Media Dalam Genggaman

Serial televisi berjudul Black Mirror yang ditayangkan oleh Netflix memiliki banyak respon positif dari berbagai kalangan. Mendapatkan rating 96% dari website kritik ternama, yaitu rottentomatoes, Black Mirror berhasil menyadarkan banyak orang tentang betapa gelapnya teknologi zaman sekarang. Seperti yang kita tahu, Serial tersebut merupakan serial yang unik, dimana semua episode memiliki latar waktu, tempat, dan karakter utama yang berbeda-beda. Di setiap episode Black Mirror, terdapat makna sendiri yang sebenarnya memiliki benang merah yang terhubung setiap episode-nya. Dengan perpaduan drama, science-fiction, dan thriller, serial televisi Black Mirror berhasil memikat hati orang-orang yang menonton serial tv tersebut.

Salah satu episode Black Mirror menceritakan tentang penculikan putri kerajaan, Susannah, yang berusaha ditutupi dari publik. Hal ini dikarenakan syarat pembebasan Susannah yang mengharuskan, Michael Callow, Perdana Menteri di negara tersebut, untuk melakukan hal yang tidak lazim bersama seekor babi. Namun, upaya negara untuk menutupi kasus ini dari publik ini dapat dikatakan gagal total. Hal ini dikarenakan video persyaratan tersebut sudah menyebar luas di semua kalangan masyarakat. Sebetulnya, negara sendiri sudah berupaya dan berhasil menghapus video tersebut. Namun, warga sudah terlanjur mengunggah video tersebut, sehingga video tersebut tidak benar-benar menghilang, bahkan menyebar semakin menjadi-jadi.

Hal ini dapat dikatakan sebagai media baru. Media baru, atau “new media” menurut Terry Flew merupakan sebuah terminologi untuk menjelaskan konvergensi antara teknologi komunikasi digital yang terkomputerisasi serta terhubung ke dalam jaringan. Dari pengertian tersebut, dapat kita simpulkan bahwa segala perangkat yang berkaitan dengan teknologi internet, yakni alat komunikasi jarak jauh (telepon genggam) dan media online termasuk dari media baru. Media baru ini sendiri, secara tidak langsung menggabungkan jenis ragam media yang dulunya terpisah-pisah, yang diantaranya adalah media interpersonal (telepon rumah), media kelompok (video conference), dan media massa (tv, radio, dan film). Dewasa ini, sulit untuk memisahkan wajah-wajah teknologi tersebut. Salah satu wujud penggabungan teknologi tersebut dapat dilihat dari smartphone (telepon pintar), yang memiliki banyak aplikasi didalamnya. Di dalam telepon pintar yang kita biasa genggam, terdapat aplikasi-aplikasi, yang salah satunya merupakan media sosial, yang mampu berfungsi sebagai media interpersonal, media kelompok, maupun media massa dengan waktu yang bersamaan. Media sosial sekarang sudah menjadi sumber utama untuk mendapatkan informasi terkini sekaligus menjadi wadah untuk berkomunikasi dengan orang lain. Peran media sosial ini sudah menjadi penting bagi masyarakat zaman sekarang.

Saat seseorang mendapatkan sebuah informasi mengenai suatu fenomena, mereka akan menganggap bahwa informasi tersebut bersifat fakta. Entah mengenai keadaan sosial, selebriti, hingga fakta-fakta mengejutkan mengenai sebuah fenomena yang ada. Hal yang harus diketahui adalah bagaimana bukan hanya mengakses, tapi kita juga diberi fasilitas untuk memberikan sebuah informasi pula. Hal ini yang berujung kepada hoax. Hoax atau berita palsu menurut Curtis D. MacDougall merupakan informasi yang tidak benar tetapi dibuat seolah-olah benar. Dengan media yang sekarang dapat diakses kapan saja dan dimana saja, berita hoax tersebut dapat tersebar dengan mudah dan cepat, sehingga orang-orang yang mengakses akan dengan mudah membaca berita tersebut. Hal ini menimbulkan kesalah pahaman dan memicu konflik, dikarenakan informasi yang mereka dapatkan sangat berbeda dengan realita yang sebenarnya. Dari hoax tersebut, akan muncul pendapat dan yang pastinya berbeda dari kenyataan, yang menyebabkan akan semakin banyak orang yang percaya akan berita tersebut. Hal itu menggambarkan bahwa media massa maupun media baru yang disalahgunakan justru akan membuat orang-orang tidak mendapatkan informasi yang menambah wawasan mereka. Informasi yang mereka dapatkan justru menutupkan mata hati mereka tentang kenyataan yang terjadi.

Selain informasi mengenai fenomena yang sedang terjadi, kita juga dapat mengonsumsi iklan-iklan yang sekarang sudah terpajang secara bebas di dalam media. Dengan media, advertisement dengan mudah dapat ditampilkan dan dibaca oleh semua orang yang mengakses internet. Hal ini tentunya menguntungkan brand yang mempromosikan produk mereka, karena iklan yang dibuat oleh mereka dengan media lebih mengundang banyak pembeli atau pelanggan. Namun, justru dari situ timbul permasalahan baru. Mereka terkadang memanfaatkan media baru yang terbilang instant dan user friendly (dapat digunakan dan diakses oleh siapa saja) untuk melebih-lebihkan produk yang mereka promosikan. Dengan begitu, orang-orang akan berekspektasi lebih mengenai produk yang diiklankan, dan cenderung akan kecewa karena produk tersebut tidak sesuai dengan realita atau produk yang sebenarnya. Lebih parahnya lagi, media baru yang sangat user friendly ini membuat persaingan antar brand semakin berat. Hal ini memicu timbulnya ‘kampanye hitam’ antara satu brand dengan brand lain, yang kembali menyebabkan terjadinya hoax atau berita palsu mengenai produk yang dijatuhkan. Masyarakat sendiri pun pada akhirnya tidak akan tahu mana produk yang benar-benar berkualitas dan mana produk yang hanya menang dari sisi advertising atau periklanan.

Seperti yang sudah dikatakan, media sudah dapat diakses dimanapun kita berada dan kapan kita mengaksesnya. Dimanapun, kapanpun, dengan siapapun, informasi didapatkan dengan mudah. Bukan hanya mengenai sebuah fenomena, namun pula mengenai seseorang. Informasi mengenai film apa yang mereka tonton, apa yang mereka tulis, hingga apa yang mereka sedang lakukan, dapat dengan mudah diakses oleh siapa saja. Rasa penasaran seseorang mengenai orang lain sepertinya sudah tidak lazim, karena hanya dengan sekali klik, informasi mengenai orang tersebut dapat terlihat dengan jelas. Kini, kencan pertama bukan lagi bertanya mengenai kegemaran, namun bertanya tentang mengapa menyukai hal tersebut. Bisa menjadi hal yang baik atau hal yang buruk. Baik, karena kita dapat dengan mudah memikat seseorang, seolah-olah mengerti tentang mereka. Buruk, karena kita akan berbuat apa saja agar tidak terlihat sedang berpura-pura didepan mereka. Hingga lupa dengan diri kita yang sesungguhnya.

Selain berdampak kepada informasi, media baru sendiri juga berefek kepada cara bersosialisasi dengan orang banyak. Dengan informasi yang sudah bisa diakses kapanpun dan dimanapun, akan memicu sifat konsumtif masyarakat. Kini, berkumpul bersama teman, keluarga, maupun sahabat, tidak lagi berisikan canda tawa, waktu berkualitas bersama sahabat-sahabat terdekat kita, namun berisikan smartphone yang dimainkan masing-masing individu tanpa kenal waktu. Entah untuk bermain bersama orang-orang yang berada diluar, entah mengakses informasi-informasi baru, atau sedang membentuk profil mereka di media sosial, agar terlihat menarik dan menawan. Media baru yang sekarang sudah semakin simple dan mudah diakses kapanpun, dimanapun, dan dengan siapapun, memang mendekatkan orang-orang yang jauh. Mereka yang memiliki pemikiran yang sama dapat dengan mudah bertemu secara virtual, membagikan ide-ide dan pemikiran mereka secara kritis. Namun, tanpa sadar – membuat mereka yang dekat menjadi jauh. Diam, tanpa suara dan tanpa kata. Padahal sedang berada di tempat yang sama. Padahal tepat berada di sebelah, di seberang.

Keberadaan media baru yang sangat mempermudah kita berkomunikasi, meng-akses informasi baru dengan sekali click memang sangat menguntungkan manusia sekitar. Namun, media baru juga bisa menjadi ancaman. Bagaimana tidak? Semua orang sudah percaya dengan media baru. Semua informasi yang ada di dalam media sosial dipercaya begitu saja, tidak tahu apakah itu nyata atau tidak. Media baru sendiri juga sudah menjadi adiksi, sehingga orang-orang justru tidak dapat hidup tanpa ada keberadaan smartphone yang merupakan salah satu dari media baru tersebut. Keberadaan media baru sendiri sebenarnya harus dijaga, dibatasi, dan tidak diakses secara berlebihan. Hal ini dikarenakan penggunaan yang berlebihan dapat memunculkan banyak berita palsu, yang pada akhirnya memicu konflik dan pertikaian. Orang-orang juga tidak akan peduli lagi dengan dunia sekitar. Yang mereka pedulikan hanyalah diri mereka di dunia maya melalui media sosial. Mereka juga hanya percaya dengan apa yang dikatakan oleh internet yang merupakan salah satu dari media baru yang diakses kapanpun dan dimanapun. Mereka, yang tidak pernah puas, harus menggali kembali informasi-informasi baru. Karena terlalu lelah menggali, pada akhirnya mereka akan mengarang sebuah informasi, seolah-olah merupakan informasi yang paling benar. Pertanyaan selanjutnya adalah, akankah media massa akan terus dimanfaatkan seperti ini? Akankah kita tersadar bahwa dengan dimudahkannya akses informasi, kita harus lebih waspada? Bukannya seharusnya, kita lebih tenang?