Media Sosial sebagai Sumbu Ledak Konflik Sosial

Media Sosial sebagai Sumbu Ledak Konflik Sosial

Source Gambar : https://galiharibismo.files.wordpress.com/2017/09/socialmedia.jpg?w=816

Informasi yang viral di sosmed, tidak jarang menjadi konflik di dunia nyata.

Masih hangat dalam ingatan kita soal kasus Meilina di Tanjung Balai, Sumut. Penghancuran vihara dan latensi konflik etnis menjalar via medsos ke dunia nyata.

Begitupun beberapa kali tragedi penghalangan deklarasi #2019GantiPresiden yang menjadi keprihatinan beberapa pihak.

Semua orang kini seolah mudah disulut emosinya via medsos. Karena sifatnya yang begitu personal dan real time. Ditambah isu SARA dan partisan yang begitu banal menyusup.

Orang dengan akun Twitter-nya sanggup mengompori satu tagar agar menjadi trending. Atau dengan akun Facebook-nya mudah saja men-share/like/komen posting agar terus ‘tersundul’ di linimasa.

Konflik horizontal di masyakarat pun terbentuk. Disinformasi penculikan di India via WhatsApp memakan puluhan nyawa. Konflik bernuansa agama di Myanmar menyebar luas berkat Facebook. Gerakan anti vaksin jaundice via pesan WhatsApp bodong membuat was-was pemerintah Brasil. Peristiwa Tahrir Square 2011 di Mesir yang didukung tagar Twitter mampu menggerakkan massa yang masif.

Jika dahulu isu sosial didapat via koran/selebaran/poster yang memakan waktu cukup lama. Ditambah pengorganisasian massa yang birokratif dan rumit.

Kini semua itu disingkat dengan sosial media. Batas ruang dan waktu tiada lagi menjadi penghalang sebuah isu menjadi sebuah gerakan massa.

Cukup me-mention akun para pejabat via Twitter dengan sebuah foto peristiwa sosial. Akan segera muncul tindakan mengatasi tragedi tersebut.

Tulis narasi dramatis plus foto dalam posting Facebook. Akan banyak akun yang mengerubungi agar posting tadi viral.

Rekam saja video 15 detik dan unggah di Instagram menyoal polah merugikan satu oknum. Lalu tunggu sampai beritanya menjadi sorotan televisi.

Tak ayal, selain medsos sebagai wahana sosialisasi publik. Sosmed pun menjadi katarsis konflik sosial yang terakumulasi lama atau yang terkait SARA dan partisan.

Akun-akun anonim bisa saja menyulut isu sensitif. Didukung buzzer bayaran yang bekerja karena nominal semata. Gesekan masyarakat di dunia nyata bisa terjadi.

Lihat saja isu-isu PKI yang tiada habis dan terus dimodifikasi. Atau isu-isu warga negara asing yang berkomplot menguasai negri ini.

Isu-isu lama yang kian kemari menjadi sebuah teori konspirasi tersendiri. Dan teori konspirasi akan selalu berisi dramatisasi dan kerahasiaan. Elemen yang menarik untuk dibaca, tapi tidak untuk dicerna.

Dan kini di dalam medsos, semua opini, teori konspirasi, kepentingan politik dan ekonomi berkelindan. Tiada yang benar benar-benar di medsos.

Yang ada hanya benar karena saya anggap benar. Dan kebenaran kolektif seperti ini jika ditangkup filter bubble sosmed bisa berbahaya.

Dari grup WhatsApp keluarga dibagi ke grup warga. Lalu chat di-capture dan di-share Facebook/Twitter. Posting menjadi viral. Walau posting bisa saja hoaks/rekayasa.

Solusi kuratif seperti penindakan dan perundangan siber memang sudah dijalankan pemerintah.

Tapi tindakan kuratif tanpa preventif akan menjadi hal percuma.

Pendidikan digital menjadi salah satu kunci solutif saat ini. Karena toh akan selalu ada man behind the gun dalam dinamika konflik

Orang tersebut harus memahami seluk beluk dunia maya dan dampaknya. Dan orang tersebut adalah generasi kita.

Kiranya tidak akan kurang isu yang ingin disulut via sosmed saat ini atau nanti.

Tinggal kini bagaimana benteng edukasi media dan digital kita bertahan dalam gelombang konflik via sosmed.

Source : https://www.kompasiana.com/girilu/5b84f209bde5751bf028c004/media-sosial-sebagai-sumbu-ledak-konflik-sosial