Manusia Merdeka

Manusia Merdeka

Hari kedua di bulan Mei membuka lembaran baru untuk pendidikan di Indonesia. Kelahiran seorang pahlawan pendidikan bernama Ki Hadjar Dewantara menjadikan tanggal 2 Mei sebagai hari sorak-sorai semua kalangan pendidikan. Tiada ucapan yang tidak dilontarkan  terkait Hari Pendidikan Nasional ini. Begitu pun kami, sebagai calon penggerak di bidang pendidikan turut merayakan hari ini sebagai hari bersuara dan harapan akan kenyataan yang semakin baik di umur baru. ‘Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar’ menggema di setiap kampanye melalui berbagai cara hari ini. Namun, merdeka sesungguhnya itu seperti apa? Apa benar pendidikan itu sangat diperlukan untuk menjadi manusia merdeka di era teknologi ini? Bagaimana iklim pendidikan di Indonesia?

Kami telah melakukan beberapa riset tentang pendidikan melalui guru di Jayapura, guru di Jawa Tengah, siswa kelas 6 SD, dan mahasiswa yang tidak terlibat di jurusan pendidikan. Semuanya sepakat bahwa iklim pendidikan di Indonesia masih terus berproses dan belum sesuai harapan. Menurut salah seorang guru, kurangnya sumber daya pendidik yang berkualitas, keterbatasan sarana prasarana di daerah-daerah terpencil, dan kurang kesadaran akan minat belajar di era globalisasi menjadi tanda bahwa ada kekosongan-kekosongan di dunia pendidikan ini. Teknologi seakan menjadi solusi untuk sumber informasi yang luar. Namun, kurangnya iringan edukasi dalam penggunaan teknologi membuat tumbuhnya budaya instan yang telah diadopsi oleh berbagai orang. Aksesibilitas informasi melalui teknologi membuat banyak orang yang jadi berpikir “Apa gunanya sekolah dan belajar?”. Padahal, proses belajar yang ada di sekolah yang menjadi dunia kita mempelajari berbagai hal. Hanya saja, hal ini harus didukung dengan motivasi terkait sekolah yang berupa wadah dan kita sebagai orang yang bisa bergerak bebas. Bukankah inilah arti merdeka sesungguhnya?

Merdeka dalam berpikir, merdeka dalam menentukan pilihan, dan merdeka menjadi apapun menjadi konteks utama tentang peran sekolah. Inovasi-inovasi harus diciptakan oleh guru karena guru juga harus bisa menarik siswa melalui warna kreativitasnya. Hal ini bisa kita gambarkan melalui cerita singkat tentang seorang anak SD.

Sehari-harinya ia menjalani sekolah sebagai formalitas semata, mengerjakan tugas sebagai alat ketuntasan, dan agar tidak menjelekkan nama keluarga. Dia merasa tidak ada yang menarik dari sekolah. Setiap sore, ia selalu pergi ke rumah kakek yang berada tak jauh dari rumahnya. Kadang mereka menonton, membaca bersama, memancing, ataupun ngobrol bersama. Ia merasa bisa mendapatkannya jika ada kakeknya. Hingga sore itu, kakeknya mengajukan sebuah pertanyaan yang dapat mengubah pikiran anak ini.

“Setiap pulang sekolah kamu ngapain aja?”. Tanya kakek sambil mengambil cangkir berisi kopi hitam dengan asapnya yang meluap mengeluarkan aroma Torabika.

“Ganti baju, mandi, makan, dan main, Kek,”. Ucapnya.

“Kalau sebelum sekolah ngapain?”. Lanjut kakek.

“Hmm sama juga, sih. Bedanya adalah aku nonton TV dulu kalau sempat,”.

Kakek mengulas senyum tipisnya. “Kalau kegiatan sebelum dan sesudah ke sekolah sama saja, bukankah bosan jika sesuatu yang bernama sekolah itu dihilangkan?”.

Anak itu tertawa singkat seakan meledek kenyataan ini. “Mana mungkin bosan. Aku bisa belajar di manapun kok tanpa adanya sekolah. Emang sekolah sepenting itu?”. Sarkasmenya justru semakin membuat kakek bersemangat membalasnya.

“Kamu tahu tidak kenapa ada hujan?”.

Si anak berpikir sebentar. “Hmmm karena adanya air yang menguap dan semuanya melalui siklus air,”.

“Wah, berarti kamu tahu! Kenapa kita tidak melayang-layang seperti di bulan?”. Seru kakek.

“Karena gravitasi lah, Kek!”.

“Nah, tahu itu semua dari mana?”. Tanya kakek.

“Sekolah,”. Jawabannya sangat tidak meyakinkan. Dia pun melanjutkannya.

“Namun, kan aku bisa mengetahuinya juga seiring terbukanya akses teknologi,”.

“Loh, kamu yakin kamu beneran mau tahu itu jika tidak bersekolah?”. Tanya kakek.

“Hmmm mungkin tidak juga sih,”. Ucap si anak sambil menggaruk kepalanya.

“Di situlah letaknya. Kenapa kamu tidak menjadikan sekolah sebagai tempat berpikir dan tempat menjadikan kamu manusia yang jadi tahu banyak hal? Banyak hal yang harus diketahui selagi kamu hidup ini. Tidak hanya sebatas cara bertahan hidup saja. Jika tidak ada sekolah, maka apakah kemauan kamu dalam mempelajari itu akan ada? Sekolah sudah menyediakan semuanya dan kamu bisa mengikutinya. Hanya saja, berpikir kritis dan terbuka sangat diperlukan di sekolah. Proses belajarlah yang akan mengajarkan kamu. Bukan nilai dan hasil yang didapatkan,”.

Si anak terdiam merenungi segala hal. “Hmmmm,”.

“Mungkin benar ada beberapa orang yang tidak bersekolah tapi sukses. Tapi berapa persen dari penduduk bumi, sih? Kamu mau menunggu takdir dan tak berusaha atau berusaha melalui jalur pendidikan?”.

Anak itu menyengir pelan. “Berusaha, Kek,”.

Si kakek pun mengelus puncak kepala anak ini. “Jadikanlah pendidikan dan sekolah sebagai eskalator menuju hidup yang lebih baik,”.

Pendidikan adalah mendidik. Guru adalah orang yang digugu dan ditiru. Sudah kewajiban pendidikan dan guru untuk memberikan hak-hak merdeka dalam belajar. Namun, apa ini sudah benar berlaku di daerah-daerah terpencil? Apakah kurikulum Merdeka yang sudah diadaptasi banyak sekolah menjadi jembatan kesetaraan akses? Apakah pintu inklusivitas di dunia pendidikan mulai mendapat titik terang?

Inklusivitas akan hadirnya anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler masih menjadi permasalahan. Padahal, anak-anak tersebut berhak untuk mendapatkan hak pendidikan yang setara. Namun, bukankah anak kembar aja terdapat perbedaan? Begitu pun dengan anak-anak berkebutuhan khusus yang sebaiknya diberikan perlakuan khusus juga. Lalu, kesetaraan akses juga masih dijangkau oleh orang-orang yang jauh dari perkotaan. Kesusahan dalam bersekolah, pembelajaran yang kurang efektif, dan mengejar ‘level’ menjadi hal-hal yang tertulis serta terpampang nyata di wajah sekolah tersebut. Sudah jelas inilah pekerjaan utama dari merdeka sesungguhnya.

Kurikulum Merdeka menyesuaikan daerah-daerah tersebut dan sekolah untuk mengontrol pembelajaran. Apakah kamu tahu bahwa setiap guru bebas merancang pembelajaran yang efektif dan tidak ada hal yang harus ‘wajib’ diikuti dalam penyebaran materi? Mudahnya, sekolah A memiliki murid-murid yang masih kesulitan dalam mempelajari Matematika tentang perkalian dan sekolah B sudah memasuki bagian pecahan. Tidak ada kewajiban bagi sekolah A untuk mengejar standar sekolah B. Hak merdeka akan mempelajari suatu hal secara mendalam dan waktu yang dibutuhkan ada di tangan guru. Ini juga dapat menjadi kunci menembus kesetaraan akses dan menutupi gap yang jelas antar sekolah. Tidak baik untuk menjadikan proses belajar sebagai perbandingan karena setiap orang pun memiliki proses yang berbeda-beda dan tujuan yang bervariatif juga.

Inovatif dalam berbagai hal sudah menjadi pekerjaan calon penggerak pendidikan untuk menjadi orang yang memberikan cahaya baru nantinya. Aku, kamu, dan kita memiliki suara masing-masing. Kita memiliki hak merdeka. Kita dapat mulai bergerak melalui hal-hal kecil dalam memerdekakan suara tentang pendidikan di media sosial karena tidak dipungkiri bahwa telinga dan mata media sosial menjadi yang paling cepat menyampaikan informasi. Generasi yang peka, berani, dan penggerak, itulah yang seharusnya menjadi misi kita sebagai generasi muda! Selamat Hari Pendidikan Nasional!

Ivonni Gozali