Arsitektur Kolonialisme di Indonesia

Oleh: 2440022454 – Noviola Esther

Fig. 1 Kantor Pos Medan Tempo Dulu (Chairina, 2019)

Indonesia merupakan negara yang telah melalui berbagai masa sejarah, salah satu masa tersebut yaitu penjajahan yang dialami selama 350 tahun oleh para penjajah kolonial; dari penjajahan tersebut, mereka meninggalkan banyak catatan sejarah dan berbagai peninggalan, contohnya objek, bangunan, dan lain sebagainya.

Arsitektur kolonial didefinisikan sebagai gaya arsitektur yang menggabungkan antara budaya Barat dengan Timur.  Pada tahun 1624 sampai dengan 1820, gaya kolonial (Dutch Colonial) adalah gaya rancangan yang cukup terkenal di Belanda; gaya ini dimulai dari keinginan dan usaha orang Eropa untuk menciptakan daerah jajahan seolah seperti negara asal mereka. Namun, karena perbedaan iklim, kurangnya ketersediaan material dan perbedaan teknik, bentuk rancangan tersebut tidak sesuai dengan aslinya, sehingga diperoleh sebuah modifikasi yang menyerupai desain di negara mereka.

Menurut Handinoto, gaya arsitektur kolonial di Indonesia terbagi menjadi tiga, yaitu:

  1. Gaya Arsitektur Indische Empire Style (Abad 18-19):

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels selama kurang lebih 3,5 tahun yang terjadi pada tahun 1808 sampai dengan 1811. Pada akhir abad ke-18, perkembangan gaya arsitektur di Jawa cenderung sudah mirip dengan bentuk-bentuk rumah bangsawan Jawa dengan atap Joglo; namun, Daendels memperkenalkan arsitektur gaya “Empire” Perancis, yang kemudian dilanjutkan juga oleh para penggantinya, sehingga gaya arsitektur ini mengakibatkan gaya ‘indis’ memudar kala itu. Saat, Daendels tiba di Hindia Belanda, pembangunan gedung Gouvernements Hôtel di Batavia dimulai. Gedung ini dikerjakan oleh J. Jongkind. Daendels juga yang mempelopori pembangunan hunian baru di kawasan Weltevreden (Jatinegara); dengan memindahkan pusat kota lama ke kawasan Weltevreden, serta mengusulkan untuk pendirian sebuah kantor dan tempat kediaman Gubernur Jenderal yang baru di Weltevreden. Gouvernements Hôtel sebagai bangunan monumental ini diletakkan kurang lebih 10 kilometer dari pusat kota lama Batavia, perkembangan tersebut mengakibatkan adanya kekosongan, sehingga Daendels mencetuskan pembangunan gedung Societeit De Harmonie. Kemudian, di Surabaya, Daendels memerintahkan pembangunan Benteng Lodewijk.

Fig. 2a. Tampak depan Gouvernements Hôtel dengan monumen Waterloo di Batavia;

Fig. 2b. Societeit De Harmonie  (Handinoto, 2008)

Pada akhir abad ke-18, masa kebangkrutan VOC di Hindia Belanda; orang kaya bangsa Eropa yang disebut juga sebagai kaum aristokrat setempat, membangun tempat tinggal yang besar dan mewah terutama di kawasan pinggiran kota Batavia. Rumah ini disebut dengan “landhuisen”, model rumah ini kemudian diikuti oleh orang-orang kaya dari kaum lainnya di kawasan Batavia. Orang Eropa yang sudah lama tinggal di Hindia Belanda merancang rumahnya menyerupai rumah Jawa.

Fig 3. Perpindahan Pusat Pemerintahan Batavia (Handinoto, 2008)

Menurut Milano dalam Hadinoto (2012), ciri-ciri arsitektur Indische Empire:

  1. Denahnya berbentuk simetris, terdapat “central room” di tengah yang menghubungkan teras depan dan teras belakang.
  2. Umumnya terasnya sangat luas dan terdapat barisan kolom yang bergaya Yunani.
  3. Dapur, kamar mandi, gudang, dan daerah service lainnya terdapat di bagian yang terpisah dari bangunan utama dan terletak di bagian belakang.
  4. Adakalanya, terdapat paviliun di samping bangunan yang digunakan sebagai kamar tidur tamu.
  1. Gaya Arsitektur Transisi (1890-1915) :

Pada akhir abad 19 dan awal abad 20, muncul arsitektur transisi di Hindia Belanda yang dipelopori oleh Dinas Pekerjaan Umum pemerintah kolonial yang disebut sebagai BOW (Burgelijke Openbare Werken). Pada masa itu, Dinas Pekerjaan Umum menangani hampir seluruh bangunan pemerintah  kolonial yang dipelopori oleh arsitek-arsitek yang menempuh pendidikan di TH Delft, antara lain ; Ir. J. Van. Hoytema, Ir. S. Snuyf, dan lain sebagainya. ‘Kromoblanda’ merupakan salah satu buku yang banyak mendokumentasikan arsitektur pada masa peralihan ini ; menurut Dr. Charles Thomas Nix, dalam gaya arsitektur ini merupakan tiruan dari gaya arsitektur Romantik di Eropa.

Di Indonesia, puncak kekuasaan kolonial Belanda terjadi di awal abad ke-20.

Menurut Handinoto dan Hartono, karakteristik dari gaya arsitektur transisi sering dikelompokkan sebagai arsitektur kolonial modern, namun umumnya arsitektur transisi mempunya ciri, yaitu :

  1. Memiliki denah serupa dengan gaya arsitektur Indische Empire, terdapat teras depan dan teras belakang, serta central room.
  2. Pada rumah yang berukuran besar, terdapat bangunan samping yang disebut sebagai paviliun.
  3. Tidak terdapatnya kolom-kolom pilar dengan gaya Yunani atau Romawi
  4. Gevel-gevel pada arsitektur Belanda timbul kembali.
  5. Adanya menara pada pintu masuk dan adanya kesan romantis pada tampak.
  6. Bahan bangunan utama adalah kayu dan bata; serta pemakaian jendela yang masih terbatas.
  7. Bentuk atap pelana dan perisai dengan lapisan genting; terdapat tambahan ventilasi pada atap.
  1. Gaya Arsitektur Kolonial Modern (1915-1940):

Menurut Handinoto (1993), arsitektur modern adalah sebuah pertentangan yang ditunjukkan oleh arsitek Belanda atas gaya arsitektur Empire Style; hal ini dikarenakan di Belanda gaya arsitektur Empire Style yang berkembang di Perancis ini tidak mendapatkan sambutan, ciri-ciri dari arsitektur kolonial modern, yaitu:

  1. Terdapat lebih banyak variasi denah.
  2. Arsitektur ini menghindari bentuk simetri dan tidak menggunakan teras yang mengelilingi bangunannya, namun menggunakan elemen penahan sinar.
  3. Tampak bangunan merepresentasikan clean design (form follow function).
  4. Mayoritas atap yang digunakan adalah pelana atau perisai dengan bahan penutup berupa genting atau sirap.
  5. Bahan dasar bangunan konstruksi menggunakan material beton.

Menurut Akihari (1990) dan Nix (1994), terdapat dua periode arsitektur kolonial Belanda, yaitu ; arsitektur sebelum abad 18 dan arsitektur setelah abad 18. Sementara Helen Jessup dan Handinoto mengelompokkan periodisasi perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dari abad ke-16 hingga tahun 1940-an menjadi 4 bagian, yaitu:

  1. Abad 16 sampai tahun 1800-an

Pada periode ini, arsitektur kolonial Belanda menghilangkan orientasinya dengan bangunan tradisional di Belanda dan bangunan – bangunan ini beradaptasi dengan iklim dan lingkungan di Indonesia.

  1. Tahun 1800-an sampai dengan 1902

Peralihan pemerintah di Indonesia dari perusahaan dagang VOC, menyebabkan pada abad ke-19, Belanda memperkuat posisinya sebagai kaum kolonialis dengan membangun bangunan yang berkesan megah; yang diadaptasi dari gaya arsitektur neo-klasik yang bertentangan dengan gaya arsitektur nasional Belanda.

  1. Tahun 1902-1920-an

Pada tahun 1902, penerapan politik etis menyebabkan pemukiman orang Belanda bertumbuh secara pesat, yang mengakibatkan indische architecture menghilang dan menciptakan standar arsitektur yang bersifat modern yang berorientasi ke negeri Belanda.

  1. Tahun 1920-an sampai dengan 1940-an

Pada masa ini, muncul suatu gerakan pembaruan yang terjadi secara nasional dan internasional. Pada periode ini, terbentuk suatu gaya campuran (eklektisisme), yang disebabkan oleh pandangan arsitek Belanda yang memandang perlu adanya memberi suatu ciri khas sehingga terdapat arsitektur ini didasarkan dari kebudayaan arsitektur tradisional Indonesia.

Dalam buku karya Handinoto di tahun 1996, ciri-ciri bangunan kolonial adalah:

  1. Gable / Gevel, berbentuk segitiga yang mengikuti bentuk dari atap.
  2. Tower / Menara, memiliki berbagai variasi bentuk geometris.
  3. Dormer / cerobong asap semu, yang digunakan sebagai sirkulasi dan pencahayaan; di negara asalnya, Belanda, dormer digunakan sebagai ruang untuk perapian.
  4. Tympannon / tadah angin, merupakan lambing pada masa pra kristen yang digambarkan dalam bentuk pohon hayat, kepala kuda, atau roda matahari.
  5. Ballustrade, sebuah pagar yang umumnya terbuat dari beton cor ; yang berfungsi sebagai pagar pembatas balkon dan/atau dek bangunan.
  6. Bouvenlicht / lubang ventilasi, sebuah bukaan pada bagian bangunan yang digunakan untuk memenuhi kenyamanan thermal.
  7. Windwijzer / penunjuk angin, sebuah ornamen yang terletak di atas nok atap yang digunakan sebagai penunjuk  arah angin.
  8. Nok Acroterie (hiasan puncak atap),  berada di bagian puncak atap yang terbuat dari alang-alang; yang awalnya digunakan pada rumah petani di Belanda.
  9. Geveltoppen (hiasan kemuncak atap depan) – Voorschot, berbentuk segitiga yang diposisikan di bagian depan rumah.

Fig. 4.1. Jenis Gavel Bangunan Kolonial; Fig. 4.2. Detail Elemen Dormer Bangunan Kolonial; Fig. 4.3.Detail Elemen Bangunan Kolonial (Handinoto, 1996)

 

Referensi:

Chairinia, N. (2019, Februari 14). Keindahan Bangunan Kolonial Belanda di Medan yang Bisa Dikunjungi. Diakses dari https://www.idntimes.com/travel/destination/nurul-chairina/keindahan-bangunan-kolonial-belanda-di-medan-c1c2?page=all

Handinoto. (2008). Daendels dan Perkembangan Arsitektur di Hindia Belanda Abad 19. Dimensi Teknik Arsitektur, 36, (1), p. 43-53

Hartono, S. dan Handinoto. (2006). ‘Arsitektur Transisi’ di Nusantara dari Akhir Abad 19 Keawal Abad 20. Dimensi Teknik Arsitektur, 34, (2), p. 81-92.

Purnomo, H., Waani, J.O., dan Wuisang, C.E.V. (2017). Gaya & Karakter Visual Arsitektur Kolonial Belanda di Kawasan Benteng Oranje Ternate. Media Matrasain, 14 (1), p. 23-33.

Prasuthio, K. dan Sondakh, J.A.R. (2011). Arsitektur Transisi Abad-19 Sampai Awal Abad ke 20. Media Matrasain, 8(3), p.  95-107.

Tamimi, N. Fatimah, I. S. dan Hadi, A. A. (2020). Tipologi Arsitekturu Kolonial di Indonesia. Vitruvian : Jurnal Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan, 10, (1), p.45-52.