PENGGUGURAN KANDUNGAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA
Aborsi merupakan salah satu topik yang selalu menjadi perbincangan di berbagai kalangan masyarakat, di banyak tempat serta di berbagai negara, baik itu di dalam forum resmi maupun forum-forum non-formal lainnya. Masalah ini sudah banyak terjadi sejak zaman dahulu, di mana dalam penanganan aborsi, cara-cara yang digunakan meliputi cara-cara yang sesuai dengan medis maupun cara-cara tradisional, yang dilakukan oleh dokter, bidan maupun dukun beranak, baik di kota-kota besar maupun di daerah terpencil.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, baik teknologi maupun hukum sampai saat ini, para dokter kini harus berhadapan dengan adanya hak otonomi pasien. Dalam hak otonomi ini, pasien memiliki hak dalam menentukan sendiri tindakan apa yang hendak dilakukan dokter terhadap dirinya, maupun memiliki hak dalam menolaknya. Sedangkan jika tidak puas, maka pasien akan berupaya untuk menuntut ganti rugi atas dasar kelalaian (malapraktek) yang dilakukan dokter tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aborsi adalah pengguguran kandungan. Pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan aborsi berdasarkan Pasal 75 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”).
Pengecualian terhadap larangan melakukan aborsi diberikan hanya dalam 2 kondisi berikut:
- a) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
- b) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
(lihat Pasal 75 ayat [2] UU Kesehatan)
Namun, tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan itu pun HANYA DAPAT dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang (lihat Pasal 75 ayat [3] UU Kesehatan).
Jadi, praktik aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana disebut di atas merupakan aborsi ilegal. Sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang berbunyi;
“setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.”
Pasal 194 UU Kesehatan tersebut dapat menjerat pihak dokter dan/atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun pihak perempuan yang dengan sengaja melakukannya.
Selain itu, sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”). Ketentuannya antara lain sebagai berikut:
Pasal 299
1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.
2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru-obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347
Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 348
Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pada praktiknya, bila ada dokter yang melakukan aborsi, maka masyarakat dapat melaporkan dokter tersebut ke kepolisian untuk diselidiki. Selanjutnya, bila memang ada bukti yang cukup dokter tersebut dengan sengaja telah melakukan aborsi ilegal terhadap pasien(-pasien)nya, maka proses pidana akan dilanjutkan oleh penyidik dan jaksa sebelum melalui proses di pengadilan.