Bedil

Source: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/0/05/Meriam_museum_bali.jpg

Bedil adalah istilah dari Asia Tenggara Maritim yang mengacu pada berbagai jenis senjata api dan senjata mesiu, dari pistol kecil hingga meriam. Istilah bedil berasal dari kata “wedil” dan “wediluppu” dalam bahasa Tamil. Dalam bentuk aslinya, kata-kata ini masing-masing mengacu pada ledakan mesiu dan sendawa. Namun setelah diserap menjadi “bedil” dalam bahasa Indonesia, kosakata bahasa Tamil ini digunakan untuk menyebut semua jenis senjata yang menggunakan bubuk mesiu. Beberapa diantaranya yang akan dibahas di artikel ini adalah bedil tombak, bedil Jawa, cetbang, istinggar.

Pengetahuan membuat senjata berbahan dasar mesiu di kepulauan Nusantara telah dikenal setelah invasi Mongol yang gagal ke Jawa (1293 M) akhir abad ke-13. Invasi Mongol ke Jawa membawa teknologi mesiu ke Jawa dalam bentuk meriam, hal ini menghasilkan “Cetbang gaya timur” yang mirip dengan meriam Cina yang diisi ulang dari ujung larasnya (muzzle-loading). Cetbang ini menembakkan proyektil seperti anak panah, tetapi peluru bundar dan proyektil yg menyebar juga bisa digunakan. Panah ini dapat berujung padat tanpa bahan peledak, atau dengan bahan peledak dan bahan pembakar yang ditempatkan di belakang ujungnya. Sedangkan Cetbang gaya barat berasal dari meriam prangi Turki yang masuk ke Nusantara setelah tahun 1460 Masehi. Sama seperti prangi, cetbang ini adalah senjata putar diisi ulang dari belakang (breech-loading), menembakkan peluru tunggal atau tembakan hamburan (peluru kecil dalam jumlah besar).

Bedil tercatat telah digunakan di Jawa pada tahun 1413, disebut bedil tombak yang terdiri dari sebuah meriam kecil yang dipasang di tiang kayu. Namun, pengetahuan untuk membuat senjata api yang “benar” baru muncul setelah pertengahan abad ke-15. Pengetahuan ini dibawa oleh bangsa-bangsa Islam di Asia Barat, kemungkinan besar bangsa Arab. Tahun pasti pengenalannya tidak diketahui, tetapi dapat disimpulkan tidak lebih awal dari tahun 1460. Kerajaan Majapahit memelopori penggunaan senjata berbahan dasar mesiu di kepulauan Nusantara. Salah satu catatan menyebutkan penggunaan senjata api dalam pertempuran melawan pasukan Giri sekitar tahun 1500-1506. Senjata yang digunakan adalah Bedil Jawa, senjata ini sangat panjang, bisa mencapai 2,2 meter dan sudah terlihat seperti arquebus/musket Eropa atau Tanegashima milik Jepang. 

Setelah datangnya Portugis ke kepulauan Nusantara, muncullah bedil dengan nama IstinggarIstinggar adalah jenis senjata api korek api (matchlock) yang dibuat oleh berbagai kelompok etnis di Asia Tenggara. Senjata api ini merupakan hasil pengaruh Portugis terhadap persenjataan lokal setelah penaklukan Malaka (1511). Nama Istinggar berasal dari bahasa Portugis espingarda yang berarti arquebus atau senjata api, istilah ini kemudian berubah menjadi estingarda, dan akhirnya menjadi setinggar atau istinggar. Biasanya Istinggar lebih panjang daripada Tanegashima Jepang.

Reaksi negara luar dari Portugis & Tiongkok terhadap Bedil sangat positif serta memuji kemampuan senjata tersebut. Duarte Barbosa dari Portugis sekitar tahun 1514 mengatakan bahwa penduduk Jawa adalah ahli-ahli yang hebat dalam membuat artileri dan ahli-ahli artileri yang baik, dinasti-dinasti Tiongkok juga memuji Bedil, Liuxianting (劉獻廷-ahli geografi era Qing awal) dari dinasti Ming dan Qing mengatakan: “Orang-orang Selatan pandai dalam perang senjata, dan senjata Selatan adalah yang terbaik di kolong langit”. Qu Dajun (屈大均) berkata: “Senjata Selatan, terutama senjata Jawa (爪哇銃) diibaratkan sebagai busur panah yang kuat. Mereka digantung di pundak mereka dengan tali, dan mereka akan dikirim bersama-sama ketika mereka bertemu musuh. Mereka dapat menembus beberapa baju besi yang berat”. Dinasti Ming dari Tiongkok mencatat produk-produk ekspor dari Jawa yang diimpor ke Tiongkok. Produk-produk tersebut antara lain lada, dupa cendana, gading, kuda, senjata besi, balahu chuan (叭喇唬船-perahu), zhaowa chong (爪哇銃-senjata Jawa), dan belerang. Senapan Jawa lebih disukai oleh tentara Ming karena fleksibilitas dan akurasinya yang tinggi dan konon senapan ini dapat digunakan untuk menembak burung. Guangdong Tongzhi (广东通志), yang disusun pada tahun 1535, mencatat bahwa tentara lapis baja dan senjata Jawa adalah yang terbaik di antara orang-orang Timur. Orang Jawa menggunakannya dengan sangat terampil dan dapat secara akurat mengenai burung pipit. Orang Cina juga mengatakan senjata ini dapat mematahkan jari, telapak tangan, dan lengan jika tidak digunakan dengan hati-hati.

Pada saat jaman penjajahan VOC,  VOC mulai mengganti senjata korek api (matchlock) dengan senapan batu (flintlock) pada tahun 1680-an, orang Jawa sudah memintanya pada tahun 1690-an. Senapan flintlock mulai muncul di gudang senjata Jawa pada awal tahun 1700 Masehi.  Untuk senjata api yang menggunakan mekanisme flintlock, penduduk kepulauan Nusantara bergantung pada kekuatan Barat, karena tidak ada pandai besi lokal yang dapat memproduksi komponen-komponen yang rumit.  Senjata api flintlock ini adalah senjata yang sama sekali berbeda dan dikenal dengan nama lain, senapan atau senapang, dari bahasa Belanda snappaan atau snaphaan.

Penulis: Christopher Daniel S.

NIM: 2602156356