Pengaruh Budaya Tionghua Terhadap Arsitektur Indonesia

Oleh : Noviola Esther – 2440022454

Gambar 1. Arsitektur Tionghua (Wikimedia, 2019; Tjook, 2017)

Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman, hal tersebut dapat dilihat dari jumlah etnis yang ada di Indonesia. Terdapat sekitar 300 kelompok etnis, dengan suku Jawa sebagai kelompok terbesar yaitu sekitar 41% masyarakatnya merupakan kelompok etnis tersebut. Selain itu, terdapat suku pendatang yang sekarang juga digolongkan sebagai salah satu kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia, salah satunya yaitu suku Tionghua dengan populasi masyarakatnya sekitar 0,86%.

Indonesia yang juga dikenal dengan nama Nusantara, telah tercatat pada masa Dinasti Han yaitu pada masa pemerintahan Kaisar Wang Min pada periode 6 hingga 1 tahun sebelum masehi. Pada saat itu, masyarakat Cina menyebut wilayah Nusantara sebagai Huang-Tse. Selain itu, bedasarkan pengetahuan sejarah umum, yaitu nenek moyang Indonesia yang berasal dari daerah Yunnan, Cina. Kedatangan masyarakat Cina ke Indonesia pada waktu lainnya yaitu pada masa peradaban Hindu-Buddha yang dimana kedatangan tersebut bertujuan untuk berdagang di wilayah Indonesia, selain itu juga dengan tujuan keagamaan, diplomatis, mencari tempat permukiman baru akibat konflik yang terjadi di Cina.

Banyak dari masyarakat yang berasal dari Cina tersebut kemudian memilih untuk menetap dan berbaur di Indonesia, namun, sejak VOC memonopoli jalur perdagangan, dimulainya pemisahan terhadap etnis Tionghua yang menimbulkan peristiwa Geger Pacinan pada tahun 1740. Kemudian, dampak dari peristiwa itu juga membuat timbulnya koalisi antara masyarakat Tionghua dengan masyarakat lainnya dan pemerintah VOC kemudian membuat tempat khusus untuk masyarakat Tionghua yang dikenal dengan Pecinaan.

Gambar 2. Geger Pacinan (Spedaonthel, 2014), Fig. 2.2. Peta Batavia (Wikimedia, 2019)

Kawasan Pencinaan atau juga yang dikenal sebagai Chinatown adalah suatu bagian yang memiliki ciri khas yang didasarkan dengan kebudayaan Cina, seperti, bentuk hunian dan suasana lingkungan. Arsitektur tradisional Tionghua memiliki ciri khas seperti;

  1. Penggunaan kayu sebagai material konstruksi utama.
  2. Terdapat Courtyard.
  3. Elemen-elemen struktural yang terbuka.
  4. Memiliki bentuk atap yang khas.
  5. Penggunaan warna yang khas.
  6. Adanya ornamen ragam hias.

Gambar 3. Ciri Khas Arsitektur Tionghua (Khaliesh, n.d.)

Selain itu, beberapa karakteristik lainnya dapat dilihat dari :

  1. Pola tata letak (Organisasi Ruang, Jian, Axial Planning) :Pada pola tata letak bangunan dan lingkungan menggambarkan keselerasan, keseimbangan, dan harmonisasi
  2. Adanya panggung dan teras depan yang digunakan sebagai ruang trasnsisi
  3. Sistem struktur bangunan :Pada sistem struktur bangunannya memiliki sistem rangka yang khas yang dimana struktur utama mendukung bobot dari atap
  4. Tou-Kung (siku peyangga bagian atap yang terletak di teras) :Tou-Kung merupakan peyangga kantilever bagian teras. Umumnya, ornamen-ornamen pada tou-kung dapat dilihat secara jelas pada bangunan-bangunan seperti tempat ibadah.
  5. Bentuk atap :Terdapat beberapa jenis atap yaitu; wu tien, hsieh han, hsuah han, dan ngang shan ti. Selain itu terdapat dua jenis struktur kayu yang menyebabkan adanya perbedaan pada perletakan kolom dan perbedaan sistem.
  6. Penggunaan warna :Umumnya, warna yang digunakan adalah kuning, biru, putih, merah, dan hitam yang dihubungan dengan unsur-unsur alam seperti air, kayu, api, logam, dan tanah. Warna-warna tersebut digunakan pada bagian teras, kolom, balok, siku peyangga, dan atap.
  7. Detail balkon :

    Untuk detail balkon atau angin-angin, umumnya menggunakan bentuk-bentuk yang menyerupai bunga krisan dan kura-kura.

    Gambar 4. Tou-Kung (Royandi, n.d.) Fig. 4.2. Jenis-Jenis Atap pada Arsitektur Tionghua (Pang, 2021)

Untuk struktur dari arsitektur Tionghua :

  1. Struktur utama dengan rangka kayu yang dimana beban yang disangga akan disalurkan melalui kolom. Kemudian, beban hidup serta beban mati yang diterima lantai akan diteruskan ke dinding dan pondasi.
  2. Umumnya, lantai atas merupakan lantai-lantai papan yang disangga oleh balok. Plat beton tersebut juga digunakan untuk lisplank serta atap. Sistem kuda-kuda yang digunakan yaitu kuda-kuda berbentuk segi empat.
  3. Proporsi serta aturan yang digunakan didasari oleh suatu tolak ukur, seperti ukuran dimensi kayu dan pembagiannya.

Rumah toko atau ruko merupakan salah satu pengaruh dari arsitektur Tionghua, hal tersebut merupakan akibat dari peristiwa yang terjadi pada 1740, yang mengakibatkan masyarakat Tionghua untuk menetap di kawasan Pecinaan. Dikarenakan pekerjaan masyarakat Tionghua berhubungan dengan perdagangan, kebanyakan dari tempat tinggal tersebut juga digunakan sebagai tempat untuk berdagang, yang dimana kawasan komersial terletak pada lantai dasar dan lantai atas digunakan sebagai tempat tinggal. Ruko pada masa itu, umumnya memiliki lebar sekitar 3 hingga 5 meter, tetapi memiliki panjang yang dapat mencapai 80 meter. Hal tersebut dikarenakan pada masa tersebut, pajak yang dikenakan oleh VOC berdasarkan lebar dari bangunan dan bukan ukuran secara keseluruhan dari bangunan.

Pada masa pemerintahan Suharto, kebanyakan dari ciri khas dari kawasan Pecinaan dihilangkan dan diganti menjadi kontemprorer yang bersifat netral, selain itu penggunaan aksara Tionghua juga dilarang. Kemudian pada masa reformasi, banyak dari rumah ataupun toko yang dimiliki oleh masyarakat Tionghua dimusnahkan. Namun, karakteristik dari budaya Tionghua masih dapat ditemukan pada bangunan-bangunan yang digunakan untuk tempat beribadah. Hingga sekarang, kawasan Pecinaan memiliki identitas yang dimana, kawasan tersebut umumnya terletak dekat dengan kawasan komersial dan pasar, terdapat satu atau dua tempat beribadah (kelenteng), kawasannya padat, dan memiliki ruang yang sempit.

Di daerah Yogyakarta, Jogja Chinese Art and Culture Center didirikan disertai dengan pembangunan sebuah gerbang untuk menuju Kampoeng, yang merupakan kawasan Pecinaan. Daerah Ketadan memiliki ciri khas seperti Pecinaan pada umumnya, yang dimana terdapat ruko dan toko obat yang menjual obat-obatan Cina. Gerbang dengan tinggi sebelas meter dan lebar tujuh meter tersebut merupakn simbol dari akulturasi dari budaya Jawa dengan simbol-simbol Tionghua.

Pada tahun 2013, dilakukan revitalisasi Kota Tua, salah satunya yaitu merenovasi bangunan yang dikenal sebagai Apotheek Chung Hwa yang dibangun pada tahun 1928 yang terletak di Jalan Pancoran. Bangunan tersebut direnovasi dengan melibatkan arsitek Ahmad Djuhara dan Wendy Djuhara. Pantjoran Tea House selesai pada tahun 2015, yang dimana material yang masih dapat digunakan dipertahankan.

Muntok, salah satu kota di Bangka, merupakan kawasan Pecinaan yang dimana pada kawasan tersebut memiliki bangunan dengan ciri khas Tionghua serta Melayu dan Barat. Dengan keadaan tersebut, menggambarkan bahwa kluster-kluster tersebut menjadi suatu kekayaan dan mendemonstrasikan keharmonisan dari masyarakatnya.

Terakhir, kawasan Lasem yang juga disebut dengan Le Petit Chinois atau Little China. Penamaan tersebut dikarenakan ditemukannya banyaknya warisan arsitektural dari budaya Tionghua. Seperti kawasan-kawasan Pecinaan lainnya, bangunan-bangunan yang terdapat terletak di kawasan Lasem juga menggabungkan dan mengakulturasikan budaya Tionghua dengan budaya pada kawasan tersebut.

 

Referensi :

Wikimedia. (2019, Oktober14). Category:Chinese architecture in Indonesia. https://commons.wikimedia.org/wiki/Category:Chinese_architecture_in_Indonesia

Spedaonthel. (2014, April 13). Bahas Tuntas: Sejarah Pembantaian Glodok Tahun 1740 (Tragedi Angke / Geger Pacinan). https://indocropcircles.wordpress.com/2014/04/13/sejarah-pembantaian-glodok-tragedi-angke-geger-pacinan/

Khaliesh, H. (n.d.). ARSITEKTUR TRADISIONAL TIONGHOA:Tinjauan Terhadap Identitas, Karakter Budaya dan Eksistensinya. https://www.researchgate.net/publication/318915922_ARSITEKTUR_TRADISIONAL_TIONGHOA_TINJAUAN_TERHADAP_IDENTITAS_KARAKTER_BUDAYA_DAN_EKSISTENSINYA

VOI.id. (2020, Agustus 7). Tracing The Early Wave Of Chinese Immigrants In Indonesia. https://voi.id/en/memori/10641/tracing-the-early-wave-of-chinese-immigrants-in-indonesia

Pang, K. (2021, Agustus 4). Traditional Chinese Roofs – China’s Roof Architecture. https://www.chinahighlights.com/travelguide/architecture/roofs.htm

Royandi, Y. (n.d.). PENERAPAN SIMBOL DAN ORNAMEN PADA KONSTRUKSI TOU KUNG di RUMAH TINGGAL TRADISIONAL CINA. http://repository.maranatha.edu/21028/1/3.%20Penerapan%20Simbol%20dan%20Ornamen%20pada%20Konstruksi%20Tou%20Kung.pdf

Anonymous. (n.d.). http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ARSITEKTUR/197709192008012-DIAH_CAHYANI_PERMANA_SARI/sejarah%20arsitektur/Cina%202.pdf

Tjook, W. (2017). Pecinan as an inspiration: The contribution of Chinese Indonesian architecture to an urban environment. http://wacana.ui.ac.id/index.php/wjhi/article/view/596/pdf_37