KAJIPOST APRIL (2024)

Korupsi dalam Industri Timah: Tindakan Pencurian Aset Bangsa 

Subtopik:

  1. ⁠Kronologi korupsi (mengapa korupsi di bidang timah ini sulit diketahui)
  2. ⁠⁠Dampaknya terhadap industri timah di Indonesia
  3. ⁠Perbandingan hasil putusan hakim mengenai kasus korupsi yang pernah terjadi
  • Kronologi Korupsi

Akhir-akhir ini, masyarakat dihebohkan dengan terungkapnya kasus korupsi timah yang diperkirakan membuat kerugian negara sebesar Rp 271 Triliun. Kasus korupsi tersebut telah membuat kerugian negara terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Korupsi tersebut melibatkan orang-orang terkemuka, diantaranya suami Sandra Dewi yaitu Harvey Moeis hingga crazy rich dari Pantai Indah Kapuk (PIK) yaitu Helena Lim. Selain itu, tindakan korupsi ini sudah terjadi sejak 2015 hingga 2022 di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah TBK, Bangka Belitung. Namun mengapa kasus ini baru terungkap di tahun 2024? Apakah lembaga-lembaga pengawas seperti Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) tidak menjalankan tugasnya dengan baik?

Dari data yang dimiliki Indonesia Corruption Watch (ICW), tercatat bahwa sejak 2004 hingga 2015 terjadi penyelundupan timah secara ilegal dengan tidak dibayarnya royalti dan pajak PPh Badan. Dampak kejadian tersebut, Indonesia rugi sebesar Rp 5,714 Triliun dan kehilangan timah sebanyak 32, 473 ton/tahun. Prosedur pertambangan ilegal dilakukan melalui perusahaan-perusahaan “boneka” yang mengambil bijih timah secara ilegal dan dikirimkan ke perusahaan yang sepakat untuk melakukan tindakan ilegal tersebut (perusahaan smelter). Ismail Bolong, mantan anggota Polres Samarinda, mengungkapkan bahwa korupsi timah tersebut dapat terjadi karena aparat hukum yang membiarkan operasi perusahaan tambang ilegal tetap berjalan setelah mendapatkan setoran dari aktivitas timah. 

Jika dikaitkan dengan kasus korupsi timah Rp 271 Triliun, lembaga pengawasan seperti Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dianggap kurang hati-hati dalam menjalankan tugasnya sebagai badan pengawas. PT Timah sebagai perusahaan yang berada dibawah tanggung jawab BUMN menerbitkan Surat Perintah Kerja Borongan Pengangkutan Sisa Hasil Pengolahan mineral timah yang membuat perusahaan “boneka” semakin mudah untuk menambang timah secara ilegal. Namun, penerbitan surat tersebut tidak dipastikan oleh kementerian BUMN sebagai lembaga yang seharusnya mengawasi setiap langkah yang diambil oleh PT Timah. 

Kementerian ESDM juga ikut disalahkan akan kelalaiannya dalam menjalankan tugas sebagai lembaga pengawas, padahal lembaga ini telah diberikan kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan seperti teknis pertambangan, pengelolaan lingkungan hidup, dan sebagainya sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. 

 

Kronologi:

  • Tahun 2018, Alwin Albar (Direktur Operasi PT Timah Tbk, 2017-2018), M. Riza Pahlevi Tabrani (Direktur Utama PT Timah Tbk) dan Emil Emindra (Direktur Keuangan PT Timah Tbk) menyadari hasil pasokan bijih timah lebih sedikit dibandingkan perusahaan smelter timah swasta lainnya karena banyaknya penambangan ilegal yang dilakukan dalam wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah. 
  • Alwin Albar, M. Riza Pahlevi Tabrani, dan Emil Emindra tidak melaporkan adanya penambangan ilegal di sekitar PT Timah, tetapi mereka justru menawarkan kerjasama dengan pemilik smelter penambangan timah ilegal untuk membeli hasil penambangan ilegal melebihi harga standar yang ditetapkan oleh PT Timah Tbk tanpa melalui kajian terlebih dahulu. 
  • Harvey Moeis sebagai perwakilan PT Refined Bangka Tin (RBT) diduga menghubungi M. Riza Pahlevi Tabrani untuk memfasilitasi smelter penambangan ilegal atau melegalkan kerja sama dengan smelter penambangan ilegal tersebut di wilayah PT Timah. 
  • Setelah beberapa kali pertemuan, Alwin Albar, M. Riza Pahlevi Tabrani, dan Emil Emindra setuju untuk membuat perjanjian kerjasama sewa-menyewa peralatan peleburan timah di wilayah IUP PT Timah Tbk dengan para smelter ilegal. 
  • Tersangka Suwito Gunawan (pengusaha tambang) meminta tersangka MB Gunawan (pengusaha tambang) untuk menandatangani perjanjian kerja sama serta menyediakan bijih timah melalui pendirian perusahaan-perusahaan cangkang untuk memfasilitasi pengumpulan bijih timah ilegal dari PT Timah Tbk, yang seluruhnya dikontrol oleh tersangka MB Gunawan.
  • Bijih timah yang diproduksi oleh tersangka MB Gunawan tersebut berasal dari PT Timah Tbk atas persetujuan dari PT Timah Tbk, kemudian bijih maupun logam timahnya dijual kepada PT Timah Tbk. 
  • Tersangka MB Gunawan atas persetujuan tersangka Suwito Gunawan mendirikan perusahaan cangkang yaitu CV Bangka Jaya Abadi (BJA) dan CV Rajawali Total Persada (RTP) untuk mengumpulkan bijih timah yang ditambang secara ilegal.
  • PT Timah Tbk membuat Surat Perintah Kerja Borongan Pengangkutan Sisa Hasil Pengolahan (SHP) mineral timah untuk melegalkan kegiatan perusahaan-perusahaan cangkang tersebut. Keuntungan atas transaksi pembelian bijih timah tersebut dinikmati oleh tersangka MB Gunawan dan tersangka Suwito Gunawan.
  • Tersangka MB Gunawan atas persetujuan tersangka Suwito Gunawan juga memfasilitasi penambang-penambang timah ilegal di wilayah PT Timah Tbk dan mineral bijih timah yang diperoleh dikirimkan ke smelter milik tersangka Suwito Gunawan.
  • Tersangka Harvey Moeis mengkondisikan agar smelter PT SIP, CV VIP, PT SBS, dan PT TIN yang berada di sekitar IUP PT Timah Tbk mengikuti kegiatan tersebut. 
  • Setelah itu Harvey Moeis diduga memerintahkan para pemilik smelter menyisihkan sebagian keuntungan dari usahanya yang nantinya keuntungan tersebut kemudian dibagi untuk Harvey Moeis dan sejumlah tersangka lainnya. 

Kejaksaan menduga pemberian uang tersebut disamarkan sebagai dana Corporate Social Responsibility (CSR). Dana tersebut disalurkan kepada Harvey Moeis melalui perusahaan PT QSE yang difasilitasi oleh tersangka lainnya, yakni Helena Lim. Pemberian diduga dilakukan kepada tersangka Harvey Moeis melalui PT QSE yang difasilitasi tersangka Helena Lim.

  • Dampaknya terhadap industri timah di Indonesia

Tindak korupsi  di sektor tambang ini mencapai kerugian sebesar Rp 271 triliun. Namun, lebih dari sekadar statistik, yang perlu ditekankan adalah dampak nyata yang dirasakan oleh lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. 

Korupsi di tambang timah tidak hanya merampas sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik bersama, tetapi juga mengambil hak kesehatan dan kehidupan dari setiap warga negara. Kerugian lingkungan mencakup kehilangan fungsi ekosistem yang mengatur siklus air, udara, dan nutrisi. Sedangkan kerugian ekonomi lingkungan melibatkan nilai-nilai ekonomis dari layanan ekosistem yang hilang, seperti penyerapan karbon, penyediaan air bersih, dan keanekaragaman hayati. 

Ketika melihat kerugian sebesar Rp 271 triliun akibat korupsi di tambang timah, sebenarnya kita sedang menyaksikan bagaimana sumber daya alam yang seharusnya menjadi aset bersama bagi keberlanjutan hidup telah dirampas oleh tindakan yang tidak bertanggung jawab.

Kejaksaan Agung menyatakan bahwa kerugian ekonomi negara akibat penambangan timah ilegal di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah mencapai Rp271 triliun. Kerugian ini terutama berkaitan dengan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan penambangan di area hutan dan non-hutan, serta kegiatan ini mencakup kerugian ekonomi lingkungan serta biaya pemulihan lingkungan. 

Menurut Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Kuntadi, bekas area tambang yang seharusnya dipulihkan, namun tidak dipulihkan sama sekali dan akan meninggalkan lubang yang sangat besar serta merugikan. 

Menurut data dari Walhi Bangka Belitung, luas lahan pertambangan untuk bahan galian dan izin usaha pertambangan pada tahun 2019 mencapai lebih dari satu juta hektar dari total luas Bangka Belitung, sekitar 1,6 juta hektar. Dari angka tersebut, hampir 50% izin pertambangan dimiliki oleh PT Timah, sementara sisanya dikelola oleh ratusan perusahaan lainnya. Akibatnya, terjadi deforestasi besar-besaran karena kegiatan pertambangan timah di kawasan hutan, karena sebagian besar perusahaan, baik yang memiliki izin maupun tidak, belum melakukan reklamasi atau pemulihan lingkungan. 

Lebih dari 12.000 lubang galian tambang timah dibiarkan terbuka, yang mengakibatkan terjadinya 21 kasus tenggelam. Dari 15 korban yang meninggal dunia akibat kasus ini, 12 di antaranya adalah anak-anak dan remaja dengan usia berkisar antara 7 hingga 20 tahun. Selain menyebabkan korban jiwa, lubang-lubang tambang ini juga menjadi sumber penyakit baru, entah sebagai tempat sarang nyamuk atau karena tingkat radiasinya yang tinggi. Bahkan lebih mengerikan lagi, lubang-lubang tambang tersebut dapat menyebabkan bencana kekeringan.

  • Perbandingan hasil putusan hakim mengenai kasus korupsi yang pernah terjadi

Dalam kasus tindak korupsi, ada acuan atau yurisdiksi yang dapat diberlakukan atas dasar putusan hakim terdahulu yang sudah pernah ditetapkan. Contohnya kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Johnny G Plate, Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) ini telah divonis 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar, serta membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp15,5 miliar dalam kasus korupsi pembangunan menara base transceiver station (BTS) 4G. 

Majelis Hakim  Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menyatakan Johnny G Plate terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam kasus pembangunan menara BTS 4G dan infrastruktur pendukung 1, 2, 3, 4, dan 5 BAKTI Kominfo tahun 2020-2022. Hakim juga menghukum Johnny membayar denda senilai Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan dan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp15,5 miliar. Ia terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. 

Dalam tindak kasus korupsi yang lain, hasil putusan hakim dapat berbeda seperti pada kasus korupsi Juliari Peter Batubara, mantan Menteri Sosial yang terlibat dalam kasus korupsi yang mengguncang Indonesia. Berdasarkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Juliari dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 12 tahun penjara serta denda sebesar Rp500 juta. Pada Desember 2020, skandal korupsi ini terungkap. Juliari Batubara diduga menerima suap lebih dari Rp32 miliar dari rekanan penyedia bantuan sosial (bansos) di Kementerian Sosial (Kemensos). Jatah bansos yang seharusnya diterima warga malah disalahgunakan, dan kualitasnya semakin memburuk.

Juliari Batubara dijerat dengan Pasal 12 huruf b Undang-Undang Tipikor: Melakukan korupsi dengan menerima suap lebih dari Rp32 miliar. Pasal 18 Undang-Undang Tipikor terkait dengan tindak pidana korupsi. Juliari diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar dan kehilangan hak politik selama 4 tahun setelah menjalani pidana pokok.

Sumber: