Perjalanan Diga: Dari Kapal hingga Membangun Sekolah
Perjalanan Diga: Dari Kapal hingga Membangun Sekolah
Di sebuah desa terpencil yang terletak di ujung timur Indonesia, hidup seorang anak laki-laki yang penuh semangat, namanya Digantara, atau yang akrab dipanggil Diga. Diga adalah anak yang berpikiran terbuka dan memiliki keinginan kuat untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, di desa tempat ia tinggal, pemikiran tradisional masih sangat kuat, terutama mengenai peran gender dalam masyarakat.
Diga getir melihat bahwa di desanya, anak laki-laki dianggap hanya pantas menjadi pekerja kasar, sebagai nelayan dan kuli angkut barang di kapal lebih tepatnya. Sementara anak perempuan dianggap hanya cocok menjadi ibu rumah tangga yang tidak memiliki cita-cita lebih tinggi. Namun, Diga menolak untuk terperangkap dalam stereotip tersebut. Dia memimpikan masa depan yang berbeda, di mana semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengejar impian mereka.
Dalam upayanya untuk memperoleh pendidikan, Diga seringkali menyusup ke Kapal yang singgah di pelabuhan, sebagai tumpangannya ke kota. Namun, keberuntungan tidak menyertai Diga malam itu, persembunyian Diga diketahui oleh petugas kapal. Diga ditarik paksa keluar dan harus membayar biaya perjalanan dari desa ke kota. Diga bingung dan hanya bisa menangis, perjalanan dia untuk mencari ilmu di kota pada hari itu berubah menjadi petaka. Diga tidak memiliki uang, bahkan sebelum berangkat pun dia hanya mengisi perutnya dengan segelas air putih.
“Hey, Bocah. Kau ini tidak punya uang kenapa berani masuk kapal ini?”. “Mau jadi jagoan ya kau”. Teriakan cacian dan makian petugas kapal kepada Diga terdengar oleh seorang orang laki-laki berusia 30 tahun. Laki-laki itu menghampiri tempat asal keributan terjadi. “Anak sekecil itu tidak pantas kau marahi, biar dia jadi tanggung jawabku. Berapa biaya yang harus dibayar?”. Ujar laki-laki tersebut kepada petugas kapal. Tiga lembar uang seratus ribu rupiah ia berikan kepada petugas kapal, dan setelahnya Diga dibawa masuk dan duduk di tempat yang aman.
“Siapa namamu?”
“Diga, tuan. Namaku Diga”.
“Apa tujuanmu menyusup ke kapal? Kau hendak kemana?
“Saya hendak ke kota, mencari ilmu. Saya ingin menjadi guru”.
Mendengar ucapan tersebut laki-laki itu diam sejenak dan kemudian memperkenalkan dirinya. “Saya Sem, kamu bisa panggil saya Paman Sem”. Paman Sem sangat tersentuh dengan tujuan Diga ke kota untuk mencari ilmu, terlebih dia berani menyusup ke kapal demi cita-citanya. Paman Sem berkata kepada Diga bahwa ia akan memberikan tumpangan dan tempat tinggal di kota jika Diga mau membantunya mengurus toko materialnya. Tanpa berpikir panjang Diga mengiyakan tawaran paman Sem tersebut. Diga tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.
Sesampainya di kota, sesuai dengan kesepakatan Diga setiap hari membantu Paman Sem untuk menjaga toko material miliknya dan mencuri waktu untuk belajar. Melihat semangat dan perjuangan Diga, paman Sem membelikan buku-buku pelajaran untuk Diga. Selain itu paman Sem juga mendaftarkan Diga ke sekolah ternama di kota tersebut, agar Diga bisa meraih cita-citanya menjadi guru. Diga sangat berhutang budi kepada paman Sem. Sebagai bayarannya, Diga selalu berusaha untuk mendapat nilai yang tinggi dan berprestasi di sekolah agar Paman Sem bangga.
Bertahun-tahun dilewati oleh Diga, terkadang ia rindu dengan orang tua dan teman-temannya di desa, namun Diga bertekad untuk kembali ke desa ketika dia sudah menggapai cita-citanya. Semangat Diga makin membara ketika dia tahu bahwa dia terpilih mewakili universitasnya dalam program membangun sekolah gratis untuk masyarakat terpencil. Dia teringat dengan kejadian di kapal, perjuangan untuk bersekolah dan mendapat pendidikan bagi masyarakat terpencil tidak mudah, bahkan dia harus berani menyusup ke kapal dan akhirnya bertemu dengan malaikat berwujud paman Sem.
Tepat di hari kelulusannya, program membangun sekolah gratis itu diresmikan. Diga kembali ke desa tempat dia tinggal, dengan menaiki kapal yang sama tetapi dengan situasi dan nasib yang lebih baik. Sesampainya di desa, dia segera melepas rindu kepada orang tuanya. Rasa kehilangan yang dirasakan orang tua Diga berubah menjadi rasa bangga ketika tahu bahwa anaknya ternyata pergi ke kota untuk menuntut ilmu. Warga desa sangat terkejut melihat Diga, seorang anak kecil yang selalu berdebat dengan warga desa mengenai khayalan masa kecilnya itu sekarang kembali ke desa untuk membuktikan cita-citanya. Bahkan Diga pulang ke desa juga untuk melaksanakan program membangun sekolah gratis di desanya tersebut.
Semua warga desa turut bangga dan senang. Dengan usaha, kerja keras dan keberanian, Diga tidak hanya berhasil mewujudkan impian pribadinya saja, tetapi dia juga membawa perubahan yang besar bagi desanya. Sekolah gratis dan pengabdian Diga sebagai tenaga pengajar memberikan masa depan yang cerah bagi anak-anak di desa tersebut untuk mengenyam pendidikan yang layak.
Cerita ini mengajarkan kita akan kekuatan semangat dan tekad dalam mencapai impian. Dalam kesederhanaannya, Diga menyentuh hati dengan pesan bahwa pendidikan adalah hak yang patut dimiliki oleh setiap individu, tanpa memandang gender atau status sosial. Dengan pendidikan, semua orang memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri, baik di tengah keramaian perkotaan maupun dalam ketenangan desa terpencil.