PASAL 83 UU PEMDA VS PASAL 156/a KUHP

Source: http://megapolitan.kompas.com

Pilkada 2017 ini adalah pilkada yang sangat seru dan menarik. Event atau acara yang seharusnya menjadi skala lokal, bereskalasi menjadi tingkat nasional. Terkait dengan dugaan Penistaan Agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, seluruh lapisan masyarakat bereaksi. Salah satu bentuk reaksi yang umum adalah berasal dari akun-akun media sosial dan bahkan akun-akun resmi organisasi yang cukup besar, yang secara sepihak mengkondemnasi sesuatu tanpa ada justifikasi yang jelas.

Terkait dengan hal tersebut, pakar hukum tata negara dan juga mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud M.D., berkomentar tentang keaktifan kembali Gubernur DKI, Ahok. Ia menyatakan bahwa berdasar pasal 83 ayat (1) Undang-undang no. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Gubernur DKI harus diberhentikan sementara.

Pasal 83

(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

                  Beliau bersikukuh bahwa itu merupakan jalur yuridis untuk memberhentikan Ahok untuk sementara. Namun jika ditinjau secara Yuridis, masih dapat menimbulkan perdebatan. Menurutnya dengan naiknya status Ahok menjadi terdakwa, itu sudah cukup untuk memberhentikannya.

                  Mari kita tinjau secara hukum. Bahwa pasal 83 ayat (1) U.U. Pemerintahan Daerah terdapat frasa “…karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, …”. Sedangkan dakwaan delik yang ditujukan adalah dakwaan alternatif pasal 156 dan 156a KUHP, yakni:

Pasal 156

Barang siapa di rnuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Pasal 156a

Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bcrsifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

                  Pada pasal 156 memuat unsur hukuman maksimal 4 tahun, sedangkan pada pasal 156a memuat maksimal hukuman maksimal 5 tahun. Jelas berkontradiksi dengan pasal 83 ayat (1) U.U. Pemerintahan Daerah, yang dimana menyebutkan untuk memberhentikan, dakwaan harus mengandung minimal hukuman 5 tahun. Jadi, menurut saya Mahfud M.D. salah dalam menyampaikan pendapatnya, karena ia hanya berhenti di poin “status terdakwa” tapi tidak melihat unsur lainnya.

                  Memang, ini merupakan sebuah dampak peristiwa politik yang sedang berlangsung, namun kita tetap harus menjunjung tinggi ilmu, dalam hal ini ilmu Hukum. Juga kepada masyarakat, baik yang di dunia Cyber, atau pun pada dunia nyata, saya menyarankan agar lebih bijak, dewasa, dalam artian selalu menganalisis sebuah berita fenomena, bahkan pernyataan seorang ahli, agar tidak ‘memakan’ begitu saja berita yang ada, melainkan diuji segala sesuatu. Tujuannya ialah, agar kita tidak terpecah belah, dan mudah terhasut dengan isu-isu yang sebenarnya sudah jelas. Jangan sampai karena ignoransi kita, kondisi bangsa dan republik ini semakin memburuk.

 

Reinhard Christian