Pendidikan Politik Menjadi Kampanye

Masa kampanye menuju ‘Tahun Politik Panas 2019’ telah menjalar ke berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat. Baliho dan kampanye ala milenialis telah dilakukan oleh para calon penguasa politik yang akan mendatang. Segudang pertanyaan “Pilih siapa di 2019 nanti?” telah terlontar pada setiap lapisan masyarakat. Berbagai polemik menjadi perhatian utama masyarakat seperti halnya politik identitas, uang mahar, dan politik dinasti. Namun, tidak bagi pendidikan politik yang merabah ke pendidikan tingkat dasar hingga tinggi. Beberapa waktu lalu telah tersebar video sekelompok murid sekolah dasar berteriak – teriak dengan lantangnya “2019 ganti presiden” yang hingga sekarang masih nihil siapa orang dibalik orasi tersebut. Tidak hanya itu, kasus seorang guru yang dipecat karena diduga menyebarkan doktrin Anti-Jokowi juga terjadi di kalangan pendidik.

Menurut UU No.2 tahun 2008 tentang Partai Politik, pada pasal 1 ayat (1)  dikatakan bahwa dalam undang-undang yang dimaksud dengan pendidikan politik ialah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam artian, setiap warga negara mempunyai hak pilihan politik masing-masing dan tidak boleh dibatasi oleh hal apapun. Butuh diperhatikan bahwa pendidikan politik itu berbeda dengan kampanye dan memang seharusnya tidak dikaitkan kepada kampanye yang sedang berlangsung. Pendidikan politik adalah dasar pengertian politik yang akan dianut oleh masyarakat. Pendidikan politik memiliki tiga tujuan yakni, membentuk kepribadian politik, kesadaran politik, dan partisipasi politik. Kepribadian politik dinaungkan untuk agar masyarakat mempunyai sifat-sifat politik yang progresif. Seperti mempunyai visi misi untuk politik di masa mendatang, berpikir secara rasional dan dari banyak sudut pandang terhadap polemik politik yang sedang menjamur, dan diharapkan bisa membawa kedamaian dalam kehidupan berpolitik. Kesadaran politik juga mempunyai tujuan untuk masyarakat sadar akan pentingnya politik dalam kehidupan setiap individu. Karena setiap kebijakan yang tertera pada masyarakat, sudah pasti ada keputusan politik pula didalamnya. Dan partisipasi politik, ialah satu nilai yang medasar sebagai masyarakat demokratis. Berpartisipasi dalam pemilihan umum, mengikuti kegiatan politik, dan menentukan pilihan politiknya.

Secara hakikat, pendidikan politik memang diberikan kepada masyarakat “yang belum tahu” apa itu politik. Sehingga pendidikan dari sekolah dasar hingga mengenah atas menjadi target dalam pendidikan politik tersebut. Sudah seharusnya pendidikan politik mengajarkan dasar-dasar politik dan fungsi sebagai masyarakat dalam politik dengan cara yang sehat dan positif. Namun sebaliknya di negara Indonesia. Pendidikan politik disajikan dengan cara yang tidak sehat. Utaran kebencian, saling menjatuhkan satu sama lain, mendiskriminasi beberapa pihak, dan politik identitas yang kuat telah disampaikan kepada peserta didik. Sangat disayangkan mengingat Indonesia adalah negara demokrasi terbesar di dunia dan pada tahun 2019 nanti, diprediksikan angka generasi pemuda yang memilih akan mencapai 100 juta. Oleh karena itu, suara pemuda pada tahun 2019 akan sangat mempunyai potensi yang signifikan untuk perubahan Indonesia selanjutnya. Karena hal tersebut, pendidikan politik kepada generasi muda sangat amat penting. Memang terlihat mudah saat pendidikan politik disajikan langsung dengan cara politik identitas atau hal yang tidak seharusnya disampaikan hanya agar cepat mendapatkan suara. Namun, pendidikan politik seperti itu mempunyai dampak yang buruk bagi generasi berikutnya. Pikiran yang akan terus mendoktrin dan sikap politik yang tidak memberikan ruang pikir yang kritis dan inovatif.

Dina Aditania