BANK VS TEKFIN

BANK VS TEKFIN

Source Gambar : https://www.kompasiana.com/otnana/5aa732cc5e137369120a35f2/bank-vs-tekfin#&gid=1&pid=1

Tahun 1998 lalu industri perbankan Indonesia diselamatkan dengan menguras kekayaan negara setara lebih dari 650 triliun. Tanpa penyelamatan itu kepercayaan publik dan global kepada NKRI akan runtuh. Perbankan saat itu keropos karena dibebani kredit macet dan krisis likuiditas kemudian berimbas menjadi krisis ekonomi. Perbankan dikonsolidasi dari 250an terus menyusut menjadi 115 saat ini.

Dalam krisis 1998 terbukti sektor informal tetap hidup. Sektor itu diperkirakan mencakup 65% dari tenaga kerja (Sakernas BPS). Tetapi jauh setelah krisis penyaluran kredit kategori UMKM masih berkisar 18% dari kredit perbankan (2016) yaitu sebesar Rp 802 T. Jumlah itu masih dipandang rendah. Fungsi intermediasi bank ke sektor ekonomi lemah sangat kurang. Muncul pertanyaan apakah bank kurang berminat terhadap sektor itu.

Sementara itu bank memperoleh spread  sukubunga yang tinggi dalam waktu yang lama. NIM perbankan Indonesia tertinggi di ASEAN sekitar 5,3% yang oleh regulator dibilang akan diusahakan menjadi 3-4%. Bank juga dibilang belum efisien, masih dibebani BOPO 82%. Maka sukubunga satu digit menjadi isu.

Kritik terhadap bank yang tidak ‘pro usaha kecil-menengah’ seolah mendapatkan jawaban dari disrupsi digital yang berpotensi mengubah ekonomi. Bank selama ini tidak bisa hidup tanpa Teknologi Informasi Komunikasi (TIK). Sistem utama Bank dibantu oleh perangkat keras dan perangkat lunak secara masif. Saluran distribusinya juga.

Sistem inti bank yang digunakan selama ini kaku, sulit untuk diubah tanpa biaya yang besar. Jadinya TIK yang lebih gesit dan berkembang pesat menjadi ancaman jasa bank. Pesaing tidak diduga datangnya dari raksasa seperti Google, Amazon, Facebook, Apple dan Microsoft (GAFAM) yang disebut juga bigtech  yang mempunyai kemampuan perbankan. 

Kemampuan itu terutama dalam fungsi retil dalam pembayaran dan setlemen. Mereka bisa menjalin hubungan dengan nasabahnya tanpa melalui bank. Fungsi intermediasi bank dipotong. Jadi pertarungan bank dengan tekfin berada pada pemenangan menarik nasabah (customer relationship). Sasaran Tekfin beririsan dengan bank yaitu diperkirakan 70% menyasar segmen individu dan SME (Citigroup 2016).

Contoh kecil saja, orang menaruh uang di sistem GoJek dan bertransaksi dengan GoJek. Jadi bank tidak digunakan lagi.

Tekfin versi sebelumnya berkisar di ranah komunikasi dan pemrosesan transaksi. Sekarang ini yang versi 3.0 (2008) sudah berubah ujud menjadi start up produk dan jasa keuangan ke publik.

Menurut Bank Indonesia ada empat kategori utama Tekfin yaitu (1) pembayaran, kliring, setlemen; (2) tabungan, pinjaman dan kebutuhan permodalan; (3) market provisioning; serta (4) investasi dan manajemen risiko. Pangsa aktivitas Tekfin di Indonesia pada tahun 2016 didominasi sebesar 56% oleh kelompok pertama. Kemudian, berdasarkan data Statista, pada tahun 2016 nilai transaksi Tekfin di Indonesia diperkirakan telah menembus angka USD 14,5 Miliar. Wow!

Dari jenis Tekfin kategori pertama itu OJK mengatur penyelenggaranya antara lain wajib menyediakan escrow accountdan virtual accountdi perbankan serta menempatkan data centerdi dalam negeri. Guna melindungi kepentingan stabilitas sistem keuangan nasional, jumlah pinjaman dibatasi maksimal Rp2.000.000.000,- dalam mata uang Rupiah. Hingga Januari 2016, Asosiasi Tekfin Indonesia mencatat pelaku start-up Financial Technology (Tekfin) domestik yang beroperasi di Indonesia telah mencapai 165 perusahaan, atau tumbuh hampir mencapai 4 (empat) kali lipat dibanding Q4-2014 sebanyak 40 perusahaan.

Pesaing bank saat ini terdiri dari Telco, Tekfin dan start-up. Uang–elektronik tidak menjadi monopoli bank tetapi bisa dijalankan oleh telco seperti Tcash (Telkomsel), Paypro (Indosat). Total sudah ada 25 uang-elektronik yang pegang ijin dari BI, 11 di antaranya bank.

Bank sepertinya perlu menyadari fungsinya sebagai intermediasi keuangan yang masih punya pasar yang belum kenal bank (unbank). Kenya dan India misalnya memperoleh manfaat dari TIK untuk inklusi keuangan bagi masyarakat yang tidak bisa dilayani jaringan perbankan. Maka potensi bank dalam inklusi keuangan yang selama ini kurang dilirik menjadi penting dengan munculnya tekfin.

Generasi milenial sebagai nasabah Bank merasakan pelayanan dan produk Bank tidak ada bedanya. Ketika mereka bisa akses ke internet, maka Bank tidak dibutuhkan lagi. Untuk menjangkau lebih luas ke generasi milenial maka diperlukan strategi yang berbeda. Kemungkinan akan terjadi pembagian: bank yang menguasai proses back end, sedangkan tekfin menguasai front end. Fenomena tekfin yang melakukan jenis usaha mirip bank mendorong regulator AS mempertimbangkan tekfin mendapatkan lisensi, special bank charter-(Bloomberg 16 Mar 2017).

Ke depan TIK akan menguasai kehidupan. TIK akan membuat fungsi pembayaran dapat lebih murah Singapura mencanangkan diri menjadi masyarakat pembayaran elektronik untuk mengurangi pembayaran tunai dan cek. Ternyata tanpa e-payment, biaya yang ditanggung negara dihitung setahunnya $ 2 milyar (2016). Besar, karena itu 0,5% GDP. Ambisi negara itu sangat besar, rakyatnya didorong habis untuk mempunyai kompetensi TIK. China sudah lebih dulu maju. Rakyat yang melek TIK di sana mungkin paling tinggi di dunia.

Majalah The Economist melalui laporan Intelligent Unit 2015 mengatakan, pemenang “perang” bank vs tekfin adalah nasabah yang mendapatkan harga lebih murah, produk inovatif dan pelayanan yang lebih baik. Tekfin juga berjubel jumlahnya menarik perhatian dari pengguna ponsel dan internet. Seleksi alam akan memunculkan pesaing bank yang sebenarnya. Meskipun demikian pesaing sudah di depan mata.

Source : https://www.kompasiana.com/otnana/bank-vs-tekfin_5aa732cc5e137369120a35f2