MENGENAL GOJIRA, MONSTER YANG MENGIKUTI ZAMAN
https;//www.flickeringmyth.com/wp-content/uploads/2016/05/Godzilla-eras-header.png
Saat mendengar kata Godzilla, banyak orang yang mengenal sosok atau setidaknya pernah mendengar nama tersebut. Godzilla sendiri adalah nama yang diadaptasi dari nama Gojira oleh Amerika yang membuat ulang film tersebut. Gojira sendiri adalah gabungan dari nama hewan dalam bahasa Jepang, yaitu Gorira (gorilla) dan Kujira (ikan paus).
Gojira telah banyak dibuat penerus maupun dibuat ulang. Seri film gojira dapat dikategorikan menjadi 3 periode, yaitu showa period, heisei period, dan millennium period, dua era pertama mengikuti masa berkuasa kekaisaran Jepang. Film remake yang paling baru dari Gojira , sekaligus menjadi film ke-29 dari franchise gojira, adalah Shin Gojira (2016) yang digarap oleh Sutradara Hideaki Anno yang adalah sutradara terkenal dari seri anime Neon Genesis Evangelion (1995) yang juga memiliki elemen monster raksasa.
Pada film Gojira, monster Gojira telah diceritakan dengan banyak penggambaran. Pada satu sisi Gojira dapat menjadi antagonis, pada satu waktu ia dapat menjadi pahlawan yang mengalahkan monster lain yang menjadi ancaman. Selain itu, Gojira juga mencerminkan kondisi social politik yang terjadi saat pembuatannya.
Kelahiran Gojira
https://the-artifice.com/wp-content/uploads/2012/11/gozilla.jpg
Gojira pertama kali diproduksi di Jepang pada tahun 1954. Gojira sendiri merupakan film dengan genre monster raksasa yang juga dikenal sebagai genre Kaiju di Jepang, di mana genre tersebut bila dilacak awalnya adalah film King Kong yang diproduksi di tahun 1933. Pada tahun 1950-an juga diproduksi film yang juga memiliki monster raksasa, seperti The Beast from 20,000 Fathoms (1953). Ia mengisahkan monster raksasa yang bangkit akibat tes nuklir di Antartika. Setahun kemudian, ada film Them! (1954), menghadirkan semut raksasa yang meneror manusia.
Film Gojira yang pertama digarap oleh Ishiro Honda, ia pernah mengikuti perang dunia II untuk daerah Cina dan pernah menjadi tahanan perang di sana, setelah kembali ia sempat melihat kota Nagasaki yang telah hancur. Dia memulai karier filmnya setelah kembali dengan bekerja sebagai asisten sutradara dari salah satu sutradara legendaris Jepang Akira Kurosawa. Setelah populernya film The Beast from 20,000 Fathoms (1953), Honda melihat kesempatan untuk membuat film tentang dampak kerusakan oleh senjata nuklir semasa perang yaitu, Gojira makhluk raksasa yang dibangkitkan oleh ledakan nuklir. Beberapa menganggap Gojira dilahirkan oleh radiasi nuklir, tapi sebenarnya Gojira adalah makhluk yang dibangkitkan oleh bom nuklir, beberapa film bahkan menceritakannya sebagai makhluk yang mengkonsumsi energi nuklir.
Gojira (1954) adalah bagian dari periode dari seri film Gojira yang disebut era Showa. Sebagai film yang pertama, ia menjadi dasar cerita film-film setelahnya. Semua film era Showa adalah kelanjutan dari cerita Gojira yang pertama, walaupun tidak terhubung satu sama lain dengan film penerusnya.
Melihat tahun produksinya, kita dapat melihat bahwa Gojira ditayangkan 9 tahun setelah kekalahan Jepang di 1945 beserta kota kehancuran Hiroshima dan Nagasaki oleh bom Nuklir Amerika. Selain itu ada ketegangan perang nuklir dan ketegangan blok Timur dan Barat yang lebih dikenal sebagai Perang Dingin. Selain itu di ada juga kasus “Lucky Dragon 5” pada 1 Maret 1954, di mana ada kapal nelayan yang terkena radiasi saat percobaan nuklir bom hidrogen oleh Amerika Serikat dilakukan di Bikini Atolli, kepulauan Marshall, peristiwa ini terjadi karena kesalahan kalkulasi terhadap radius ledakan bom, kapal nelayan bernama Daigo Fukuryu Maru yang sedang menangkap ikan di luar daerah bahaya yang diinstuksikan oleh Amerika, tetapi ledakan yang terjadi lebih besar, 23 kru kapal itu terkena radiasi, dan memakan satu korban jiwa, Aikichi Kuboyama yang merupakan operator radio. Maka banyak yang menganggap Film Gojira merupakan perwujudan dari ketakutan Jepang oleh perang Nuklir dan sebagai pengingat akan bahayanya teknologi nuklir.
Beberapa kejadian nyata yang terjadi di Jepang diadaptasikan ke film. Salah satunya di adegan film, di mana gojira muncul di laut saat sebuah kapal melewatinya, kemudian disertai ledakan sebelum gojira keluar dari laut. Jurus andalan Gojira, yaitu Atomic Breath (nafas atom) yang sering digunakan untuk menyerang, sering kali dapat membakar sebagian besar kota yang diserang, gambar kota yang dilahap api membuat orang teringat akan dampak setelah ledakan bom nuklir di Jepang. Hal yang tidak kalah menarik di film ini adalah bagaimana orang Jepang di film tersebut menghadapi ancaman Gojira, terutama pemerintah. Pemerintah digambarkan sangat lamban dalam mengalami kasus, dan harus menetukan apakah Gojira pantas diketahui masyarakat atau tidak, walaupun pada akhirnya mereka mengerahkan militer, tetapi militer tidak dapat berbuat banyak melawan Gojira. Masyarkat di sini digambarkan dalam kondisi ketakutan dan melakukan evakuasi besar-besaran untuk keluar dari kota, film ini juga memperlihatkan korban jiwa yang dihasilkan oleh amukan Gojira. Gojira sendiri akhirnya dapat dikalahkan dengan sebuah senjata yang dinamai bom oksigen yang diciptakan seorang ilmuwan. Ilmuwan ini pun merasa takut akan penemuannya disalahgunakan sebagai senjata dan saat bom itu hendak dipakai ntuk mengalahkan Gojira, ilmuwan itupun ikut tinggal bersama gojira untuk mati bersama demi mengubur senjata beserta ilmu pengetahuannya.
Walaupun banyak gambar yang mengingatkan penonton pada bom nuklir dan perang dunia II, menurut Hidetosi Chiba, profesor yang mendalami film-film mengatakan, awal mula Gojira tidak ada hubungan dengan ancaman nuklir. Ia setuju bahwa kemunculan monster-monster raksasa ini merupakan alegori dari protes anti nuklir sekaligus gambaran mengapa masyarakat Jepang sangat trauma dengan bom Hidrogen.
Film pertama inipun juga memiliki versi Amerika dengan judul Godzilla: King of Monsters (1956), nama Godzilla sendiri adalah nama yang dipilih oleh tim marketing internasional studio Toho. Film ini banyak mengalami perubahan dari ditambahkan karakter jurnalis Amerika Steve Martin, melakukan dubbing ulang, dan mengubah editing aslinya. Film dipandang dari sudut pandang seorang jurnalis yang memberikan narasi saat menyaksikan amukan Gojira di Jepang, Adegan yang berhubungan dengan perang dunia II juga dipotong.
Karena keterbatasan teknologi di zaman pembuatannya, Gojira direkam dengan menggunakan kostum dengan tinggi 2 meter dan berat sekitar 100 kilogram yang dioperasikan manusia dan berakting menghancurkan kota miniatur.
Era Showa, Era Heisei, dan Era Millenium
Untuk film setelah Gojira (1954) film setelahnya dikenal juga sebagai era Showa (1954–1975) mengenalkan banyak monster baru, dan terjadi perubahan peran Gojira dari sebuah Antagonis menjadi semacam pahlawan yang melindungi Jepang dari serangan monster lain, era ini dikritik karena dirasa sangat komersial dan banyak adegan yang tidak logis. Cerita lebih disesuaikan untuk penonton anak-anak.
Di Era Heisei (1984-1995), terjadi perombakan besar, semua cerita dari era Showa tidak dilanjutkan, kecuali film yang paling awal. Gojira juga dikembalikan ke perannya yang semula, menjadi monster bak perwujudan kekuatan alam, yang tidak selalu membela manusia, tetapi akan menyerang monster yang menyerang manusia. Di era ini juga bermunculan monster baru yang menjadi popular di kalangan fans, seperti Mothra, King Gidora, dan Dagahra. Alur cerita juga lebih ditujukan untuk penonton dewasa. DI zaman ini pula efek computer semakin berkembang dan lebih sering dipakai, walaupun pada akhirnya dikritik karena terlalu banyak menggunakan efek computer, sehingga pertarungan antar monster terasa kurang intim.
Di era millennium (1998-2004), Terjadi perombakan sekali lagi. Tetapi tema cerita masih mirip dengan era Heisei. Film yang dibuat di masa ini merupakan kelanjutan dari cerita film pertama, tetapi masing-masing film tidak berhubungan satu sama lain.
Modern Reboot, Perbedaan Godzilla (2014) & Shin Gojira (2016)
Setelah tahun 2004, Tidak ada film gojira yagi yang dibuat, sampai pada tahun 2014. Film Godzilla adalah film reboot yang digarap olhe Gareth Edwards, dan diproduksi Legendary Studios dan Warner Bros yang merupakan penceritaan ulang Gojira, di sini Godzilla berperan sebagai Anti-hero melawan sebuah monster yang dinamai MUTO. Di film ini Godzilla digambarkan sebagai sebuah kekuatan alam yang ada untuk menyeimbangkan alam dengan melawan MUTO.
Studio Toho juga membuat adaptasi terbarunya di tahun 2016 Shin Gojira. Film ini digarap oleh Hideaki Anno. Cerita di film ini sangatlah mirip dengan film pertamanya, tetapi disesuaikan dengan teknologi yang ada sekarang, dan memiliki tema cerita tentang teknologi nuklir yang dipengaruhi insiden nuklir tahun 2011 dan pandangan Jepang terhadapnya.
Kedua film ini memakai lebih banyak bantuan computer dalam pembuatannya, film Godzilla sepenuhnya menggunakan computer untuk membuat Godzilla, sedangkan Shin Gojira menggabungkan boneka dan juga gambar yang dihasilkan computer.
Begitulah kisah Gojira yang mengikuti zaman, ia merupakan sebuah ikon pop-culture yang bertahan sampai sekarang, bahkan di tahun 2015 dia di anugerahi kewarga negaraan Jepang dan menjadi duta budaya di Shinjuku.
http://images.en.koreaportal.com/data/images/full/6305/shin-godzilla-official-teaser-poster.jpg (featured image)