MENGABDI MENUJU MAUT
Mina-san konnichiwa!
Bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa yang yang disiplin dan memiliki tingkat produktivitas yang tinggi. Masyarakat Jepang terkenal dengan etos kerjanya yang luar biasa. Walaupun hal-hal tersebut adalah hal yang patut dibanggakan tetapi hal tersebut juga memiliki kekurangan. Bagi masyarakat Jepang bekerja penuh totalitas bagi sebuah perusahaan merupakan kebanggaan tersendiri bagi mereka. Maka tidak heran jika muncul ungkapan “work is life” (bekerja adalah kehidupan) bagi kalangan pekerja Jepang. Hal ini dilakukan demi memajukan perusahaan, hingga mereka rela mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran, sampai menyebabkan kematian. Fenomena ini disebut dengan karoshi, yaitu kelebihan bekerja hingga menyebabkan kematian. Para pekerja tersebut dituntut untuk bekerja setiap hari tanpa libur, bahkan mereka bekerja melebihi batas waktu normal bekerja (8 jam) sampai 12 jam dalam sehari. Hal inilah yang membuat tekanan mental memuncak yang menyebabkan kematian.
Dalam Bahasa jepang, Karoshi (過労死) berasal dari kanji 過 yang berarti berlebihan, kanji 労 yang memiliki arti bekerja dan kanji 死 yang berarti meninggal atau mati. Dapat diartikan Karoshi adalah fenomena dimana kematian seseorang yang diakibatkan oleh kelelahan akibat kerja berlebihan. Istilah karoshi muncul pada tahun 1970-an, dan tercatat pada tahun 1978 terdapat 17 kasus karoshi. Penggunaan istilah karoshi untuk menjelaskan kondisi seseorang yang meninggal tiba-tiba akibat terlalu lelah bekerja. Dengan kondisi perekonomian yang akhir-akhir ini mengalami penurunan, masyakarat Jepang menganggap bahwa untuk memulihkan perekonomian kembali, maka mereka harus bekerja lebih giat lagi. Dengan demikian fenomena karoshi ini menjadi suatu permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat Jepang khusunya di antara para pekerja Jepang. Awalnya karoshi banyak terjadi pada mereka yang bekerja di sektor non-managerial seperti supir truk dan buruh dari pedesaan. Namun akhir-akhir ini kasus karoshi banyak juga ditemukan pada jenis pekerjaan managerial.
Penilitan Tetsuro Kato (1994) mengungkapkan fakta bahwa karoshi yang banyak terjadi di Jepang belum menunjukkan perhatian dan penanganan serius pemerintah Jepang untuk mengatasi karoshi, bahkan cenderung abai dan terkesan ditutupi. Saat ini masyarakat Jepang memiliki kekhawatiran yang besar akan meninggalnya anggota keluarga mereka akibat keletihan bekerja. Pemerintah Jepang tidak mengakui adanya insiden karoshi. Alasan pemerintah Jepang tidak mau mengakui bahwa kematian beberapa pekerja ini disebabkan jam kerja yang berlebih yaitu untuk menghindari adanya tekanan kepada sistem asuransi kompensasi pekerja. Jika jam kerja yang berlebih dijadikan penyebab kematian yang banyak terjadi di Jepang, maka Jepang akan menghadapi tekanan untuk mengeluarkan asuransi bagi para pekerjanya dengan jumlah yang besar. Berdasarkan fakta diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah Jepang dapat mengintervensi pengurangan jam kerja pekerjanya, namun hal ini masih sulit dilakukan karena budaya dan prinsip kerja masyarakatnya.
Fenomena ini menjadi permasalahan yang harus dihadapi oleh masyarakat Jepang dan juga tantangan bagi perusahaan Jepang dan juga tantangan bagi perusahaan Jepang dalam mengelola sumber daya manusianya. Metafora keluarga berbasis kearifan lokal seringkali dijadikan dasar untuk meningkatkan loyalitas dan kinerja pekerja terhadap perusahaan. Budaya korporasi yang tercermin dalam etos kerja Jepang dilaksanakan semata-mata demi meningkatkan keuntungan perusahaan tanpa memperhatikan konsekuensi yang harus dihadapi oleh pekerja itu sendiri.
Karoshi memang saat ini masih menjadi masalah serius yang belum bisa ditangani oleh pemerintah Jepang. Produktivitas dan etos kerja masyarakat Jepang yang tinggi memang patut dicontoh oleh kita orang Indonesia tetapi kita juga perlu memperhatikan kondisi jasmani dan mental.
Sumber : http://ejournal.iainkendari.ac.id/al-izzah/article/view/537
penulis : Julius Wahyu Ceicario
NIM : 2201808466