meninggal dunia pada tanggal 7 September 2004 dalam perjalanannya dari Jakarta menuju Belanda untuk melanjutkan studi masternya di bidang hukum Universitas Utrecht. Munir yang merupakan pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) itu berangkat pada 6 September 2004 malam di bandara Soekarno Hatta, Jakara, menggunakan maskapai penerbangan Garuda Indonesia. Pesawat transit terlebih dahulu di Bandara Internasional Changi Singapura. Para penumpang pesawat termasuk Munir dipersilahkan untuk berjalan-jalan selama 45 menit sebelum melanjutkan perjalanan menuju Belanda.
Sebelum pesawat kembali mengudara, Munir sempat meminta obat mag kepada pramugari, Munir kemudian diminta menunggu karena pesawat akan tinggal landas. Sekitar 15 menit berselang , pramugari membangunkan Munir yang saat itu tidur. Munir sempat terbangun dan meminta teh hangat. Awak Kabin sempat melaporkan kepada pilot bahwa ada seorang penumpang yang bernama Munir menderita sakit. Pilot meminta Awak Kabin untuk terus memonitor kondisi Munir yang selalu bolak balik kamar mandi karena merasa mual. Munir pun dipindahkan lokasi duduknya menjadi di sebelah seorang penumpang yang kebetulan berprofesi sebagai dokter yang juga berusaha menolongnya pada saat itu. Penerbangan menuju Amsterdam menempuh waktu kurang lebih 12 (dua belas) jam. Namun 2 (dua) jam sebelum mendarat yakni pada tanggal 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.
Ahli Forensik Indonesia dan Institut Forensik Belanda (NfI) sepakat bahwa Munir meninggal akibat racun arsenic dengan dosis yang sangat fatal, Diduga saat di Singapura Munir bertemu dengan Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana kasus pembunuhan Munir yang kini telah menghirup udara segar karena bebas bersyarat di outlet Coffe Bean. Berdasarkan sejumlah bukti diyakini bahwa Munir tidak diracun diatas pesawat melainkan melainkan pada saat Pollycarpus mengajaknya minum kopi di Coffe Bean Bandara Changi Singapura. Karena berdasarkan fakta hanya ditempat itulah kemungkinan peracunan Munir bisa terjadi. Karena Setelah minum di Coffee Bean, Munir mengeluh sakit perut dan meminta obat mag. Di dalam pesawat, Munir sempat muntah dan kejang-kejang sebelum dinyatakan meninggal.
Terdakwa kasus pembununah Munir, Pollycarpus yang merupakan mantan pilot Garuda Indonesia dijatuhi vonis 14 tahun penjara yang awalnya 20 tahun dengan diancam pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 12 Desember 2005. Kemudian, pada 28 November 2014, Pollycarpus bebas bersyarat setelah menjalani 8 tahun masa tahanan. Pollycarpus sendiri berkali-kali membantah soal pemberian racun di Bandara Changi. Bantahan itu juga ditegaskan saat baru keluar dari penjara saat bebas bersyarat.
Selain Pollycarpus, mantan petinggi militer dan intelijen, Mayjen (purnawirawan) Muchdi PR ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan berencana Munir pada 19 Juni 2008. Namun kemudian, pada 31 Desember 2008 Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menvonis Muchdi PR bebas murni dari segala dakwaan karena dianggap tak ada bukti yang kuat.
Lalu yang menjadi pertanyaan? Selama hamper 13 Tahun ini, siapakah yang menjadi “dalang” pembunuhan Munir? Dalam hal ini, Ketegasan Pemerintah sangat dibutuhkan.Pemerintah dianggap setengah hati dalam menyelesaikan kasus pembunuhan Munir ini. Disamping itu kita bisa belajar banyak dari perjuangan Alm. Munir selama perjuangan beliau ketika masih hidup dengan kukuh dan tegas dalam membela HAM yang jelas jelas diatur oleh Konstitusi kita yang terdapat dalam pasal 28 UUD RI 1945.