Legal Monthly Discussion
Legal Monthly Discussion
“PERLUKAH KARTU KUNING JOKOWI ? “
Februari 2018
_______________________________________________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________________________________________
Pada hari Jumat tanggal 23 Februari telah dilaksanakan kegiatan rutin bulanan “legal monthly discussion” dengan mengundang dua pembicara, yaitu Muhammad Reza Syarifuddin Zaki selaku Dosen Buisness Law Binus dan Shauta Salam Rusadi selaku wakil ketua HIMSLAW
Legal Monthly Discussion atau disingkat sebagai LMD merupakan proker HIMSLAW dari departemen KAHUM (kajian hukum) yang merupakan diskusi rutin bulanan yang membahas isu-isu terhangat. Dan topik yang dibahas pada hari jumat tanggal 23 Februari 2018 adalah tentang aksi kartu kuning yang dilakukan oleh ketua BEM UI, Zaadit Taqwa.
Pada tanggal 2 Februari 2018, Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa memberikan kartu kuning kepada Presiden Jokowi sebagai peringatan atas isu-isu yang tengah berkembang saat ini, yaitu gizi buruk di Asmat, PLT Gubernur dari kalangan Polri, serta tentang Permenristekdikti tentang organisasi mahasiswa yang dinilai memberangus kegiatan mahasiswa.
Pertanyaan pertama yang diajukan moderator kepada para pembicara adalah bagaimana pandangan para pembicara mengenai aksi Zaadit Taqwa. Dan jawaban dari Mas Zaki adalah apabila ingin mengkritisi sesuatu mulailah dari urusan yang paling kecil terlebih dahulu, bagaimana kalau memulai dari depok saja terlebih dahulu yang ruang lingkupnya sesuai dengan UI dan dimana saat itu Zaadit mengatakan bahwa tidak perlu turun ke lapangan langsung, dengan melihat koran saja sudah terlihat kondisi masyarakat, padahal sebagai mahasiswa yang harus dilakukan adalah turun langsung atau ikut merasakan bagaimana kondisi masyarakat itu sehingga nantinya mahasiswa dapat menjadi intermediet aktor yang menjembatani antara permasalahan dengan rakyat yang dapat di selesaikan.
Dan menurut pendapat Shauta adalah diperkirakan terdapat unsur politik yang tersisip namun setelah melihat dari UI sendiri tidak dapat di buktikan ada atau tidaknya keterlibatan partai politik dengan insiden Zaadit, dengan tiga tuntutan kritik tersebut dirasa kontradiksi dan hal positif yang dapat diambil adalah dimana Zaadit berani mengkritisi suatu permasalahan pemerintah dan yang memungkinkan nanti kedepannya mahasiswa dapat termotivasi untuk membuat gerakan-gerakan positif yang dapat membantu kesejahteraan negara ini.
Pertanyaan kedua yang diajukan moderator kepada para pembicara adalah bagaimana pandangan para pembicara mengenai pendapat Zaadit tentang pembangunan jalan tol yang hanya dapat dinikmati segilintir orang yang bermobil saja. . Dan jawaban dari Mas Zaki adalah dalam pembangunan kali ini terlihat bukan lagi Jawa-Sentris yang sebelumnya pembangunan hanya banyak di lakukan di pulau Jawa, namun juga sudah merambat ke berbagai pulau lainnya. Dimana kali ini negara bukan saja membangun infrastruktur, ditambah juga pembangunan sumber daya manusia yang ditingkatkan, kritik memang perlu dilakukan namun harus proporsional. Dan Shauta juga sependapat dengan Mas Zaki, namun menurut Shauta, Zaadit saat itu dirasa kurang tepat seperti jawaban orang yang tertekan bukan jawaban mahasiswa yang sebenarnya.
Pertanyaan ketiga yang diajukan moderator kepada para pembicara adalah bagaimana pandangan anda mengenai PLT Gubernur dari kalangan Polri melanggar TAP MPR No. 6 Tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dan jawaban dari Mas Zaki adalah perihal PLT Gubernur dari kalangan Polri sudah di batalkan oleh Menristekdikti, jadi hal tersebut tidak melanggar TAP MPR No. 6 Tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia karena sudah dibatalkan, jawaban dari Shauta pun setuju mengenai
Pertanyaan keempat yang diajukan moderator kepada para pembicara adalah bagaimana pandangan anda mengenai permen tentang organisasi mahasiswa, apakah peraturan tersebut inkonstitusional? Mengingat kebebasan berekspresi sangat dilindungi oleh konstitusi. Menurut pandangan Mas zaki, sebenarnya ada sisi positif dan ada sisi negatifnya, kalau di Binus University sendiri sepertinya diharapkan menjadi Wiliam Tanuwijaya selanjutnya yang berfokus dalam bidang start-up digital, kalau ada dari Binus University yang terjun menuju politik dapat di anggap bayi ajaib karena di Binus bukan di desain untuk belajar berpolitik kampus seperti itu, entah dari mana proses lika-liku tersebut maka dapat di anggap seperti bayi ajaib, memang sebagai mahasiswa yang dibedakan dari organisasinya yang banyak bergerak dibidang kenegaraan maka dari itu diperlukan juga sikap kritis, jawaban dari Shauta juga sependapat dengan Mas Zaki, mungkin dengan seperti ini, Binusian dapat menjadi lebih fokus dalam kuliah, jika memang ingin bergerak dalam politik belajar dulu di kampus mengikuti aturan kampus yang ada batasannya baru setelah lulus binusian dapat berpolitik tanpa adanya suatu aturan yang membatasi.
Kesimpulan dari diskusi tanggal 23 Februari 2018 adalah sebagai mahasiswa yang merupakan generasi penerus bangsa, perlu menjadikan suatu jembatan untuk menyelesaikan persoalan rakyat, sebelum mengkritisi sesuatu, ada baiknya kita perlu melihat realitanya, kita turun langsung ke lapangan dan ada baiknya juga, apabila mengkritisi sesuatu, mulailah dari ruang lingkupnya terlebih dahulu. Dan sebagai mahasiswa, harus terus membuat gerakan-gerakan yang positif untuk membangun kesejahteraan Negara.