Sintren, Tarian Mistis asal Cirebon

Di zaman moderen saat ini, eksistensi kesenian tradisional secara perlahan mulai memudar di masyarakat. Mereka hanya memandang kesenian tradisional sebagai sarana penghibur semata, tanpa mencari tahu makna yang tersimpan di dalamnya. Salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki banyak kesenian tradisional adalah Kota Cirebon. Bahkan, beberapa di antaranya sudah tersohor hingga ke luar negri, seperti tari topeng dan juga sintren.

 Dari banyaknya kesenian tradisional di Cirebon, yang paling ikonik dan berbeda, ialah kesenian sintren. Kesenian ini dianggap oleh sebagian masyarakat awam, memiliki unsur mistis yang begitu kuat. Elemen-elemen yang ada dalam kesenian sintren, seperti kacamata hitam, menyam yang dibakar, hingga seotang penati wanita yang diyakini kemasukan sosok roh ‘bidadari’.

Atraksi itu kian membuat masyarakat semakin percaya, kalau kesenian ini penuh dengan hal mistis. Elemen-elemen yang ada pada kesenian sintren sendiri antara lain, pemain yang menjadi penari sintren, kurungan, kemenyan, sesaji, tali, dan doa.

Sejarah dan Perkembangan Sintren

Sintren mulanya berasal dari dua suku kata, yakni kada sindir dan tetaren. Dua kata tersebut memiliki arti, menyindir menggunakan syair-syair sajak. Awalnya kegiatan ini merupakan aktivitas pemuda, yang saling bercerita dan memberikan semangat satu sama lain, khususnya, setelah kekalah besar pada perang besar Cirebon yang berakhir sekitar tahun 1818 lampau.

Ada juga yang menyebut kalau kata sintren berasal dari dua kata si dan tren, yang artinya adalah ‘ia putri’, makna sebenarnya yaitu, yang menari bukanlah si penari sintren, tapi roh seorang putri. Dalam versi ini, sintren sendiri mengisahkan soal kisah percintaan Ki Joko Bahu dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung, sang Raja Mataram.

Kemudian karena tak diberi restu, akhirnya Ki Joko Bahu dan Rantamsari dipisahkan. Saat hendak dipisahkan, tersiar kabar jika Ki Joko Bahu meninggal dunia. Akan tetapi, Rantamsari tetap mencari kekasihnya dengan menyamar sebagai penari sintren, karena merasa tidak percaya.

Sejarah kesenian sintren sendiri masih menjadi misteri, karena jika berbicara tentang sejarah, maka setidaknya harus ada sesuatu yang membuktikannya, baik itu berupa catatan ataupun sekadar benda peninggalan. “Sintren berjalan begitu saja. Awalnya hanya sebagai sarana hiburan bagi masyarakat nelayan yang ada di pesisir Subang hingga Jepara”, ujar budayawan asal Cirebon, Bambang Irianto.

Senada dengan yang disampaikan Bambang, sejarawan dan budayawan Cirebon, Opan Safari mengatakan, sejarah sintren hingga saat ini masih simpang siur. Dia sendiri hanya membagi sintren dalam beberapa gase, ditinjau dari perkembangannya sejak dulu hingga sekarang.

Fase pertama yaitu sintren dimaknai sebagai media dakwah pada masa Sunan Gunung Jati, kemudian fase kedua, sintren dimaknai sebagai alat perjuangan ketika masa penjajahan Belanda dan yang ketiga, sintren sendiri dimaknai sebagai hiburan pada masa sekarang. “Sintren itu banyak ajaran filosofi. Setiap zaman sintren dimaknai berbeda-beda, karena sintren itu memang dinamis”, ujar Opan.

Sumber: News.okezone.com

Penulis: Dema (2301915752)