Masa Depan Kurang Pasti KPK
Proses seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah hampir memasuki babak akhir. Saat ini proses seleksi telah menghasilkan 10 nama yang sudah diserahkan Pansel kepada Presiden untuk kemudian dilanjutkan dengan proses fit and proper test di Komisi III DPR.. Namun begitu, proses seleksi untuk menentukan figur yang menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi 4 tahun kedepan ini tak lepas dari berbagai permasalahan. Mulai dari panitia seleksi (Pansel) sampai dengan peserta seleksi.
Sedari awal Pansel yang keanggotaannya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 54/P Tahun 2019 ini seakan memberikan “karpet merah” bagi instansi penegak hukum lain yaitu Kepolisian dan Kejaksaan untuk mencalonkan anggotanya sebagai Capim KPK periode 2019-2023. Memang di dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK tidak menutup pintu bagi siapapun termasuk korps bhayangkara dan korps adhiyaksa tersebut untuk menjadi ketua lembaga anti rasuah tersebut. Namun perlu diingat dalam pasal a quo huruf (i) menyebutkan bahwa “untuk dapat diangkat menjadi pimpinan KPK harus memenuhi prasyarat; (i) Melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi.” Bukan tanpa alasan, hal ini bertujuan untuk membangun KPK sebagai penegak hukum yang memilik integritas kelembagaan yang tinggi dan sudah seharusnya terbebas dari intervensi cabang kekuasaan lain.
Bukan dengan maksud menegasikan posisi Kepolisian dan Kejaksaan untuk mendaftar, namun perlu sama-sama kita cermati dan awasi bersama karena beberapa nama dari instansi tersebut memiliki catatan hitam dalam hal pelanggaran etik dan dalam hal integritas, beberapa capim sendiri tidak taat dalam menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), selain memang memang menjadi kewajiban yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan seperti Peraturan KPK No. 7 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, penyampaian LHKPN dapat menjadi tolak ukur integritas seseorang terkait transparansi dan akuntabilitas hartanya selama ia menjabat menjadi penyelenggara negara. Khusus untuk Capim, dalam Pasal 29 huruf k UU KPK secara tegas mengatur bahwa syarat administratif seseorang sebelum menjadi pimpinan KPK ia harus memberikan laporan hartanya terlebih dahulu.
Kenyataannya, dari 10 nama yang telah lolos tahap akhir, beberapa nama ditenggarai tidak taat dalam menyampaikan laporan hartanya. Sehingga dalam hal ini pernyataan Pansel tentang pimpinan KPK yang harus diisi oleh beberapa penegak hukum konvensional perlu dipertanyakan. Karena kriteria untuk memilih orang yang akan menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi tidak dapat diukur hanya dari kemampuan teknisnya, namun juga perlu diukur dari komitmennya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Perlu diketahui juga bahwa dibentuknya KPK adalah karena tidak maksimal penegakan hukum dalam konteks pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum konvensional. Bila menilik kembali kinerja lembaga kepolisian dan kejaksaan sendiri dalam menangani kasus korupsi, menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam Tren Penindakan Kasus Korupsi tahun 2018 memang Kejaksaan menjadi instansi penegak hukum dengan penanganan kasus korupsi paling banyak yaitu 235 kasus, dan Kepolisian sebanyak 162 kasus korupsi, sedangkan KPK sebanyak 57 kasus. Dengan kuantitas paling sedikit itu dikarenakan KPK hanya memiliki satu kantor pusat, bila dibandingkan dengan Kepolisian memiliki 535 kantor dan Kejaksaan 520 kantor di Indonesia. Artinya ada beberapa kantor kepolisan dan Kejaksaan yang tidak sama sekali menangani kasus korupsi.
Hal-hal tersebut seharusnya menjadi perhatian pansel untuk kemudian lebih selektif dalam memilih Capim KPK yang punya kredibilitas dan berintergritas tidak hanya melihat latar belakang ia sebagai aparat penegak hukum dan kemudian membuka pintu selebar-lebarnya, hal ini diperlukan untuk menjaga marwah KPK dan menjaga agenda pemberantasan korupsi di masa mendatang. Masyarakat juga berharap bagi pimpinan KPK periode 2019-2023 untuk setidaknya menaikkan peringkat Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diketahui di tahun 2019 Indonesia masih berkutat pada angka 38 dan peringkat 89 di dunia walaupun KPK sendiri selama tahun 2018 gencar dalam melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan Pemerintah sendiri telah melakukan langkah untuk melakukan pencegahan korupsi melalui program Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas-PK)