Pendidikan yang Sehat

Pendidikan yang sehat? Memangnya pendidikan bisa sakit? Ya, memang asing mungkin kedengarannya kalau menggunakan kata pendidikan sehat dan sakit. Kata tersebut muncul begitu saja di pikiran saya karena menurut saya itu adalah kata yang paling tepat untuk digunakan saat ini.

Lalu apa itu definisi dari pendidikan yang sehat? Pendidikan yang sehat sendiri adalah pendidikan yang mendidik setiap insan manusia dengan memperhatikan semua aspeknya yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotor dengan porsi yang sama. Kognitif berbicara tentang proses berpikir untuk memperoleh pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisa, memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Afektif berkaitan dengan sikap dan nilai seperti perasaan, minat, emosi, dan nilai. Psikomotor mengarah pada aktivitas fisik yang berhubungan dengan hal motorik, seperti menulis, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin. Yang ingin saya tekankan dari ketiga aspek tersebut adalah harus diberikan “dengan porsi yang sama”, karena ketiga aspek tersebut memiliki peran yang sama pentingnya dalam menciptakan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Jika hanya berat di satu atau beberapa aspek saja, maka bisa disebut sebagai pendidikan yang “sakit”, karena potensi yang ada di dalam setiap anak tidak dapat digali secara maksimal dan akan berujung pada dampak yang fatal.

Di negara kita, sebagian besar dari hasil pendidikan yang kita rasakan sampai saat ini adalah pengaruh pendidikan yang “sakit”. Sakit karena ketiga aspek tidak diberikan secara seimbang, hanya salah satu aspek saja yang di anggap penting, yaitu kognitif. Seakan akan dua aspek lainnya hanya sebagai pelengkap. Murid dipaksa untuk menghafal miliaran kata-kata tanpa memahami apa artinya, juga menghafal berjuta rumus tanpa tau cara menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Alhasil sejumlah individu akan tumbuh menjadi semacam orang yang ahli dalam memanajeri sebuah perusahaan tetapi tidak tahu caranya antre, orang yang ahli dalam merancang sebuah bangunan megah tapi tidak tahu caranya memberi salam, dan yang lebih parah lagi menjadi orang yang katanya siap mewakili rakyat tapi malah merampas hak rakyat. Ya, begitulah kurang lebih karakter penduduk negara kita yang terkena pendidikan yang “sakit”.

Namun, kini negara kita sudah mulai berbenah diri. Perbaikkan pendidikan ke arah yang “sehat” sudah mulai terlihat dari dirancangnya kurikulum baru yang lebih adil dalam menerapkan ketiga aspek. Salah satunya perubahan dalam aspek penilaian. Langkah ini menurut saya adalah sebuah langkah yang sangat tepat. Mengingat pendidikan bisa dikatakan sebagai fondasi utama untuk melahirkan generasi-generasi bangsa yang dapat diandalkan. Namun, perubahan ke arah yang baik ini tidak semerta merta bisa dilakukan secara instan, tetapi harus melewati persiapan-persiapan yang benar-benar matang dan menyeluruh sebelum akhirnya bisa digeneralisasikan. Terkadang, ada hal-hal yang terkesan tidak penting namun terlupakan, salah satunya adalah cara pandang masyarakat kita mengenai pendidikan yang baik dan “sehat”. Tentu akan ironi jika pandangan masyarakat kita masih melekat pada pendidikan sebelumnya yang menganggap pendidikan yang baik itu harus mengutamakan aspek kognitif. Contohnya datang ke sekolah dengan seragam rapih, duduk tertib mendengarkan ceramah dari guru, dan mengerjakan tugas, aktivitas tersebut berlangsung seperti itu setiap hari hingga ketika saatnya ujian, anak harus menghafalkan sejumlah definisi dan ciri-ciri dari suatu topik yang mungkin mereka sendiri belum pahami arti dan tujuannya.

Kira-kira dua bulan yang lalu, dengan penuh rasa syukur saya diberikan kesempatan untuk memberikan bimbingan les kepada dua orang anak yang masih berjalan hingga sekarang., Mereka adalah kakak beradik, yang laki-laki sekarang berada dikelas 4 SD, sedangkan adiknya perempuan di kelas 3 SD. Mereka baru saja pindah dari sebuah sekolah swasta ternama di kawasan Serpong (kita sebut  sekolah A) ke sekolah ternama di Kota Jakarta (sekolah B). Pada pertemuan pertama saya datang mengajar, saya dibuat tertegun oleh banyak hal, yang pertama adalah betapa super besar dan mewah rumah mereka, lalu saya juga kagum dengan karakter dan kepribadian penghuninya, terlihat jelas dari cara mereka menyambut kedatangan saya bahwa mereka merupakan keluarga yang sangat terdidik, kedua anaknya pun adalah anak yang cerdas, punya kemauan untuk belajar tidak seperti anak lain pada umumnya, perilakunya sopan dan juga mandiri meskipun hidup di lingkungan serba mewah.

Orangtua mereka menugaskan saya untuk membantu kedua anaknya dalam menyesuaikan cara belajar di sekolah yang baru. Dari sini saya mulai penasaran dengan kata “penyesuaian cara belajar”. Lalu saya mulai bertanya memangnya apakah ada perbedaan cara belajar saat di sekolah yang lama. Ibunya pun menjelaskan, bahwa ia memutuskan untuk memindahkan putra-putrinya ke sekolah B karena beberapa alasan. Yang cukup membuat saya kaget adalah ia merasa kalau di sekolah A, anak-anaknya tidak mendapat pendidikan yang cukup, setiap hari anak lebih banyak melakukan aktivitas langsung seperti bereksperimen, melakukan diskusi, dan tanya jawab. Kegiatan-kegiatan tersebut dianggap kurang bermanfaat dibandingkan dengan sekolah konvensional. Sehingga ia memutuskan untuk memindahkan kedua anaknya ke sekolah yang bersifat konvensional, seperti yang saya sebutkan tadi ; datang ke sekolah dengan seragam rapih, duduk tertib memperhatikan ceramah dari guru dan sebagainya.

Saat mendengar penjelasan tersebut, perasaan saya bercampur bingung, sedih, dan tidak menyangka bahwa hal tersebut lah yang menjadi alasan perpindahan sekolah putra-putrinya. Selama ini saya menganggap kalau orang-orang yang dibesarkan dengan pendidikan yang baik akan memiliki pandangan terhadap pendidikan yang lebih baik pula. Namun ternyata itu hanyalah pemikiran saya semata. Ingin rasanya mengemukakan pendapat, namun apa daya saya hanyalah seorang guru les, tidak memiliki hak untuk mengomentari keputusan yang di ambil oleh orang tua dari kedua anak tersebut.

Pengalaman saya membuktikan bahwa masih ada pandangan-pandangan yang keliru mengenai pendidikan yang sehat, terlepas dari latar belakang sosial, status ekonomi, dan lainnya. Dan hal tersebut dapat menjadi penghalang bagi kemajuan sektor pendidikan yang saat ini sedang dibenahi oleh negara kita. Maka saya rasa hal ini perlu diberikan perhatian khusus, meskipun terlihat sepele namun pada kenyataannya akan dapat menghambat tujuan dari pendidikan yang sehat yaitu pemerataan tiga aspek (afektif, kognitif, dan psikomotor).

Pada akhirnya, saat ini bangsa kita sangat membutuhkan perubahan habis-habisan dalam bidang pendidikan yaitu dengan mewujudkan pendidikan yang sehat. Namun dalam perwujudannya harus melalui tahap-tahap yang tidak mudah. Kita harus memperhatikan setiap detail dari tahap-tahap tersebut termasuk memperbaiki cara pandang masyarakat mengenai pendidikan. Dengan memperhatikan setiap tahapnya dengan rinci dan mendalam maka pendidikan yang sehat akan semakin mudah terwujud.

Gracia Katarina C