PAPUA BARAT DAN KEMERDEKAANNYA
Referendum merupakan suatu istilah yang memang kurang populer atau bahkan dianggap taboo untuk dibicarakan oleh orang luas, terdapat anggapan bahwa referendum adalah istilah untuk kaum separatis atau bagi mereka yang tidak cinta akan NKRI. Berangkat dari alasan tersebut saya sebagai penulis ingin untuk membahas lebih jauh tentang apa itu referendum dan implementasinya pada kasus di Papua Barat sekitar 50 tahun yang lalu tepatnya pada tahun 1969 dimana dilangsungkan PEPERA.
Jika dilihat dari faktor sejarah, Papua adalah salah satu Provinsi yang diintegrasi oleh Pemerintah Republik Indonesia. Masuknya Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi memang diwarnai dengan pro dan kontra banyak yang beranggapan bahwa pelaksanaan PEPERA yang diadakan pihak Pemerintah Indonesia yang diawasi oleh PBB terdapat banyak ketidakadilan dan dipertanyakan keabsahannya. Menurut New York Agreement yang sudah disepakati sebelumnya bahwa Pepera dilaksanakan sesuai dengan pasal XVIII ayat (d) “The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of self determination to be carried out in accordance with international practice.” Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement. Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa rakyat Papua Barat.
Resolusi Majelis Umum PBB nomor 1514 menyatakan bahwa hak menentukan nasib sendiri dimiliki oleh semua orang berdasarkan hak mereka untuk secara bebas menentukan status politik, ekonomi, pembangunan sosial budaya mereka. Lebih jauh lagi, sebagaimana disoroti oleh negara-negara peserta Covenant Civil and Political Rights 1966, syarat lainnya agar suatu bangsa berhak mengklaim hak atas penentuan nasib sendiri adalah dengan menunjukan hubungan mereka yang erat dan sudah berlangsung lama dengan wilayah kediaman mereka. Ketentuan dalam pelaksanaan referendum harus sesuai dengan prinsip-prinsip dalam hukum internasional dan berdasarkan praktik-praktik PBB dalam mengawasi suatu proses hak untuk menentukan nasib sendiri secara jujur dan adil yang diikuti oleh para pihak berkepentingan serta referendum harus diawasi oleh dewan keamanan PBB untuk menjamin referendum tersebut berlangsung netral tanpa tekanan namun, pelaksanaan penentuan pendapat rakyat di Papua 14 Juli s/d 2 Agustus 1969 di Papua Barat sangat tidak demokratis, tidak jujur dan penuh intimidasi dan tekanan-tekanan kekuatan militer Indonesia.
Salah satu bukti adalah surat telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No. :TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: Penghadapi Referendum di IRBA tahun 1969 yang menyatakan:
“Menggiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organic maupun yang B/P-kan baik dari Angkatakan Darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini berlaku sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pandam 17/PANG OPSADAR.”
Dapat ditarik kesimpulan dalam artikel ini bahwa kita sebagai generasi muda penerus bangsa haruslah berpikir terbuka dan logis dalam segala hal, janganlah kita dibutakan dengan patriotisme yang berlebihan karena tentu segala hal yang berlebihan tentu tidak baik. Referendum Papua Barat 1969 tentu dapat dipertanyakan keabsahannya dalam praktik di lapangan. Pesan untuk di kemudian hari adalah semoga tidak terjadi lagi peristiwa seperti ini karena tentu setiap suara individu harusnya adalah suara tertinggi dibawah dari suara Tuhan.