KAJIPOST JUNI

Penerapan Masa Percobaan Terhadap Terpidana Mati Bersifat Otomatis sesuai KUHP Baru

Subtopik :

  1. Pembaruan Ketentuan Hukuman Mati dalam UU No. 1 Tahun 2023
  2. Perbandingan Ketentuan Hukuman mati pada Pasal KUHP lama dan UU No.1 Tahun 2023
  3. Pandangan Para Ahli mengenai masa percobaan Pasal 100 ayat (1) UU 1/2023

Pembaruan Ketentuan Hukuman Mati dalam UU No. 1 Tahun 2023

Pidana mati atau yang dapat juga dikatakan sebagai hukuman mati merupakan praktik yang dilakukan oleh suatu negara untuk membunuh seseorang sebagai hukuman atas kejahatan yang dilakukannya. Dikatakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Wetboek Van Strafrecht yang kita gunakan dari dulu sampai sekarang ini, hukuman pidana mati merupakan suatu pidana pokok yang paling berat. Pengaturan mengenai hukuman mati di Indonesia diatur dalam PenPres 2/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum dan Militer dengan cara ditembak sampai mati. Namun baru-baru ini Indonesia akan mengesahkan dan memberlakukan Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 pada tahun 2026. Dalam UU tersebut terdapat pembaharuan mengenai pengaturan hukuman mati di Indonesia, lebih tepat nya terdapat dalam Pasal 100 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2023 dimana seluruh pidana mati wajib diikuti dengan masa percobaan, selain itu dalam pasal ini juga mengatur mengenai syarat bagi hakim dalam pengambilan keputusan atau penjatuhan pidana mati kepada terdakwa, dimana hakim perlu mempertimbangkan penyesalan dan peran terdakwa untuk menjatuhkan pidana mati. 

Akan tetapi pasal ini memunculkan kebingungan, khususnya pada frasa “Dengan Memperhatikan”. Adanya frasa tersebut memunculkan keraguan bagi para hakim dalam menerapkannya di pengadilan. Apabila penilaian sikap serta kelakuan terpidana mati yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 2023 merupakan salah satu syarat bagi hakim untuk mengambil keputusan pidana mati maka memerlukan adanya sistem checks and balances diantara lembaga yudikatif, khususnya hakim pengawas serta pengamat sehingga tidak menimbulkan keputusan yang rancu.

Perbandingan Ketentuan Hukuman mati pada pasal KUHP lama dan UU No.1 Tahun 2023

Menurut Roeslan Salah hukuman mati merupakan jenis pidana terberat menurut hukum positif Indonesia. Hukuman mati ini menjadi jenis pidana paling banyak diperdebatkan. Karena masih banyak pihak yang pro dan kontra terhadap pelaksanaan hukuman mati. Untuk menumpas masalah tersebut, para penjahat dianggap perlu diberi hukuman berupa pidana mati, terutama bagi penjahat tertentu yang tak lagi dapat diharapkan untuk berubah.

 

Pidana mati atau hukuman mati sebagai jenis pidana khusus diatur mulai Pasal 98 sampai Pasal 102 KUHP baru. Masa percobaan ini menjadi pertimbangan dengan harapan adanya perubahan perilaku dan penyesalan dari terpidana. Pada Pasal 100 KUHP baru mengatur, hakim menjatuhkan hukuman mati dengan percobaan selama 10 tahun dengan memperhatikan harapan untuk memperbaiki diri dan peran dalam tindak pidana.

 

Terdapat perbedaan antara KUHP lama dengan UU No. 1 Tahun 2023, diantaranya jika pada KUHP lama, hukuman mati masuk dalam jenis pidana pokok. Sedangkan, pada UU Nomor 1 Tahun 2023, pidana mati tergolong ke dalam pidana bersifat khusus yang menjadi alternatif. Hal ini berkaitan dengan Pasal 67 UU Nomor 1 Tahun 2023, berbunyi : 

 

Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif.”

Pandangan Para Ahli mengenai masa percobaan Pasal 100 ayat (1) UU 1/2023

Seorang praktisi hukum, Todung Mulya Lubis, sangat mengapresiasi adanya masa percobaan walaupun seraya menegaskan tetap diperlukan dihapusnya pidana mati secara penuh. Menurut beliau, sudah seharusnya ketentuan ini diterapkan sejak dahulu untuk memberikan kesempatan kedua bagi terpidana mati.

Seorang pengacara dan pegiat HAM Senior dalam Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan di Yogyakarta beberapa waktu lalu mengatakan bahwa, “walaupun pidana mati harus dihapus, kita harus tetap mengamankan hak-hak terpidana mati yang sudah tertulis dalam KUHP Baru”. FGD ini memilih topik “Pekerjaan Rumah Pemerintah dan Pengadilan untuk Pidana Mati dalam KUHP Baru” yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan dan akademisi.

Prof. Marcus Priyo Gunarto, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, menilai bahwa hakim tidak diwajibkan untuk memberikan masa percobaan jika menjatuhkan pidana mati, sesuai rumusan Pasal 100 ayat (1) UU 1/2023.

Beliau berkata, “Pasal 100 ayat (1) menekankan kondisi yang harus dipertimbangkan oleh hakim dalam menjatuhkan masa percobaan, yaitu ada tidaknya penyesalan atau signifikan tidaknya peran dari terdakwa. Selain itu, masa percobaan ini harus dicantumkan dalam putusan pengadilan,”. Ia juga berkata bahwa, pidana mati dengan masa percobaan bukan jenis pidana (strafsoort) tetapi merupakan pelaksanaan pidana (strafmodus), yang berarti jenis pidana yang dikenal adalah pidana khusus yaitu pidana mati, bukan pidana mati dengan masa percobaan.

Namun, pandangan Prof. Marcus  berbeda dengan yang dijelaskan dalam Rapat Kerja Komisi III DPR RI. Dalam Rapat Kerja Komisi III DPR RI, dinyatakan bahwa masa percobaan wajib disertakan dalam vonis pidana mati dalam rumusan Pasal 100 ayat (1) UU 1/2023. Dalam FGD juga ditegaskan bahwa masa percobaan dalam Pasal 100 ayat (1) UU 1/2023 memang bersifat otomatis oleh Anggota Komisi III, DPR Taufik Basari. Beliau juga menjelaskan bahwa selain diwajibkan masa percobaan pada pasal ini, juga termasuk syarat bagi hakim dalam menggunakan dakwaan pidana mati.

Muh. Djauhar Setyadi, Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta juga mengkhawatirkan potensi masalah yang terdapat pada rumusan UU 1/2023 karena menimbulkan kebingungan. Ia juga berpendapat bahwa penilaian sikap dan kelakuan pada pasal ini perlu dilibatkannya peran dari lembaga yudikatif, khususnya hakim pengawas dan pengamat.

Yang terakhir adalah pendapat dari Adnan Pambudi dari Ikatan Advokat Cabang Indonesia Cabang Yogyakarta, menyatakan bahwa permasalahan ini lahir karena Indonesia belum menghapus pidana mati secara total dan masih setengah-setengah sehingga timbul masalah dalam sistem hukum. Sedangkan Eko Riyadi dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia juga menyuarakan tentang penghapusan pidana mati secara total juga harus segera dilaksanakan.

Sumber :