Masa Kanak-kanak, Masa yang Menyenangkan
Masa Kanak-kanak, Masa yang Menyenangkan
Pernahkah kamu mendengar istilah ‘calistung’? Calistung merupakan singkatan dari baca, tulis, dan hitung. Ketika mendengar istilah ini, pasti yang muncul di benak kita adalah anak-anak dan juga sekolah. Lalu apakah ada yang salah dengan calistung? Hmm sebenarnya tidak, namun kita pasti sudah kerap kali mendengar sebuah peraturan yang mewajibkan seorang anak untuk bisa calistung. Khususnya bagi anak yang akan memasuki jenjang sekolah dasar, calistung menjadi tolak ukur penerimaan. Hal ini menyebabkan banyak penyimpangan pemikiran orang tua. Secara tidak langsung justru menuntut (memaksa) anak untuk mahir calistung pada usia dini (PAUD & TK) sebagai persiapan memasuki jenjang SD. Apa kalian setuju dengan fenomena seperti ini ? Kalau tidak, kenapa terobosan itu tak kunjung datang?
Berdasarkan beberapa penelitian yang ada, calistung sebenarnya tidak dianjurkan untuk diajarkan terlalu dini. Bukan tidak boleh diajarkan, namun pengajarannya harus dibuat lebih menyenangkan sesuai umur anak tersebut. Kenapa calistung tidak boleh dipaksakan pada anak usia dini? Penasaran tidak? Sebenarnya, calistung itu baik untuk meningkatkan kecerdasan anak. Eitss… ternyata konsep pemikiran kita selama ini keliru, loh! Jadi, pada dasarnya usia PAUD dan TK adalah usia emas. Secara kesiapan mental, kognitif, dan persiapan mereka belum siap untuk mempelajari calistung. Namun, karena adanya paksaan, hal ini menghasilkan dampak negatif yang tanpa kita sadari itu menjadi sesuatu hal yang menular ke bidang lainnya.
Saat kita mengajarkan anak TK operasi penjumlahan, seperti 2 + 2 = 4, mereka bisa mengerti. Namun, pengetahuan ini justru akan menjadi sekadar hapalan dan mereka tidak mengerti apa esensi yang ada dari belajar. Sama halnya dengan calistung, mungkin kita mengajarkan cara membaca. Tapi terlalu dini mengajarkan anak membaca bisa berdampak pada tidak tercapainya tujuan menjadikan mereka suka atau bahkan cinta membaca. Mengajarkan anak menulis terlalu dini juga tidak bisa menghasilkan anak yang pandai menulis (menghasilkan kualitas tulisan yang baik). Hal yang paling mengenaskan adalah anak yang dipaksa belajar terlalu dini bisa mengalami trauma dan merasa sekolah adalah hal yang tidak menyenangkan.
Salah satu dampak nyata yang dapat kita lihat dari hal yang sudah dipaparkan di atas adalah Indonesia berada pada tingkat literasi ranking ke 62 dari 72 negara. Hal ini berarti negara kita berada posisi yang rendah dalam literasi dibandingkan dengan negara lain. Data ini berdasarkan survei yang dilakukan Program International Student Assessment (PISA). Menyedihkan bukan mendengarnya? Bahkan tidak jarang kita mendengar bahwa masyarakat Indonesia rendah dalam budaya membaca.
Masih tega kah kita sebagai guru atau calon guru , orang tua/ calon orang tua untuk memaksakan sesuatu kepada anak – anak? Bahkan masih banyak saya jumpai di kehidupan sekitar saya, dimana anak diikutkan bimbingan belajar untuk semua mata pelajaran. Pada akhirnya hanya membuat mereka stress dan tidak bahagia. Kenapa kita tidak coba melihat dan belajar dari negara lain? Seperti contohnya Finlandia, mereka sangat menjunjung tinggi kesejahteraan anak pada saat sekolah juga belajar. Maka, anak-anak di negara itu tidak stress untuk bersekolah dan belajar. Bahkan mereka bisa menjadi yang terbaik sesuai bidang masing-masing.
Perlu kita ingat tidak ada anak bodoh, setiap anak memiliki keahlian dan kecerdasannya masing-masing. Jangan memaksakan setiap anak harus sama dengan anak yang lain. Jika bisa diilustrasikan maka ini seperti ilustrasi ikan dan monyet. Jangan memaksakan ikan untuk pandai memanjat pohon karena itu adalah keahlian monyet. Sama dengan seorang anak, jangan memaksa dia harus bisa matematika jika memang dia suka seni. Semua orang memiliki bagian masing – masing. Biarlah setiap anak memiliki hak untuk memilih dan menentukan apa yang mereka suka dan ingin dikembangkan. Terlebih daripada itu, yang terpenting, usia anak-anak adalah usia bermain. Jangan curi masa anak- anak mereka untuk kepentingan yang lain.
Namun, saya juga senang karena baru-baru ini kita mendengar kabar bahwa Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi kita yang dikenal sebagai Mas Nadiem Makariem menghapuskan peraturan calistung sebagai syarat memasuki SD. Dari sini saya melihat ada langkah-langkah menuju kesejahteraan anak-anak. Dimana mereka tidak dipaksa dalam belajar dan melakukan sesuatu sesuai umur mereka. Mari terus dukung agar kesejahteraan seluruh anak di dunia boleh terwujud. Mulai dari siapa? Mulai dari kita sebagai calon pendidik bahkan calon orang tua yang nantinya akan melahirkan generasi penerus bangsa. Biarlah masa kanak-kanak menjadi masa yang paling menyenangkan bukan menyeramkan.
Referensi:
Perpsutakaan Kemendagri. 21. Tingkat Literasi Indonesia di Dunia Rendah, Ranking 62 dari 70 Negara. Diakses pada tanggal 31 Mei 2023, melalui: https://perpustakaan.kemendagri.go.id/?p=4661