INVASI RUSIA-UKRAINA: HUKUM HUMANITER PERANG
Oleh Amanda Yasmine Adzhani, Muhammad Alif Praditya, Shohibul Mi’raj (4 April 2022).
Banyak peristiwa besar yang telah terjadi pada tahun 2022, salah satunya peristiwa mengenai Rusia melancarkan invasi kepada Ukraina. Pada tanggal 24 Februari 2022 menjadi hari pertama Rusia dalam melakukan invasi, dimana dalam penyerangannya, wilayah Timur Ukraina sebagai jalur pertama yang dilalui oleh Rusia. Sampai dengan saat ini, konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina masih terjadi, sudah lebih satu bulan lamanya setelah Rusia melakukan invasi hukum yang mengatur tentang konflik bersenjata yang dialami oleh sebuah negara seperti hal yang sedang terjadi antara Rusia dan Ukraina. pertama kali. Namun, yang menjadi pokok pembahasan kali ini bukan berkaitan antara konflik ada bersenjata yang sedang dialami oleh kedua negara tersebut, tetapi lebih membahas mengenai konflik bersenjata secara umunya. Dengan adanya hukum internasional yang telah disepakati oleh tiap-tiap negara, apakah
Apa itu hukum humaniter/hukum perang?
Hukum humaniter merupakan hukum internasional yang membahas mengenai peraturan dalam terjadinya konflik bersenjata. Hukum tersebut menjadi salah satu cabang hukum internasional tertua karena peraturan ini mulai dibahas sejak berakhirnya perang dunia kedua pada abad ke-19. Dibentuknya hukum tersebut menjadi salah satu upaya yang dilakukan tiap negara dalam menjaga kestabilan dunia. Pada dasarnya, hukum humaniter bukan melarang adanya sebuah perang, melainkan hukum tersebut memiliki maksud membentuk batas-batas yang perlu ada apabila terjadinya sebuah perang, sehingga asas kemanusian menjadi dasar aturan yang terdapat di dalam hukum humaniter. Hal tersebut menjadikan isi dari hukum humaniter seputar perihal individu atau kelompok yang tidak terlibat di dalam konflik bersenjata untuk dilindungi dan pembatasan mengenai penggunaan metode-metode dalam perang.
Asas asas hukum humaniter
Ada 3 asas hukum humaniter, yaitu :
- Asas Kepentingan Militer
Pihak-pihak yang bersengketa mempunyai hak untuk melakukan tindakan yang dapat menunjang keberhasilan operasi militer dengan syarat tidak adanya peraturan atau hukum perang. Contohnya adalah pihak-pihak yang berperang dilarang menggunakan dan meluncurkan senjata yang menyebabkan superfluous injury or unnecessary suffering.
- Asas Perikemanusiaan
Pasal 23(e) Hague Regulations menyebutkan “In addition to the prohibitions provided by special Conventions, it is especially forbidden; (e) To employ arms, projectiles, or material calculated to cause unnecessary suffering;…”
Pihak pihak yang terlibat dalam perang dilarang untuk menggunakan alat alat perang yang tidak manusiawi yang menyebabkan penderitaan yang tidak perlu, seperti peluru yang telah dikikir karena akan peluru tersebut akan mengakibatkan efek meluas atau melebar yang akan menyebabkan luka sobekan tidak beraturan dan hancurnya jaringan tubuh seorang manusia.
- Asas Kesatriaan
Kejujuran meruakan suatu hal yang utama didalam peperangan. Penggunaan alat alat yang dilarang adalah alat alat yang sifatnya khianat, ilegal dan bertentangan dengan hukum. Contoh asas kesatriaan adalah seorang kombatan dari pihak-pihak bersengketa dilarang untuk melukai atau membunuh kombatan pihak lawan yang telah menyerah atau tidak mampu melakukan perlawanan lagi sesuai dengan Pasal 23(c) Hague Regulations.
Asas asas hukum humaniter
“To put things as simply as possible, these rules can be summed up in four precepts: do not attack non-combatants, attack combatants only by legal means, treat persons in your power humanely, and protect the victims”—David Éric
Selain tiga asas yang telah disebutkan tadi, hukum humaniter juga memiliki core fundamental principles, sebagai berikut :
- Perbedaan antara warga sipil dan kombatan (Distinction Principle).
- Larangan menyerang hors de combat (yaitu mereka yang tidak terlibat langsung dalam permusuhan).
- Larangan menimbulkan penderitaan yang tidak perlu.
- Prinsip keharusan.
- Prinsip proporsionalitas.
Dasar atau Sumber Hukum
Dasar atau Sumber hukum humaniter perang tercantum dalam :
- Deklarasi St. Petersburg 1868
- Peraturan Den Haag 1899 dan 1907
- Peraturan Den Haag 1899 dan 1907
Dasar atau sumber hukum
- Den Haag Convention 1907
- Geneva Convention 1949
- Pasal 8 Statua Roma 1998
Negara yang Menandatangani
Terdapat 196 negara yang menandatangani Geneva Convention termasuk dengan semua negara anggota PBB, baik pengamat PBB Tahta Suci dan Negara Palestina, serta Kepulauan Cook. 123 negara yang menandatangani Rome Statute yang dimana mereka adalah negara negara Rome Statute International Criminal Court. 123 negara terdiri dari 33 negara Afrika, 19 negara Asia Pasifik, 18 negara di Eropa Timur, 28 negara Amerika Latin dan Karibia, dan 25 negara Eropa Barat dan sisanya adalah negara lain.
Apakah Indonesia ttd juga?
Indonesia juga menandatangani dan meratifikasi Geneva Convention tentang perlindungan terhadap penduduk sipil pada masa perang dan mengkodifikasikan dalam Undang-Undang nomor 59 Tahun 1958 tentang Aksesi Negara Republik Indonesia terhadap Geneva Convention. Dalam Undang-undang tersebut, salah satu prinsip yang mendasar disebut distinction principle yang mengatur pemisahan objek penduduk sipil dan militer.
Referensi :
https://heylawedu.id/blog/mengenal-sejarah-hukum-humaniter
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-60732475
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-60884884
https://arlina100.wordpress.com/2008/11/15/asas-asas-hukum-humaniter/
https://www.unodc.org/e4j/en/terrorism/module-6/key-issues/core-principles-of-ihl.html
https://ihl-databases.icrc.org/ihl/WebART/195-200033?OpenDocument
https://casebook.icrc.org/law/fundamentals-ihl
DAVID Éric, Principes de droit des conflits armés, Brussels, Bruylant, 3rd ed., 2002, pp. 921-922; original in French, unofficial translation.
Eno Prasetiawan and Lina Hastuti, “Penerapan Distinction Principle Dalam Perundang-Undangan Di Indonesia,” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 9, no. 2 (2020): 448, https://doi.org/10.24843/jmhu.2020.v09.i02.p16.
Indah Sari, “Tinjauan Yuridis Hubungan Kejahatan Perang,” Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara–Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma 11, no. 2 (2021): 23–43.