Ludruk

               

             Seni tak bisa lepas dari kehidupan manusia. Seni hadir sebagai media bagi masyarakat yang membutuhkan sebuah hiburan tatkala melepas penat akibat dari bekerja, beraktivitas, dan kegiatan yang. Seni memiliki banyak ragam jenisnya. Baik melalui seni lukisan, pahatan, kerajinan keramik, dan ukiran-ukiran yang indah. Seni tidak terbatas pada bentuk-bentuk benda sehari-hari saja, namun ada yang mengutamakan gerak fisik manusia sebagai medianya. Contohnya drama, musikalisasi puisi, pementasan pantomim, tari-tarian dan lain sebagainya. Yang akan dibahas pada artikel kali ini adalah seni yang berbentuk pementasan dan telah ada semenjak kemerdekaan yang lalu.

                  Ludruk adalah sebuah kesenian yang ada di Jawa Timur. Dari sanalah kesenian ini ada, tepatnya di kota Pahlawan yaitu Surabaya. Pementasan ini berjalan dengan sangat baik. Membawa nilai-nilai kehidupan masyarakat sehari-hari melalui berbagai macam profesi, seperti pedagang, penjual koran, ibu rumah tangga, pekerja kantoran hingga pejabat di pemerintahan. Pada awal berdirinya, Ludruk dikenal sebagai Ludruk Bandhan yang memulai pementasannya pada abad ke 12. Pada awalnya, pementasan ini menggunakan ilmu magis di dalam pementasannya dan biasanya sering diiringi oleh alat musik tradisonal seperti gamelan, gong, kecapi, dan kendang. Untuk pementasannya biasanya diadakan di tempat-tempat terbuka dan bisa dijangkau oleh masyarakat, seperti lapangan dan balai desa. Seiring berjalannya waktu, Ludruk ini berganti menjadi Ludruk Lira. Alasan dinamai Ludruk Lira karena diambil dari alat musik yang digunakan dalam pementasan yang bernama Lira, yaitu sejenis alat musik gesek yang mirip dengan biola.

            Sosok yang membawa Ludruk ke perubahan yang baru adalah Cak Durasim. Ia membawa Ludruk yang berasal dari Banyuwangi yang merantau ke Surabaya. Ia memberikan perubahan yang signifikan di dalamnya. Tetap dengan kehidupan masyarakat yang sederhana, namun kali ini ditambahi terhadap kritiknya kepada pemerintahan Jepang kala itu. Dari kritiknya tersebut Cak Durasim ditangkap dan dibunuh oleh tentara Jepang pada tahun 1944 akibat kritik yang disampaikannya dalam pementasan Ludruk tersebut.

            Ludruk tidak hanya sebagai media hiburan semata. Namun di dalamnya ingin menyampaikan sebuah pesan yang mendalam bagi yang menikmatinya. Ludruk yang dikenal sebagai hiburan dikala lelah, kini berubah menjadi suara aspirasi masyarakat kepada pemerintah yang berkuasa. Dengan bumbu komedi, menjadikan kesenian ini tak lekang oleh waktu hingga saat ini.

Benediktus Bagas