KORUPSI MENYENGAT BUMN

Foto dari Merdeka.com/Imambuhori

 

Kasus korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 kembali memasuki babak baru. Setelah ditetapkan sebagai tersangka pada bulan maret lalu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sofyan Basir mencabut gugatan praperadilannya. Mantan Direktur Utama PLN ini sampai sekarang masih menjalani proses pemeriksaan dan sedang menjalani masa tahanan.

Penetapan tersangka terhadap Sofyan Basir ini sebenarnya bukanlah sebuah hal yang baru, sebab namanya sendiri telah beberapa kali disebutkan dalam persidangan terdakwa sebelumnya. Mulai dari persidangan mantan anggota DPR RI, Eni Maulani Saragih, hingga mantan Menteri Sosial, Idrus Marham serta beberapa pihak swasta.

Direktur PT PLN ini diyakini memiliki peran penting dalam konstruksi perkara, bersama dengan Eni dan Idrus ia diduga menerima janji dan mendapat suap dari Johannes Budisturisno Kotjo, pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd.

Suap atas pengadaan pada proyek PLN ini sendiri juga sebenarnya tidak begitu berbeda dengan kasus suap pengadaan lainnya. Namun karena dalam kasus ini melibatkan nama besar sekelas anggota DPR dan juga Menteri bahkan Dirut PLN sebagai perusahaan BUMN maka wajar bila publik kemudian mempertayakan komitmen anti korupsi pada tubuh pemerintahan khususnya dalam sektor BUMN. Dan juga kasus pengadaan ini tidak melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa.

Dengan melimpahnya uang negara atau masyarakat yang dikelola, menjadi sasaran empuk untuk dikorupsi dengan berbagai modus. Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) atas tren pelaku korupsi berdasarkan profesi dalam periode 2015-2018, ditemukan sebanyak 113 kasus korupsi yang pelakunya berlatar belakang BUMN/BUMD. Dalam rentang waktu selama 4 tahun, angka ini terbilang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan ada masalah serius di internal perusahaan tersebut.

Adapun dua masalah yang mendasari banyaknya kasus korupsi dalam tubuh BUMN. Pertama, perusahaan kerap tidak menerapkan konsep good corporate governance dengan baik. Padahal corporate governance amat penting untuk diterapkan pada tiap BUMN, guna mengatur, mengelola serta mengawasi kegiatan perusahaan sehingga membentuk nilai transparansi dan integritas dari perusahaan itu sendiri.

Selain itu fungsi pengawasan internal BUMN sendiri juga masih terbilang lemah. Padahal di dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN telah mengatur terkait peran Satuan Pengawasan Internal (SPI) yang secara struktur bertanggung jawab kepada direktur utama dan dalam aspek prosesnya bertugas untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, pelaporan pengawasan internal.

Kedua, segala kegiatan perusahaan baik dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan internal perusahaan rentan diintervensi dengan  kepentingan politik. Kasus suap PLTU Riau-1 ini dapat dijadikan menjadi salah satu contoh yang nyata.

Adapun yang dapat dipersoalkan adalah terkait keputusan Sofyan ketika memberikan izin kepada  Blackgold Natural Resources Ltd untuk mengerjakan proyek Independent Power Producer (IPP) di provinsi Riau. Dugaan kejahatan ini bermula ketika Johannes Kotjo diduga melobi Dirut PLN lewat Eni Saragih dan Idrus Marham. Hal ini tentu bertentang dengan Pasal 91 UU BUMN yang menekankan independensi BUMN sehingga pihak lain mana pun dilarang campur tangan dalam pengurusan internal perusahaan.

Tidak dapat dipungkiri, BUMN diibaratkan seperti dua sisi mata koin. Di satu sisi ia merupakan korporasi yang memang membutuhkan keuntungan agar kegiatan perusahannya dapat berjalan dengan lancar, di sisi lain BUMN merupakan representasi dari negara, yang mana terdapat 51% saham di dalamnya.

Kasus korupsi yang melibatkan BUMN tentu menjadi tamparan keras bagi pemerintah, perlu diingat bahwa perusahaan milik negara ini merupakan salah satu pilar perekonomian dan juga agent of development yang mencerminkan Pasal 33 UUD 1945. BUMN didorong untuk dapat mengolah sebaik mungkin sektor-sektor yang berkaitan hajat hidup orang banyak untuk dikembalikan pada kemakmuran atau kesejahteraan rakyat.

Sehingga perlu kemudian mengambil langkah, baik itu preventif maupun represif untuk mengatasi kasus korupsi pada sektor BUMN. Adapun dari aspek preventif, penting dilakukan upaya perbaikan dalam tubuh internal maupun eksternal perusahaan dengan meningkatkan fungsi pengawasan. Utamanya pengawasan atas keberlangsungan privatisasi BUMN agar tidak disusupi oleh kepentingan-kepentingan politik khususnya. Hal ini diharapkan agar para Direksi dapat melakukan tugasnya secara mandiri.Pemerintah melalui kementerian BUMN juga harus lebih ketat dalam pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan milik negara ini

Sedangkan dari aspek represif, KPK harus lebih berani menjerat BUMN atas kasus korupsi dalam posisinya sebagai korporasi. Kita tentu masih ingat pencapaian KPK pada tahun 2018, dengan menjadikan PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE) sebagai korporasi pertama yang divonis korupsi. Hal ini tentu diharapkan publik menjadi suatu terobosan positif yang berkelanjutan.

Dalam posisinya sebagai rechtpersoon bukan tidak mungkin BUMN dijerat kasus korupsi. Pasal 20 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada intinya menyebutkan jika korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi, tuntutan atau penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Dan pedoman dalam penanganannya sendiri sudah diatur di dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.

Langkah KPK yang sedang “bersih-bersih” BUMN ini patut untuk diapresiasi. Karena bagaimanapun publik berharap akan adanya BUMN yang anti korupsi, bukan justru dijadikan bancakan elit-elit pelaku korupsi. Sehingga amanat yang disematkan kepada BUMN di dalam pasal 33 UUD 1945 untuk mengolah bumi, air, dan kekayaan alam dapat digunakan dan dimanfaatkan benar-benar untuk kemakmuran rakyat.

Diky Anandya